Apa Benar Kamu Tahu Kapan Tuhan Mengingatku?
“Aku tahu kapan waktunya Tuhan mengingatku. Sungguh
aku yakin sangat mengetahuinya!” Kalimat
itulah yang Badrul lempar pada pertemuan tausiyah malam itu di kampungnya.
Para jemaah geger. Saling menatap dan tanda tanya
dengan yang lainnya. Sang ustadz pun memohon dengan lembut dengan rasa kaget
yang tertahan kepada Badrul untuk memohon ampun kepada Tuhan.
“Mas Badrul, istighfar ya yang banyak!”
“Lho, apa salah saya?” Badrul merasa aneh dengan
ucapan ustadz.
“Mas Badrul telah melampaui batas dalam bersikap
kepada Tuhan!”
“Ah, itu kan soal perspektif!”
“Saya tanya, apa benar Mas Badrul tahu kapan waktu
yang tepat Tuhan mengingat Mas Badrul?”
“Iya, saya tahu!”
“Yakin?”
“Iya saya yakin!”
“Haqqul yakin?”
“Iya, tidak percaya juga.”
“Mengapa Mas Badrul bersikap tidak sopan kepada
Tuhan?”
“Lho, tidak sopan gimana? Saya Cuma memberitahu semua
yang hadir kalau saya tahu hal itu sehubungan dengan ceramah Bapak Ustadz
tadi!”
“Iya saya paham, tapi tidak seharusnya mendahului
kehendak Tuhan. Seharusnya tidak terjadi sikap dan sifat Mahatahu Tuhan!”
“Ah, sudahlah, Ustadz tidak faham maksud saya. Saya
pulang saja!”
“Baiklah, yang banyak istighfar ya Mas!”
Badrul melenggang begitu saja tanpa membalas ucapan
ustadz. Para jemaah yang hadir sontak serentak melantunkan istighfar mengiringi
kepergian Badrul.
Habis subuhan, kampung itu mulai ramai membincangkan
Badrul. Sehabis Subuh, bukannya menyiapkan mencari rezeki, malah sibuk
membincangkan sikap Badrul malam itu.
“Badrul telah sesat! Salah jalan!”
“Oya, mengapa begitu?” Tanya mereka yang tidak hadir
dalam pengajian. Berbagai pandangan tentang Badrul pun meledak dengan berbagai
versi.
“Naudzubillah, iya itu kalimat sesat! Badrul telah
sesat!”
“Kampung kita mulai tidak aman. Kampung kita bisa jadi
sasaran azab Tuhan. Kita harus menyelamatkan warga dari murka Tuhan atas
kesesatan Badrul. Apa yang harus kita lakukan?”
“Sebaiknya kita menghadap Pak RT dulu. Apa Pak RT
hadir kemarin malam pada acara itu?”
“Iya, hadir!”
“Nah, kalau hadir berarti kita bisa langsung membahas
solusi!”
“Baiklah, kita pulang dulu baru kemudian berangkat
bersama ke rumah Pak RT!”
Si tukang sayur, tukang ikan, tukang semir sepatu,
pengamen, si guru, si satpam, hansip, kurir, gojek, grab, pada pamit kepada isteri
mereka untuk tidak bekerja hari itu. Mereka menganggap masalah Badrul adalah
masalah akidah. Dan masalah akidah itu adalah masalah sangat penting. Mereka
berniat membela Tuhan yang telah dilecehkan oleh Badrul.
Setelah mendapatkan omelan dari para isteri, mereka
berangkat merasa berjihad ke rumah Pak RT. Pak RT mempersilakan mereka duduk
dulu baru bicara. Pak RT menahan mereka bicara saat masih berdiri.
“Ada apa ini kok ramai-ramai ke sini? Soal Badrul?”
Tanya Pak RT.
“Iya. Pak RT mendengar dan menyaksikan sendiri kan?”
“Iya, saya menyaksikan dan mendengarkan dengan telinga
saya sendiri bahkan sepulang acara saya membahasnya dengan isteri di tempat
tidur!”
“Bagaimana menurut Pak RT sebaiknya?”
“Menurut kalian gimana?”
“Kami berkesimpulan ketika ada satu orang sesat di
kampung kita, maka Tuhan akan mendatangkan murkaNya kepada kampung kita.
Tinggal menunggu waktu!”
“Benar, apa yang harus kita lakukan?”
“Kita usir saja Pak RT!”
“Itu rumit. Badrul warga asli kita. Turun temurun
hingga Badrul menempati rumah itu di kampung ini. Ada cara lain?”
“Tidak ada cara lain Pak RT. Kita harus mengusirnya
dari kampung kita!”
“Tunggu, pikirkan dulu masak-masak!”
“Kita laporkan ke polisi biar di penjara karena telah
melecehkan Tuhan!”
“Ngawur. Masalah Badrul bukan kriminal! Tidak pada
tempatnya kita lapor ke polisi!”
“Kalo ke MUI?”
“Nah, itu masih relevan! Begini saja dulu, sebaiknya
kita undang secara resmi Badrul ke suatu tempat yang kita fasilitasi, terbatas
dan tertutup.”
“Maksud terbatas dan tertutup gimana Pak RT?”
“Ya hanya menghadirkan para ahlinya dan tidak boleh
dibuka untuk umum!”
“O, begitu. Baiklah Pak RT mungkin itu sebagai tahap
awal sebelum kita naikkan ke MUI!”
Hati mereka memperoleh harapan dengan solusi Pak RT.
Mereka pun pulang ke isteri mereka. Karena pertemuan itu tidak memakan waktu
sehari dan berjalan dengan singkat, isteri mereka memerintah mereka mencari
duit. Mereka pun berjingkat pergi bekerja.
Sepucuk surat resmi dari RT berkop dan berstempel pun
diterima Badrul dengan keterangan sifat PENTING. Tepat pada waktunya, Badrul
pun hadir lima menit sebelum waktunya. Dalam acara itu Pak RT sengaja
mengundang tokoh masyarakat, kyai Mursyid, pengacara, Ustadz Muin-penceramah
saat tausiyah, dan empat orang saksi yang hadir pada acara itu. Pertemuan itu
dipimpin langsung oleh Kyai Mursyid.
Kyai Mursyid langsung pada inti permasalahan.
“Benarkah Saudara Badrul menyatakan bahwa mengetahui kapan waktu yang tepat
Tuhan mengingat Badrul?”
“Iya, benar! Mengapa saya seperti terdakwa Kyai?”
“Bukan begitu, kami Cuma ingin penjelasan karena telah
terjadi kesalahfahaman di antara pada hadirin di acara itu sehingga Pak RT
meminta saya menengahi dan mencari tahu penjelasan Saudara Badrul atas
pernyataan itu! Kami harap Saudara Badrul tidak tersinggung atas pertemuan ini.
Bersediakah Mas Badrul menjelaskan maksud pernyataan itu?”
“Iya, Kyai. Seandainya saya diberi kesempatan waktu
itu pada saat tausiyah tidak akan terjadi penghakiman ini! Mohon maaf yang
sebesar-besarnya karena perbuatan dan ucapan saya merepotkan semua orang.”
“Tidak apa-apa, itulah gunanya bermasyarakat!”
“Mengenai pernyataan saya bahwa saya tahu kapan
waktunya Tuhan mengingat saya, penjelasannya begini.”
Semua menunggu jawaban cerdas Badrul. Sementara Badrul
menebarkan senyum. Senyum yang manis. Bukan senyum mengejek. Ia menatap lembut
empat orang saksi yang melapor ke Pak RT. Ia juga menatap Ustadz Muin
dalam-dalam, tapi tanpa dendam. Semua menunggu jawaban Badrul. Badrul sengaja
melambatkan waktu biar tepat titik fokusnya sehingga akan tepat diterima dalam
hati mereka yang mendebatkannya tanpa berpikir mendalam.
“Saudara Badrul, kami menunggu jawaban!” Kyai Mursyid
menegur.
“Begini, saya sangat tahu dan yakin kapan waktu Tuhan
mengingat saya yakni ketika saya mengingatNya! Itu saja!”
Yang semula bisik-bisik, setelah mendengarkan jawaban
Badrul, mereka terdiam. Sejenak senyap.
Kemudian, beberapa orang meminta penjelasan detil mengenai jawaban Badrul.
“Saya yang punya pernyataan, saya juga yang memberikan
jawaban atas pernyataan saya. Terus tugas kalian apa? Tidak sanggupkah sekedar
berpikir?”
Sebagian mereka hanya melongo.
“Maaf Kyai, urusan saya sudah selesai. Saya pamit
pulang!”
Kyai Mursyid membenarkan pernyataan Badrul. Ia
memberikan penjelasan panjang lebar lengkap dengan dalilnya. Maklum sekarang
lagi musim orang mempertanyakan dalil. Penjelasan itu juga dimimbarkan dalam
kutbah Jumat di kampung itu agar menjadi ilmu bagi warga kampung sekaligus menebarkan
kedamaian.
Posting Komentar untuk "Apa Benar Kamu Tahu Kapan Tuhan Mengingatku?"