Selamatkan NKRI Melalui Lembaga Pendidikan
Mas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi
(Kemendikbud Ristek), Nadiem Makarim; Menteri Agama, Gus Yaqut; pihak BNPT (Badan Nasional Penanggulangan
T3r0ri1sme), Kementerian Pertahanan RI, dan Kementerian Dalam Negeri, Pimpinan
TNI dan Polri seperti secepatnya perlu duduk bareng membahas soalan pelik yang
menimpa negeri tercinta saat ini. Tema dalam agenda duduk bareng tersebut yang
sangat tepat adalah: Selamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari
rongrongan virus intoleran dan r4dikalisme di bidang pendidikan (formal dan
informal).

Baca Juga:
Semua Salah Jokowi, Solusinya Khilafah
Wajah bangsa dan negara ini, beberapa kali dan bahkan berkali-kali
diresahkan dengan sejumlah demontrasi atas nama agama dan gagasan pendirian
khilafah. Apapun tema yang mereka angkat dan angkut akan berakhir pada tuntunan
turunnya presiden yang sah dan mengganti sistem pemerintahan dengan sistem khilafah.
Beberapa soalan lain lagi yang mencuat yakni mengenai publikasi dan propaganda
poligami yang terang-terangan dan terbuka bahkan ada mentornya. Sang mentor
dalam wawancaranya dengan Narasi Newsroom
(penggiat media online) 13 April 2022 lalu menyatakan bahwa Islam sudah
hadir dengan kemenangan T4liban, maka tepat waktunya untuk memperbanyak umat
melalui poligami. Apakah anda tidak merasa aneh dengan pernyataan tersebut?
Dengan menyebut satu kata ‘T4liban’, sudah dapat kita indikasi
bahwa sang mentor poligami adalah pimpinan kelompok yang pro-khilafah melalui
jalur propaganda poligami sekaligus model pelakunya. Sang mentor punya kiblat
yang jelas yakni T4liban. Inilah mesin prototipe yang akan diproduksi dari
kelompok kecil yang bernama keluarga sebagai bentuk pendidikan informal. Pendidikan
informal dalam bentuk keluarga dapat menciptakan lebih banyak manusia yang akan
dicetak sebagai manusia intoleran dan r4dikal yang dapat diproduksi massal dan
cepat melalui poligami.
Itu gambaran berkembang biaknya penanaman virus intoleran
dan r4dikal dari lumbung pendidikan informal yang bernama keluarga kemudian
dilanjutkan ke lumbuh yang lebih besar. Lumbuh yang lebih besar dan paten
selanjutnya adalah lembaga pendidikan formal. Ada banyak jenis lembaga
pendidikan formal. Ada lembaga pendidikan swasta dan negeri. Ada lembaga
pendidikan berbasis agama, ada lembaga pendidikan nonformal, dan ada kantong-kantong
lain seperti organisasi ber label agama, serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
yang juga berbasis agama dari semua bentuk dan jenjang. Bukankah sangat luas
dan nyaman? Bukankah lembaga pendidikan merupakan pabrikan terbaik untuk
mencetak generasi yang anti Pancasila, anti NKRI, anti UUD 1945, anti Merah
Putih, dan anti Bhinneka Tunggal Ika?
Lembaga pendidikan dapat dijadikan rumah produksi kedua
setelah rumah tangga poligami yang kiblatnya Taliban. Rumah produksi kedua ini,
secara teknis dapat memantenkan paham intoleran dan r4dikalisme atas nama agama
yang dapat disuntikkan dengan bebas setiap saat. Pada saat diperlukan mereka bisa
saja dipanen dan digunakan dengan baik. Terutama dapat digunakan sebagai alat politik
yang bisa menggoyang negara yang sah. Bisa digunakan untuk membuat kerusuhan
bahkan menggulingkan negara dengan harga yang sangat mahal.
Dengan duduknya beberapa kementerian beserta BNPT, TNI dan Polri rasanya
perlu digagas bagaimana caranya mendeteksi bahwa manusia di dalam lembaga
pendidikan atau manusia yang berpoligami dengan bangganya atas nama agama, aman
dari virus intoleran dan r4dikalisme. Perlu digagas langkah-langkah teknis dan
taktis yang dapat memindai kecintaan mereka terhadap NKRI. Perlu dibuatkan formula
jitu yang dapat menyimpulkan dan valid yang bisa dijadikan dasar pengambilan
keputusan semisal dihentikannya lembaga pendidikan yang terpapar virus
intoleran dan r4dikalisme. Hal ini perlu segera dilakukan dan sangat mendesak
sebelum bangsa ini menuai bencana yang paling besar.
Sebagaimana data yang diungkap oleh Direktur Pencegahan
BNPT Ahmad Nurwakhid saat pada Kamis 4 November 2021. BNPT menyebut bahwa ada
beberapa kantong manusia yang terpapar virus tersebut dengan rincian bahwa
indeks survei yang berpotensi r4dikalisme di kalangan PNS (pro khilafah ataupun
anti Pancasila) saja mencapai 19,4 persen (data 2018-2019). Selanjutnya ia
menyebutkan bahwa terdapat 3 persen anggota pengaman nasional (Tentara Nasional
Indonesia(TNI) serta Polri), 20 persen kelompok mahasiswa, 18 persen pegawai
BUMN (anti Pancasila), 4 persen pemuda (siap bergabung dengan ormas pengacau
dunia), dan sebagainya.
Nah, para masyarakat pendidik di berbagai bentuk dan
jenjang pendidikan bukankah belum diperiksa? Bukankah di lembaga pendidikan
terjadi pengharaman menghormat bendera merah putih? Bukankah di dunia
pendidikan penanaman stigma bahwa sistem pemerintah Indonesia saat ini adalah
sistem taghut atau dajjal atau iblis? Bukankah dalam dunia pendidikan haram
berpartisipati dalam program Keluarga Berencana (KB)? Bahkan di lembaga
pendidikan dapat dengan mudah membaiat atau mencekoki paham takfiri dan usungan
khilafah? Bukankah guru atau ustad mudah meng-install aplikasi inteleran,
r4dikalisme, dan pro khilafah pada otak dan benak peserta didik di lembaga
pendidikan?
Indikator yang disampaikan Nurwakhid berikutnya
tentang indikator potensi r4dikalisme
antara lain tidak setuju atau anti-terhadap Pancasila, prokhilafah, anti
terhadap pemerintahan yang sah, intoleran, dan eksklusif hingga pengharaman terkait budaya
dan kearifan lokal keagamaan ini dapat digunakan sebagai bahan untuk
menciptakan alat yang kemudian disepakati sebagai alat pindai ulang kesetiaan
mereka terhadap NKRI. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, PP Nomor 77 Tahun 2019,
PP Nomor 35 Tahun 2020, serta Perpres Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi
Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Extremisme Berbasis Kekerasan yang
Mengarah pada Terorisme, dapat dijadikan dasar untuk membuat rubrik untuk
memindai ulang dan menyisir dengan ketat kesetiaan mereka kepada NKRI.
Bagaimana dengan masyarakat pengguna layanan pendidikan? Harus lebih selektif. Sering-seringlah bertanya kepada ananda apa yang telah didapat dari lembaga pendidikan tersebut. Sesekali atau seringkali juga ikut memantau proses pembelajaran yang sedang berlangsung dalam lembaga pendidikan tersebut. Jika para pengguna layanan pendidikan juga diam dan membenarkan yang salah, NKRI tak akan terselamatkan. Jika masyarakat merasa aman-aman saja dengan lembaga pendidikan yang berlabel agama, tentu kita tak dapat menyelamatkan NKRI.
Empat kementerian dan pihak BNPT, TNI, Polri bukankah
relevan menggagas dan mengemas serta menjadi scanner atas paham intoleran dan radikalisme serta pro khilafah?
Kesemua pihak tersebut bukankah pihak yang harusnya paling kuatir atas
indikator terjadinya keresahan yang menggoyang negara yang sah? What the next? This is Emergency! Kalau Bukan Kita, Siapa Lagi?
#selamatkanNKRI
#selamatkanIndonesia
#saveIndonesia
#SaveNKRI
Posting Komentar untuk "Selamatkan NKRI Melalui Lembaga Pendidikan"