Hana Fatwa: Kapak Ibrahim (3)
Short Story by Hana Fatwa.
Pernah
sekali Ochim diam-diam dari Pak Munir ikut main petak umpet. Hanya selang
beberapa menit, Ochim ditemukan gemetaran dengan tubuh kebiruan di tempat
persembunyiannya. Sejak saat itu, tak ada yang berani mengajaknya bermain.
Ochim lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah, menemani Pak Munir menjaga bengkelnya.
Bu Munir sesekali mengajarinya membaca dan menulis. Saat berusia sepuluh tahun,
Ochim baru bisa lancar membaca dan menulis. Kudengar, Pak Munir membelikannya handphone
agar Ochim bisa belajar menulis lewat SMS. Dua tahun setelah itu, Ochim
baru lancar mengaji. Lagi-lagi Pak Munir memberinya hadiah. Sebuah mushalla
mini di lantai atas rumahnya, lengkap dengan seperangkat tape dan pengeras
suara. Ochim senang bukan kepalang. Ia menjadi rajin mengaji, memutar lantunan
ayat-ayat suci Quran dengan tape dan pengeras suaranya, mengumandangkan adzan
dengan suaranya yang menyerupai dengungan setiap lima waktu shalat, dan
membangunkan orang-orang untuk shalat tahajjud dengan dzikirannya tiap jam tiga
pagi. Bagaimanapun, dalam hatinya, ia ingin tampak sama dengan teman-teman
seusianya.
Di
bulan-bulan pertama, Ochim sangat menikmatinya. Tapi sayang, tetangga-tetangga
Ochim yang rumahnya berdempetan dengan mushalla mininya memprotes. Mereka
merasa terganggu dengan suara-suara dzikiran Ochim lewat pengeras suaranya di
tiap jam tiga dini hari itu.
“Enak-enaknya
tidur tu, Pak,” begitu kata Pak Komar, tetangganya.
“Kalau
subuh sih, bolehlaah...” Mak Romlah yang seharian bertani menimpali.
“He’eh.
Kita khan seharian kerja, malemnya kecapekan. Paginya pasti ngantuk
karena semaleman gak bisa tidur gara-gara tuh loadspeaker. Kasihani kami
lah, Pak Munir...” Pak Syam yang berjualan daging di pasar juga ikut nimbrung.
Ochim
yang mendengarnya kecewa sekali. Ia jadi tak berselera menyalakan tape-nya
lagi. Menyentuh pun enggan.
“Tak
apa, Chim. Selain jam tiga malam, Ochim boleh menyalakannya. Ochim tetap boleh ngumandangin
adzan tiap waktu. Abah bakalan kangen kalau gak denger suara Ochim
adzan. Ya, cong, ya?” Sulit sekali Pak Munir membujuk Ochim.
“Iya, cong.
Mak juga. Orang-orang bilang, suara Ochim mirip sahabat Nabi, Bilal,” Mak
Munir yang duduk di sebelahnya mengelus-elus rambut kacong satu-satunya.
Ia khawatir, Ochim merasa tertekan dan penyakitnya kumat. Sebisa mungkin ia
meyakinkan Ochim, agar ia merasa bahwa masih banyak orang yang menyayanginya.
Sangat mencintainya.
Akhirnya,
Ochim mau mengerti. Tapi, ia hanya mau mengumandangkan adzan saja. Itu pun
tidak saat subuh. Ia masih terlalu takut diprotes tetangga-tetangganya lagi. Ia
tak mau Abah dan Mak sedih karenanya. Makanya, di tiap jam tiga pagi, Ochim
menuju ke mesjid Jami’ kampung itu. Di mesjid Jami’ Al-Anwar yang jauh dari
perumahan itu, Ochim bisa bebas menyalakan tape dan memperdengarkan lantunan
ayat Quran, membantu Pak Haji Bakri, sang marbot mesjid. Ochim seperti
menemukan tempat pelarian. Ia biasanya shalat tahajjud dan menunggu hingga
jama’ah subuh tiba.
Orang-orang
kampung ini aneh, pikirku saat mendengar kabar itu dari Pak Munir. Bukannya
mereka senang ada yang membangunkannya untuk ibadah, eh ini malah protes.
Giliran main kelereng roller coaster sampai maghrib, tak ada yang
protes. Aku geleng-geleng kepala sendiri memikirkannya. Sepertinya ini
tanda-tanda akhir zaman.
“Ss..ssalaamu’alaikum,
wwak ajiih,” Ochim tiba-tiba muncul dengan sepeda onthelnya. Ia membungkuk
untuk bersalaman.
“Wa’alaikumsalam
warahmah. O-Ochim?” aku menerima salamnya, “tumben maghrib ke sini?”
Ochim nyengir,
memperlihatkan deretan giginya yang tidak rata dan menghitam. Konon, itu
pengaruh obat yang dikonsumsinya sejak ia bayi.
“Iyyah,
wak ajiih... Occhim pengen ikkut dibba’an...” jawabnya.
Aku
manggut-manggut. “Ayo!” ajakku.
“Nggih.. [1]” Ochim cepat-cepat
mengambil sesuatu dari keranjang sepeda onthelnya, menggulungnya dalam
sarung dan bergegas menyusulku.
Diam-diam,
aku bersyukur dalam hati. Kekhawatiran melihat Ochim di tempat permainan
kelereng tadi sepertinya harus kubuang jauh-jauh. Ia tidak seperti anak-anak
muda kampungnya yang suka nongkrong di pertigaan tiap sore hari, atau
yang seharian mengadu nasib di permainan kelereng judi itu. Ochim tak seperti
itu. Ochim yang dikenalnya, tidak mudah terpengaruh dan seperti punya dunianya
sendiri. Ochim memang berbeda. Anak ini istimewa. Fisiknya istimewa, hatinya jauh
lebih istimewa.
^*0*^
Seperti yang sudah
tersebar ke seluruh kampung, siang ini pertandingan kelereng roller coaster antara
genk Salim melawan genk Gepeng digelar. Seumpama perayaan besar, sejak tadi,
anak-anak kecil, remaja, sampai bapak-bapak dan ibu-ibu yang sedang ngaso dari
sawah berjubel menonton. Pertandingan itu dilakukan dalam tiga set, karena
kedua genk sama-sama menang di set pertama dan kedua. Salim tampak gugup. Kalau
sampai dia kalah, taruhannya, roller coaster itu akan jadi milik genk
Gepeng. Ini gak boleh terjadi, gumam Salim dalam hati.
Set ketiga dimulai. Salim
dan Gepeng yang memasukkan kelerengnya sendiri ke lubang botol itu, karena ini
set penentuan. Seperti sebuah motor balap, kelereng keduanya meluncur dengan
cepatnya dan...
“Yak, yak, yak...”
GUBRAKK KRAKK KRAK KRAK
BRAK!
“WAAAAAAAAA!!!”
Semua penonton berteriak
histeris. Beberapa orang yang berada di barisan paling depan segera mundur
menghindar. Dalam sekejap, bangunan roller coaster itu tiba-tiba ambruk
ke tanah. Tingkatan kayu pertama menimpa tingkatan kayu berikutnya, sampai
akhirnya satu-persatu bambu penyangganya ambruk tertimpa kayu yang lebih berat
di atasnya. Pipa-pipanya patah dan tali senarnya putus dari paku pengikatnya.
Kayu penampang, bambu penyangga dan pipa lintasannya ambruk bertindihan.
Bangunan roller coaster itu hancur tak bersisa.
Salim melompat dari bangku
kayu kesayangannya. Bagaimana mungkin ini terjadi? Ia seperti baru saja
melihat kiamat.
“WOIIIII! CURAANG!!!!”
tiba-tiba Gepeng menghampiri dan mencengkeram kerah baju Salim. ”Penge**t lu!!!”
Ditonjoknya muka Salim. Salim
memberontak. Dibalasnya dengan memukuli kepala Gepeng. Suasana gaduh seketika.
Bapak-bapak dan teman-teman genk mereka berdua berusaha memisahkan, tapi Salim
dan Gepeng malah semakin menjadi-jadi. Mereka berkelahi, bergulung-gulung di
tanah. Anak-anak remaja cewek menjerit-jerit histeris. Sebagian yang lain malah
kabur dari tempat itu.
Berita kegaduhan itu
langsung tersebar ke seluruh kampung. Orang-orang kampung datang
berbondong-bondong ke tempat kejadian. Mungkin ada yang melapor ke kantor
polisi. Tampak Pak Wiryo datang dengan pasukannya. Mereka berusaha melerai
Salim dan Gepeng dan membawanya ke kantor polisi.
Aku yang mendengar suara
gaduh dari mesjid segera menyelesaikan sunnah ba’diyah dzuhur dan menuju ke
tempat kejadian yang tak jauh dari mesjid.
ALLAHU AKBAR!!! Diam-diam
aku berseru dalam hati. Bangunan roller coaster yang megah itu hancur
sudah berkeping-keping, persis seperti reruntuhan bangunan mushalla Haji Sukri
yang dirubuhkan dulu. Tiba-tiba aku begidik. Rasanya baru kemarin ia melihat
Salim berdiri congkak membentak-bentaknya, sekarang bahkan Salim tak mampu
menegakkan kepalanya ketika Pak Wiryo menyeretnya ke kantor polisi. Allah
menjawabnya terlalu cepat. Lebih cepat dari perkiraannya.
[1] Iya (Mdr.).
Lengkapnya: Enggi.
Alfin Nuha (Hana Fatwa) adalah nama pena dari Hana Al Ithriyah. Lahir di Sumenep, tepat hari Ibu, 22 Desember 1986. Aktif menulis sejak SD. Cerpen (short story prompt) pertamanya dimuat di Surabaya Post. Sempat vakum beberapa kali dan aktif lagi beberapa kali (pula :D). Paling sulit Buat tulisan bertema cinta, paling suka bikin tulisan bertema humaniora. Kumpulan cerpennya terpilih sebagai juara ketiga dalam Sayembara Penulisan Buku PuskurBuk KemendikBud Nasional pada tahun 2012. Beberapa Bukunya yang telah terbit: Kumcer Selaksa Rindu Dinda (GIP, 2004), Kumpulan cerpen (short stories) My Valentine (GIP, 2006), Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis (Muara Progressif, 2009), Kumcer Layang-Layang Kertas (Matapena, 2010), Cerita Cinta Ibunda – Kumpulan Esai Juara (Qanita_Mizan, 2011), Novel Gadis Bermata Ruby (PMU, 2014), Antologi Selamanya Santri vol. 1 dan 2 (Kun Fayakun, 2019), Antologi Catatan Harian Terakhir Jessica (Kun Fayakun, 2019), Antologi Oleh Pemenang NulisBuku Indonesiana, Tor Tor Untuk Amang (KemendikBud, 2019).
Posting Komentar untuk "Hana Fatwa: Kapak Ibrahim (3)"