Hana Fatwa: Kapak Ibrahim (1)
Short Story by Hana Fatwa.
Aku baru saja pulang dari shalat berjamaah Ashar di mesjid, saat kudengar suara
gaduh di halaman depan rumah almarhum Haji Sukri.
"Tooong, duwaaaa', telloo'[1]…
yo!"
"Tunggu!" aku berlari
terseok dengan tongkat kayuku yang mengetuk-ngetuk jalanan aspal dengan begitu
kacaunya.
"Mau..kalian..apakan..mushalla ini?"
aku berusaha menyelesaikan kalimatku di antara tarikan napas yang sengal.
Bagian dada kiriku sakit.
"Mau kami rubuhkan, Pak Haji"
suara seorang pemuda menjawab. Dia Salim, anak bungsu almarhum Haji Sukri.
"Kenapa dirubuhkan, cong[2]?"
"Ya… sudah reot begini, mau diapakan lagi, Pak Haji. Daripada
gak berguna, lahannya akan kami gunakan nanti," terangnya lagi.
"Tapi, nak Salim. Mushalla ini
masih bisa diperbaiki, tidak malah dirubuhkan, karena tak terawat."
"Diperbaiki?"
Aku
mengangguk.
"Coba Pak Haji lihat kondisi
mushalla ini. Berapa banyak dana yang harus dikeluarkan? Pak Haji berani nyumbang
berapa?!" Salim mengakhiri
kalimatnya dengan sesungging senyum sinis, mengejekku.
Aku melihat
berkeliling. Di mataku, mushalla ini bagaikan rumah tua tak berpenghuni. Tiga
bambu penyangga temboknya kini sudah tak lagi mampu menyanggah dengan baik.
Sedikit saja kugerakkan, beberapa bagian tembok mengelupas dan berjatuhan ke
tanah. Sementara di lantainya kotoran binatang bertebaran; kotoran ayam,
merpati, cecak, dan kodok. Baunya menyeruak tiba-tiba dan membuatku mual
sesaat.
"Tolong pikirkan sekali lagi, nak!" aku memandang mata
Salim yang tajam penuh harap. Temannya yang lain mendengus kesal.
"Apa lagi, Pak Haji Bakri? Apa Pak
Haji berubah pikiran untuk membeli mushalla ini? Berapa Pak Haji berani
bayar?" senyum penuh ejekan Salim mengembang lagi.
"Bapak tidak ingin membeli, nak.
Tapi bapak hanya ingin ikut menjaga saja."
"Oh, ya?" Salim maju menghadapiku,
tetap dengan senyuman sinisnya, "Memangnya Pak Haji siapa, heh? Apa
hak Pak Haji atas mushalla ini? Dengar, Pak Haji Bakri!" Suara Salim
meninggi. Beberapa orang yang kebetulan melintas satu-dua berkerumun. "Dengar!
Mushalla ini milik almarhum Haji Sukri dan KETURUNANNNYA!" Salim
memberikan penekanan di akhir kalimatnya, membuatku terpojok.
"Sudahlah, Pak Haji. Jangan
memperlambat kerja kami. Apa lagi yang Pak Haji pikirkan? Ayolah, menyingkir
dari situ!" sepertinya Salim sudah tak sabar lagi. Temannya yang lain juga
menggerutu, menyuruhku pergi. Tali tambang yang diikatkan pada pintu, jendela,
dan beton penyangga mushalla yang juga sudah rapuh dan berlumut sewaktu-waktu
akan ditariknya bersama teman-temannya yang lain, dan setelah itu, aku hanya
akan melihat mushalla ini tak ubahnya gundukan tanah saja.
"Yo!"
"Salim, ja…"
BRAKKK!
Aku benar-benar telah
terlambat. Di hadapan mataku, mushalla sederhana Pak Haji Sukri yang kutahu,
dibangun dengan peluhnya selama berbulan-bulan karena sering kekurangan dana,
kini dalam sekejap saja tak berbentuk lagi. Debu-debu dari reruntuhannya
membuatku terbatuk-batuk. Salim dan beberapa temannya menyeringai puas. Menit
kemudian, pemuda berambut gondrong itu mulai mengangkuti bata berlumut dan
meratakan tanahnya. Mereka mengacuhkan keberadaanku.
Benar,
kata Salim. Aku bukan siapa-siapa di sini. Tapi, entahlah. Ada firasat tak
nyaman yang tiba-tiba muncul di benakku tentang Salim, tentang rencananya untuk
mempergunakan lahan ini. Andai Salim yang kukenal adalah pemuda baik di desa
ini, firasat buruk ini tidak akan mengganggu pikiranku.
Ah!
Kupandangi sekali lagi mushalla Haji Sukri yang kini rata dengan tanah, sebelum
akhirnya beranjak pergi. Sungguh, aku merasa, tubuhku seakan ikut ambruk ke
tanah.
^*0*^
Malam
masih di sepertiga awal, saat kususuri jalan menuju mesjid.
Ting!
Ting! Ting!
Kupukuli tiang listrik
di pinggiran jalan dengan tongkat kayuku, sebagai pertanda. Siapa tahu ada yang
lupa menghidupkan jam weker untuk shalat tahajjud,
atau malah lupa mengunci pintu, sebelum tidur tadi.
Sepi.
Malam dingin,
menegakkan bulu roma. Beberapa musang melintas cepat menyeberang jalan. Suara
jangkrik di rerimbunan rumput dan pepetak sawah di sepanjang jalan bertasbih
memeriahkan malam.
Aku sengaja
memperlambat langkah. Menikmati pertunjukan malamNya. Kuperbaiki letak kacamata
tuaku, dan detik kemudian, kutengadahkan wajah ke arah langit. Langit malam
selalu tetap sama, tapi aku tahu, malam ini mendung. Mataku masih cukup jelas
menangkap bahwa tak ada satu cahaya bintang pun di sana. Bulan separuh menenggelamkan
dirinya di balik awan stratokumulus yang kelabu. Sinarnya pun tak ada. Mungkin
sebentar lagi hujan akan turun.
Saat kumenunduk kembali, baru kusadari
bahwa aku sudah berada di depan rumah almarhum Haji Sukri. Samar-samar kudengar
suara orang-orang berbicara. Genk
Salim. Mereka begadang tiap malam, dan baru bubar saat subuh.
Gaduh. Suara-suara itu ditingkahi suara desingan ban sepeda yang diputar,
"Punyaku kurang kecil. Ayo putar
lagi, Syam!"
"Gantian
lah, Bro. Aku
sudah
capek sedari tadi."
"Ayo,
dong, Dul. Gantiin aku nih!"
"Lodheng[3]. Mending
nelpon cewekku.
Mumpung gratisan nih."
"Huh,
dasar monyet XL lu! Semua cewek lu telponin. Emang di dunia
monyet gak ada jam tidurnya
ya?" Maimun yang biasa dipanggil Mumun menggerutu.
"Sirik
aja lu! Suka-sukaku
dong. Yang penting, nyambung teruuuuus…" si Abdul menirukan iklan di tv,
dan dengan cueknya, ia mengambil posisi tiduran di sofa depan teras rumah
Salim. Si Mumun yang dari tadi gregetan melihat tingkahnya menyumpal monyong si
Abdul yang selalu menjadi kebanggaannya, karena dengan 'monyong kebesarannya',
ia merasa bak Tukul Arwana. Wuih!
"Alah, pada ribut aja. Sini. Biar aku aja!" kuyakini itu suara Salim. Dan benar saja, kulihat ia bangkit dari tempat duduknya, sebuah bangku kayu segiempat dengan laci di bagian depannya. Ia membuka baju dan hanya
[1] Satu, dua, tiga…
[2] Cong, lengkapnya kacong
(Mdr) artinya bocah, anak laki-laki.
[3] Bodoh, tolol. Tapi, dalam
penggunaan keseharian bisa semakna dengan: enak aja!
Alfin Nuha (Hana Fatwa) adalah nama pena dari Hana Al Ithriyah. Lahir di Sumenep, tepat hari Ibu, 22 Desember 1986. Aktif menulis sejak SD. Cerpen (short story prompt) pertamanya dimuat di Surabaya Post. Sempat vakum beberapa kali dan aktif lagi beberapa kali (pula :D). Paling sulit Buat tulisan bertema cinta, paling suka bikin tulisan bertema humaniora. Kumpulan cerpennya terpilih sebagai juara ketiga dalam Sayembara Penulisan Buku PuskurBuk KemendikBud Nasional pada tahun 2012. Beberapa Bukunya yang telah terbit: Kumcer Selaksa Rindu Dinda (GIP, 2004), Kumpulan cerpen (short stories) My Valentine (GIP, 2006), Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis (Muara Progressif, 2009), Kumcer Layang-Layang Kertas (Matapena, 2010), Cerita Cinta Ibunda – Kumpulan Esai Juara (Qanita_Mizan, 2011), Novel Gadis Bermata Ruby (PMU, 2014), Antologi Selamanya Santri vol. 1 dan 2 (Kun Fayakun, 2019), Antologi Catatan Harian Terakhir Jessica (Kun Fayakun, 2019), Antologi Oleh Pemenang NulisBuku Indonesiana, Tor Tor Untuk Amang (KemendikBud, 2019).
Posting Komentar untuk "Hana Fatwa: Kapak Ibrahim (1)"