Hana Fatwa: Uang!
Short Story by Hana Fatwa.
Deretan kendaraan
tampak mengular naga hingga keluar area SPBU. Mulai dari kendaraan roda dua
sampai kendaraan roda empat. Belum lagi antrean orang-orang yang ingin mengecer
bensin dengan jerigen-jerigen dari mulai ukuran sedang sampai ukuran jumbo,
bahkan super jumbo. Istilahnya double-XL gitu lah! Sementara bunyi
klakson bersahutan ditingkahi teriakan orang-orang yang menyumpahserapah.
“Tiiin….Tiiiiiin…..”
Diara memencet klakson
keras-keras. Wajahnya cemberut berat, persis seperti balon udara yang nyaris
meledak.
“Sabar dikit ‘napa
sih, Ra? Dari tadi telinga gue jadi panas nih denger ocehan lu!”
Maya di sebelahnya, melirik gadis itu tajam.
“Ho-oh” Linda di
jok belakang mengiyakan.
“Abis, udah lebih
sejam gini, belum jalan-jalan juga. Kita antrean keberapa puluh sih, May?
SPBUnya aja gak kelihatan”
“Au’, ah.
Mending lu turun dan ngitung aja sendiri!”
Linda ngikik mendengar
jawaban asal Maya, sementara Diara makin manyun saja.
“Aseli deh,
selera shopping gue jadi ngabur. Pokoknya, gak gue maafin deh,
pemerintah yang seenaknya naikin harga BBM jadi melangit kayak gini. Mana harus
ngantre berjam-jam gini, bayarnya juga dua kali lipat. Belum lagi uang sakuku
musti kepotong 20% gara-gara harga pada naik. Jatah shopping terpaksa kekurang.
Huh! Bisa-bisa gue ketinggalan mode fashion minggu ini deh. Dasar!”
“Aduh, Non, udah deh,
kalo mo demo jangan di sini. Turun no! Ke pinggiran HI sekalian, siapa
tahu masuk tivi. Lumayan kan? Ya nggak, Lin?”
“Iya, ntar deh gue
bantuin bikin spanduknya biar tambah heboh. Siapa tahu, mahasiswa yang lain
pada ikutan...”
“Ih, udah deh lu
pada! Bikin gue tambah stress tahu, gak sih lu?!”
Maya dan Linda tertawa
tertahan melihat tampang Diara yang 99,99 % makin kucel.
“Lu sih, Ra,
ngocehnya sama kita. Punya bokap anggota dewan tuh dimanfaatin. Suarakan dong
penderitaan dan rintihan rakyat kayak kita…” Maya sok berpuitisasi. Lagi-lagi,
Linda cekikikan melihat tampang Maya yang sok serius. Mau tidak mau, Diara tertawa
juga melihat tampang gadis itu, tapi kesalnya masih berlipat juga.
“Alah, udah deh.
Senewen gue ngomong sama lu berdua!” Diara bersungut, sementara
Maya dan Linda tambah cekikikan, karena berhasil membuat gadis itu makin kucel
bin kesel.
“Jadi, gimana
nih, girls?” Diara melirik dua sohibnya, meminta pendapat.
“Ya udah, kita
tunggu aja sampai kita di antrean terdepan atau…”
“Atau apa?” Diara
memburu. Maya memberi isyarat kedipan mata ke arah Linda.
“Atau kamu turun
dan koar-koar ke petugas SPBU bahwa kamu putri seorang anggota dewan, biar
didahuluin, gimana?” kali ini Linda dan Maya terbahak, sementara Diara
meliriknya tajam, pertanda kesalnya sudah mencapai tingkat tinggi, “lu tu ye.
Dasar!”
Sementara di depan
sana, beberapa petugas SPBU meminta beberapa pengantre untuk sabar menunggu,
karena stock BBM sudah habis dan masih akan datang beberapa jam kemudian.
******
Sebuah
sudut di pinggiran Jakarta….
Terdengar suara
gebrakan lagi di meja kayu, diikuti bunyi berdecit dari kaki-kakinya yang telah
reot.
“Janji, janji,
janji terus! Aku muak dengan janji palsumu, Syamsul! Sampai kapan aku harus
makan janji palsumu itu, heh\?!” Jarot, lelaki berkumis Pak Raden dengan
muka sangar terus berkata. Membuat Syamsul yang duduk menekuri meja kayu di
depannya harus berkali-kali mengurut dada, sementara Sri, istrinya telah sejak
tadi sesenggukan dengan bocah lelakinya yang mengkeret di belakang tubuhnya.
“Maafkan kami, Bang.
Tapi tolong, beri kami kesempatan lagi. InsyaAllah, bulan depan akan
kami lunasi semuanya” Syamsul memohon-mohon di hadapan lelaki tambun itu.
“Hh!
Kesempatan?! kamu bilang kesempatan? Dengar baik-baik, ya…” kali ini Jarot
mendekatkan wajahnya pada Syamsul, “aku sudah cukup baik hati membiarkan kalian
nunggak sampai tiga bulan. Mengulur-ulur waktu dengan berbagai alasan. Sekarang,
kalian masih bicara kesempatan? Kesempatan, kesempatan, kesempatan!” suara
Jarot meninggi, “benar-benar tidak tahu malu!” Jarot mendengus. Kata-katanya
yang terakhir membuat sesenggukan Sri semakin keras, sementara Supri, bocah
lelakinya hanya menatapnya dengan mata berkaca.
“Baik, kuberi
kalian waktu sampai lusa. Ingat, lusa! Kalau lusa, tetap tidak bayar, bersiap-siaplah
untuk mengosongkan tempat ini, sebelum aku mengusir kalian dengan sangat tidak
terhormat! Paham?!” Jarot beranjak pergi, setelah menyelesaikan kalimatnya
dengan ketus, tapi tiba-tiba Sri bangkit dan memegangi dua tungkai kakinya.
“Saya mohon,
Bang. Jangan usir kami. Kami tidak punya siapa-siapa lagi di sini. Kalau Bang
Jarot mengusir kami, kami tidak tahu harus tinggal di mana…” Sri memohon-mohon
dengan tangisnya yang kian deras, sementara Jarot meliriknya dengan ekor mata
dan sudut bibir mengejek.
“Kami mohon,
Bang… kasihani kami….”
Jarot menghentakkan kakinya, “Hh!
Jangan harap aku mengasihani orang-orang pembual seperti kalian. Kalian mau
jadi gelandangan, pengemis atau apalah, bukan urusanku. Cuih!” ia
meludahi Sri yang tersungkur di tanah, untuk kemudian berlalu pergi dengan
langkah tergesa. Suara debam pintu kayu yang renta terdengar kemudian diikuti
derit engselnya yang nyaris lepas. Seperti jeritan hati Syamsul dan Sri yang serasa
tercekik.
Diam-diam, Syamsul menarik selembar kertas dari saku kemejanya yang lusuh. Supri mengeja tulisan pada kertas itu dalam hati: KARTU DANA KOMPENSASI BBM. Udara malam di pinggiran Jakarta bertiup. Terasa begitu menyesakkan bagi mereka.
*****
BAAMM!!!
Terdengar suara pintu ditutup
dengan keras dan suara langkah yang ramai dari ruang depan. Bapak dan Bu Probo
yang tengah berkumpul di ruang keluarga terkejut dan mencari tahu asal suara.
“Diara? Ada apa,
sayang? Udah malem gini, kok baru pulang? Eh, datang-datang langsung marah?” Bu
Probo yang lebih dulu bangkit dari sofa mendekati anak gadisnya. Mencegat
langkahnya yang terburu menuju tangga.
“Paling juga
kehabisan stock duit, Mi” Dimas, adik lelakinya tiba-tiba muncul dengan
secangkir capuccino hangat. Usianya baru sweetseven-an.
“Idih, enak aja!
Gak layaw ” Diara membela diri.
“Lha terus?”
Diara mendesah berat, sebelum
menjatuhkan tubuhnya ke sofa.
“Hari ini Diara sial
banget deh, Pi, Mi. Bayangin, dari jam 11 siang sampai jam 11 malem gini, Diara
sama temen-temen ngendon di SPBU!”
“SPBU? Ngapain?
Bantuin petugas SPBU ngisi bensin? Kurang kerjaan amat!” Dimas menggoda.
Diara meliriknya tajam.
“Trus?” Bu Probo
menyambung, “kamu udah ngisi bensinnya?”
“Udah sih, Mi,
tapi harganya itu lho, Mi, Pi. Gila! Melangit banget! Lebih dari dua kali lipat
harga semula”
“Iya, Pi. Dimas juga
jadi males ngisi bensin Jeep Dimas”
“Mana tadi Diara
gak jadi shopping gara-gara ngantre seharian lagi, eh, duit Diara juga
kekuras gara-gara harga tu bensin!” Diara nyerocos tanpa jeda.
“Iya, Pi. Dimas
juga jadi gagal yang mau liburan ke puncak bareng temen-temen gara-gara mereka pada
bokek. Rencana ngeborong pernak-pernik otomotif juga gak kesampaian. Abis, harga-harga
jadi pada naik”
“He-eh, Mami juga
gagal beli cincin berlian yang di Jewellery store PI. Harganya melonjak
banget. Padahal, Mami belum punya yang model begituan. Sayang kan?”
“Masa’ pemerintah
gak ngambil tindakan sih, Pi?”
“Ada, ya… Dana
Kompensasi BBM untuk keluarga miskin itu salah satunya. Trus juga pembagian
beras untuk keluarga miskin atau Raskin”
“Ke keluarga
miskin doang, Pi? Lha, untuk kita-kita?” Dimas menyambung, “Papi kan wakil rakyat.
Masa’ rakyatnya doang yang dikucuri dana, sementara wakilnya di Dewan nggak?”
“Tenang aja. Sebentar
lagi anggota dewan akan dapet tunjangan Kompensasi BBM juga kok”
“Yang bener, Pi?”
Diara memburu, “berapa? Berapa, Pi?”
“Rencananya sih sepuluh
juta perbulan”
“Wow! Lumayan
tuh. Tapi kapan cairnya, Pi?” Dimas semangat bertanya.
“Papi juga gak
tahu, tapi dalam waktu dekat ini. Besok anggota dewan akan rapat soal ini”
“Ok deh, Pi. Kalau
udah cair, jangan lupa transferin ke rekening Dimas, ya! Udah mo sekarat soalnya”
“Hm” Pak Probo
manggut-manggut, mengiyakan.
“Diara juga wajib
tambah uang saku buat shopping, Pi. Harga-harga kan pada naik.”
“Hm”
“Kalau Mami sih,
pengennya berlian aja, ya Pi ya?”
Dan lagi-lagi, Pak Probo
hanya menjawab singkat, “Hm”
*****
Gedung DPR-MPR ramai. Suasana rapat berlangsung
sangat alot. Beberapa anggota fraksi menolak pemberian tunjangan kompensasi
BBM, karena akan membangun statement baru di masyarakat akan
ketidakpedulian anggota dewan terhadap nasib rakyat. Tunjangan sepuluh juta
perbulan dirasa terlalu tinggi dibandingkan dana kompensasi BBM untuk rakyat miskin
100 ribu perbulan. Seratus kali lipat tunjangan rakyat. Perbandingan yang
fantastis!
Sementara fraksi lain
mengusulkan tunjangan tetap diberikan, namun harus disalurkan kembali kepada
rakyat miskin dan konstituen. Hanya saja belum ada cara efektif untuk
menyalurkannya.
Di deretan bangku belakang, Pak Probo memilih tidur dan
tidak mengikuti jalannya perdebatan. Ia baru terbangun, ketika diputuskan bahwa
tunjangan akan tetap diberikan, demi kesejahteraan para ‘wakil rakyat’. Biar tidur terus, yang penting cairan jalan
terus….
*****
Syamsul terus merangsek di antara
himpitan massa yang juga ingin mencairkan dana kompensasi BBM. Orang-orang
dengan pakaian lusuh, wajah-wajah kusam-legam dan rambut awut-awutan. Inikah
potret rakyat Indonesia? Negeri kaya, gemah ripah loh jinawi, dengan
rakyat pribuminya yang semakin terpuruk di bumi sendiri, menjadi buruh dan kuli
di negeri jiran, sementara para investor asing itu semakin ‘gemuk’ menguras
‘makanan empuk’ negeri ini.
Massa terus bergerak maju. Berdesakan, saling dorong
untuk bisa lebih dulu tiba di meja petugas pos. Kakek-kakek, nenek-nenek renta,
ibu-ibu dengan balita yang menangis meraung-raung dalam gendongan terjepit
diantara tubuh-tubuh kekar dan besar. Sumpah-serapah dan teriakan berbaur,
menyulut emosi. Egoisme berbicara. Nyawa menjadi urusan kesekian setelah
lembaran merah ratus ribuan.
Syamsul terbawa arus massa. Digenggamnya selembar kertas
dari saku baju lusuhnya erat. Setidaknya, nasib keluarganya berada pada
selembar kertas itu. Benar kata Sri, apalah arti uang tiga ratus ribu yang akan
diterimanya nanti, bila akhirnya tak bisa dinikmati juga. Akan habis untuk membayar
kontrakan rumah, sementara kebutuhan lainnya belum tercukupi.
Jujur, ia tak suka begini sebenarnya. Mendapatkan uang
bukan dari hasil jerih-payahnya sendiri. Sungguh, ia amat benci mengemis. Bukankah
Allah lebih menyukai tangan yang di atas daripada tangan yang menadah di bawah.
Syamsul ingat itu. Tapi, ia juga ingat, buku-buku sekolah Supri yang belum
dilunasi, dapur Sri yang sudah beberapa hari tak mengepul asap, hutang-hutang
yang belum terbayar, sementara pekerjaan kuli pasar tak menjanjikan apa-apa.
Mungkin memang bukan apa-apa uang tiga ratus ribu, sekalipun
untuk orang miskin seperti dirinya. Tidak akan sampai tiga bulan untuk memenuhi
kebutuhan, karena dalam sehari saja semuanya akan habis tak tersisa. Tapi
setidaknya, bisa membuat mereka bertahan dan tidak menggelandang, itu sudah
cukup baginya saat ini.
Syamsul terus merangsek maju. Berkelebatan wajah Sri yang
bersujud dan menangis di kaki Bang Jarot, Supri yang sering dipanggil gurunya
karena sering nunggak uang buku, juga rumah petak mereka yang sempit dan
pengap.
“Yuhuu! Let’s go, guys! Go on!”
Dimas menaikkan kecepatan
jeepnya. Jee, Andi dan Rick duduk di jok belakang.
“Gak gue sangka, kita bisa ke puncak juga
akhirnya” Andi ber-comment.
“Yo’i. Siapa dulu boss kita...”
“Dimaas!” Dimas menepuk-nepuk dadanya sendiri, bangga.
Suara gelak terdengar. Dimas
menaikkan kecepatan lagi. Musikdari tape terdengar menghentak-hentak.
“Anggap aja ini selamatan bokap gue” Dimas berkata
jumawa.
“Wah, kalo selametannya tiap bulan begini, boleh juga tuh,
Dim” Jee menggoda.
“Enak aja lu! Lama-lama gue bisa tekor juga,
tau!”
Terdengar gelak lagi. Kali
ini sampai terbahak-bahak. Tubuh Dimas sampai berguncang. Konsenstrasi
menyetirnya sedikit kacau, hingga ia tak menyadari seorang lelaki setengah baya
tengah menyeberang, dan…
Ciiiiiiiit! BUKK!
Ia merasakan sakit yang teramat sangat di sekujur
tubuhnya. Semuanya menjadi gelap, bersamaan dengan kepalanya yang terbentur aspal
yang keras dan kasar. Yang bisa ditangkapnya hanyalah bunyi ban yang berdecit,
derum mobil yang menjauh dan teriakan orang-orang dengan langkah berderap, “Woii!
Tolooong! Tolooong! Tabrak lari!”
Yang
terlihat kemudian hanyalah merah. Merah pada tiga lembar ratus ribuan dalam
genggamannya yang semakin merah oleh darah. Tapi kemudian gelap memunculkan
wajah Sri, Supri dan rumah petak mereka yang sempit dan pengap. Sungguh ia
ingin mengata, tapi yang terdengar hanyalah erangan.
Sementara…
Puluhan mil di tengah kota
Jakarta. Dalam sebuah Picanto biru metalic, Pak Probo mengklik m-transfer
pada PDA terbarunya. Sungging senyumnya puas ketika proses pengiriman
selesai. Lalu sebuah nomor dihubunginya beberapa saat kemudian. Nama Dimas
tertera jelas di layarnya!
Alfin Nuha (Hana Fatwa) adalah nama pena dari Hana Al Ithriyah. Lahir di Sumenep, tepat hari Ibu, 22 Desember 1986. Aktif menulis sejak SD. Cerpen (short story prompt) pertamanya dimuat di Surabaya Post. Sempat vakum beberapa kali dan aktif lagi beberapa kali (pula :D). Paling sulit Buat tulisan bertema cinta, paling suka bikin tulisan bertema humaniora. Kumpulan cerpennya terpilih sebagai juara ketiga dalam Sayembara Penulisan Buku PuskurBuk KemendikBud Nasional pada tahun 2012. Beberapa Bukunya yang telah terbit: Kumcer Selaksa Rindu Dinda (GIP, 2004), Kumpulan cerpen (short stories) My Valentine (GIP, 2006), Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis (Muara Progressif, 2009), Kumcer Layang-Layang Kertas (Matapena, 2010), Cerita Cinta Ibunda – Kumpulan Esai Juara (Qanita_Mizan, 2011), Novel Gadis Bermata Ruby (PMU, 2014), Antologi Selamanya Santri vol. 1 dan 2 (Kun Fayakun, 2019), Antologi Catatan Harian Terakhir Jessica (Kun Fayakun, 2019), Antologi Oleh Pemenang NulisBuku Indonesiana, Tor Tor Untuk Amang (KemendikBud, 2019).
Posting Komentar untuk "Hana Fatwa: Uang!"