Hana Fatwa: Cintaku pada Alien
Short Story by Hana Fatwa.
Kalau ada yang bertanya,
kenapa Dido bisa jatuh cinta pada Aline, maka pasti jawabannya: Gak tahu! Lho,
kok? Iya, bahkan dia sendiri tidak tahu apa yang membuatnya tiba-tiba suka banget
merhatiin gadis itu. Mendengar suara renyahnya, tawa gurihnya, atau
lelucon-lelucon ‘garing’nya (emang, makanan!), dan terakhir, baru disadarinya
bahwa he likes all about her. Padahal, apa sih istimewanya Aline? Dibandingkan
dengan mantan-mantan cowok itu sebelumnya, mungkin Aline bukan apa-apa. Siapa sih,
yang tidak kenal Dido? Dari mulai cewek model covergirl, putri
milyarder, sampai putri sang Kepala Sekolah yang sok kuasa itu, semua sudah
pernah masuk dalam daftar para korban cintanya yang cap jagung itu. Cuma
bertahan beberapa minggu, seminggu pertama heboh jadian, minggu berikutnya
sudah heboh ribut-ribut, dan buntut-buntutnya: putus!
Dibilang playboy cap kapaklah, cap cangkullah,
buaya darat ‘busyet’lah, siapa peduli. Toh,
pikirnya, cewek-cewek itu enjoy aja ketika ia mulai melempar umpan dan
berhasil mendapatkan cintanya.
“Abis,
Dido romantis, sih!” begitu comment mereka.
Hm, romantis memang urusan
gampang buat cowok cool satu itu. Rumusnya simple aja. Siapa pun, di mana pun,
dan sampai kapan pun, cewek itu butuh perhatian, ingin selalu dimanja, dan suka
hal-hal yang surprised. Melakukan hal-hal semacam itu apa susahnya sih
buat Dido. Pada Joya, cewek covergirl yang jadi incaran cowok-cowok di
sekolah, pernah ia nyatakan cinta dengan ikutan acara KATAKAN CINTA di salah
satu stasiun televisi swasta tepat di hari ulang tahun gadis itu. Diajaknya
beberapa tetangga dekat rumahnya untuk membawa berpuluh-puluh balon berwarna
pink, warna kesayangan Joya, sementara Dido membawa sekotak kue ulang tahun
berbentuk hati dengan lapisan krim berwarna pink pula. Mereka berjejer tepat di
depan pintu pagar rumahnya persis kayak acara nikahan dan tim KC merekam
semuanya, saat Joya yang mengaku surprise banget itu say thank you for his surprise
dan dengan tanpa basa-basi menerima cintanya. Yuhu! Bisa dipastikan,
keesokan harinya, seantero sekolah heboh, karena semua temannya pada nonton
acara itu, sementara mereka tahu, dua hari sebelumnya ia baru putus dari
Keisha, putri sang Kepala Sekolah yang highclass dan sok ngatur itu.
Setelah putus dari Joya, iseng-iseng Dido ikutan
JOMBLOWAN-JOMBLOWATI. Eh, para jomblowati malah nyaris semuanya kesengsem sama
sikap manisnya. Dan tanpa beban, diterimanya saja salah satu dari mereka untuk
jadi bokin’nya. Kasihan juga khan kalau ditolak mentah-mentah, di
depan kamera lagi!, begitu pikirnya. Tapi, beberapa minggu kemudian, karena
satu alasan klise: ketidakcocokan, akhirnya mereka cut. Tak berselang
lama dari itu, Dido ikutan acara CINLOK, masih di stasiun TV yang sama, dan dengan
suksesnya, berhasil digaetnya putri seorang milyarder yang tajir banget dengan
jurus-jurus mautnya. Dan entah, masih seberapa panjang daftar nama-nama cewek
yang sukses kepancing umpannya setelah itu.
“Lo emang udah gila, Do! Edan! Gak waras! Lama-lama
kuwalat, baru nyaho’ lo!” begitu selalu Jay, sang sahabat mengatainya.
Tapi, dasar Dido! BUNGENTUWO! Kata orang Jawa sih, mlebu kuping tengen,
mettu kuping kiwo.[1]
Dan sekarang, coba lihat
siapa incaran Dido selanjutnya. Aline!
“What?! Aline?” Jay menelengkan kepalanya, tak
yakin.
“Yo’i. A-L-I-N-E.
Apa perlu gue eja nih?”
“Gak salah denger
gue, Do?” Jay mengurek-urek telinganya, trus… dicium deh! Hiy, asin sedep!
Dasar kebiasaan buruk!
“Aline si cewek
alien itu, Do? Gila lo, men! Cewek model begituan lo embat juga. Dasar
Don Juan lo!”
“Suka-suka gue
dong” Dido membalas dengan santainya, “lagian ‘napa juga dengan si Aline?
Ribut banget sih, lo!”
“Iye sih. Gue
heran aja, kenapa selera lo jadi mengalami penurunan gini? Jangan-jangan pamor lo
udah mulai meredup nih?”
“Enak aja lo!
Sori layaw” Ditonjoknya bahu Jay. Untung, tuh cowok segera
berkelit.
Tapi, by the way, Dido
juga heran. Kenapa tiba-tiba he’s falling in love sama cewek model Aline
begitu. Dulu-dulunya, tengok saja daftar cewek yang memenuhi lovelist booknya.
Rata-rata adalah cewek kelas elit yang stylish, yang girlie, yang care banget sama
urusan penampilan, yang suka keluar-masuk salon, yang gak pernah absent pedicure-medicure
saban minggu, yang sering minta ditemenin shopping berjam-berjam, sampai
gigi si Dido buluan, bahkan kadang berani mengkritik penampilan Dido yang
kurang kerenlah, kurang matchinglah, dan entah apalagi.
Dan sekarang, coba lihat si Aline. Cewek itu aseli jauh
banget dari tipe-tipe begitu. Boro-boro mengkritik penampilan Dido,
penampilannya sendiri aja kadang dia gak ngeh. Ya, begitulah si Aline. Cuek,
santai, tomboy, dan apa adanya. Tapi, justru itulah yang membuat Dido jatuh
hati. Dan satu lagi yang membuat Dido gak mau lepas dari gadis itu, Aline belum
menjawab cintanya. Dido dibiarkannya menunggu sampai lumutan.
“Apa perlu gue ikutan reality show buat dapetin
jawabannya, Lin?”
“Gila!” Aline mengacungkan tinjunya ke wajah Dido. Untung
saja Dido segera menghindar. Kalau tidak, bisa bonyok tuh muka.
“Awas lo, kalau berani nyoba!” ancamnya sangar.
“Tapi, Lin..”
“Udah deh, penting gak sih, ngomongin soal itu?”
Dido garuk-garuk kepala. Dido
tahu, Aline bukan tipe cewek yang bisa ditaklukkan dengan cara-cara seperti
itu. Itu cara picisan dan norak banget menurut gadis itu.
“Mending ikut gue aja, yuk!” Aline menarik tangan Dido.
“Kemana?”
“Udah, gak usah banyak bacot! Ngikut aja. Yuk!”
Huff! Selalu saja begitu.
Aline memang paling pintar menghindar. Dan entah kenapa, Dido kayak kerbau
dicocok hidungnya. Ngikuut aja, kemana pun gadis itu pergi.
Seperti siang itu…
“Say, tunggu!” Masih dengan susah payah dijejarinya
langkah gadis mungil itu.
“Ayo, cepat dikit! Masa’ cowok kalah sama cewek!” katanya
acuh dan semakin mempercepat langkah ‘Jepun’nya.
“Ini juga udah nyaingin sprinter, Say. Emang kita
mau kemana, sih? Kita jadi having lunch khan?”
Aline cuma mesem-mesem, tidak
menyahut. Langkahnya semakin bersicepat. Terlihat sangat gontai dengan kaus
gantung dan jeans belelnya yang nyentrik. Dido jadi makin gemes ngelihatnya. Sampai
akhirnya, di belokan gang dekat pasar, beberapa anak kecil bin dekil menghambur
mengerubunginya.
“Jadi, khan, kak?”
“Jadi, dong!” Tanpa sungkan, dirangkulnya anak-anak kumuh
itu. Padahal, Dido justru menghindar karena mual menghirup BB mereka yang
nano-nano, manis, asem, asin! Rame baunya!
“Dido, yuk!” Aline melambaikan tangan ke arahnya. Dahi
Dido mengernyit, apa maksudnya tuh cewek?
“Lo
gak mau ngajakin anak-anak ini makan siang, khan?” Dido bertanya penuh
selidik.
Aline nyengir, “justu itu,
Do.”
Dido menelan ludah, “Tapi, honey…”
“Udah deh, bisa mati gak makan siang lo ntar. Yuk,
anak-anak!”
“Asyiiik!!!”
Ih, jijay deh! umpat Dido dalam hati.
Kebayang gak sih, makan bareng anak-anak kumuh? Tadinya, Dido membayangkan makan
siang kali ini bisa seromantis mungkin dan hanya dinikmati berdua, eh, malah
jadi kacau begini. Aseli! Selera makan Dido jadi turun drastis hingga ke titik
nadir.
“Asyik khan, Do, makan rame-rame begini?” Aline memutus
lamunan Dido yang sedari tadi lebih asyik mengamati sepasang kekasih di
restoran seberang yang dengan romantisnya saling suap. Sesendok pun tak
disentuhnya chiken’ fillet di atas mejanya.
“Lo lihat mereka deh, Say!” Alih-alih menanggapi pertanyaan
Aline, Dido malah menunjuk sepasang kekasih yang sedari tadi mengusik
perhatiannya.
“Lo belum jawab pertanyaan gue, Do!” tuntut Aline tak mau
kalah.
Dido tetap acuh, “Gak tahu,
deh, Lin. Kayaknya lebih asyik kedua orang itu deh dari pada kita di
sini.” Dido mulai memasang wajah sok romantis, “coba deh, Say. Bayangin kedua
orang itu adalah kita” Dido mulai mengeluarkan jurus mautnya. Digenggamnya
jemari Aline di atas meja, mengacuhkan anak-anak kumuh yang asyik dengan
celoteh dan canda mereka.
“Yang mana, Do?”
Aline berusaha mengalihkan pandangan Dido dari wajahnya. Ia merasa risih dengan
tatapan itu. “yang di sana itu, Do?” Alih-alih menunjuk, perlahan Aline menarik
tangannya dari genggaman Dido.
“Yang duduk di seat
dekat jendela itu?”
Dido mengangguk dan
tersenyum. Hm, rayuanku mulai sukses beraksi.
“Yang saling suap itu?” Dido mengangguk lagi. Kali ini
lebih mantap. Cihuy! Aline mulai perhatian.
“Ya ampun, Do! Emoh deh gue jadi kayak mereka” Tak
dinyana, Aline justru menjawab sengit, dan tiba-tiba bangkit.
“Aline, lo mau kemana?”
Aline tak peduli. Dengan
langkah ‘jepun’nya, ia tiba-tiba sudah keluar resto dan menyeberang menuju
restoran seberang itu. Di genggamannya, ada sekotak nasi yang diambilnya dari atas
meja. Dan lihat apa yang dilakukannya? Ia menuju jendela restoran itu.
Seseorang ditemuinya di luar jendela. Seorang pengemis tua yang duduk di
trotoar dan tengah asyik mengamati kedua sepasang kekasih yang dengan nikmatnya
saling suap, tanpa mengacuhkan kehadirannya di luar jendela yang berkali-kali
menelan ludah karena menahan rasa lapar. Nasi kotak kini berpindah ke
tangannya. Dido melihat mata pengemis itu berkaca-kaca, ketika menerimanya dari
tangan halus Aline.
“Kalo lo masih berharap kita seperti sepasang kekasih
itu, Do, sumpah! Gue gak bakal mau lagi nerima ajakan makan bareng lo!” itu
kata telak yang Aline ucapkan dalam perjalanan pulang dari resto siang itu.
Dan, Dido hanya mampu berucap
satu kata: “Maaf!”
Aline…Aline… lo emang
bener-bener cewek alien. Aneh! Tapi, itulah yang buatku suka.
Please, jangan marah,
alienku!
YYY
Sudah berjam-jam Dido duduk
manis menunggu Aline. Tumpukan majalah di depannya nyaris semua telah
dibacanya, tapi cewek itu belum muncul-muncul juga. Emang ngapain aja sih si
Aline? Lagi Pedicure? Medicure? Creambath? Atau rebonding? Nope! Sori, ye!
Ini bukan salon, guys! Ini panti. Panti jompo, lagi! Dan perlu
dicatet! Aline bukan tipe cewek yang betah berjam-jam duduk manis di salon. Paling-paling
cuma sekali seumur idup die ke salon. Itu pun karena terpaksa banget,
pas mantenan Tantenya, ketika dia SMP dulu. Dia divonis jadi dayang. Uh, kebayang
gak sih gimana BeTenya tuh cewek. Mana musti didandanin lagi. Padahal, Aline
paling alergi sama yang namanya make up. Mana musti sok kemayu lagi! Makanya,
pagi-pagi buta bener, sebelum sang mama nyuruh ke salon, Aline ngacir ke rumah
tetangganya. Ngumpet dan malah asyik-asyikan main PS. Mama kalang-kabut
dibuatnya. Dan sialnya, si empunya rumah gak berpihak padanya. Walhasil, bak
seorang polisi, sang mama menyeret Aline pulang dan mengantarnya ke salon. Sepanjang
acara, Aline merengut, sampai akhirnya dia nangis sekenceng-kencengnya sampai make
upnya belepotan dan sukses membentuk wajah sweetienya jadi seperti badut.
Ngapain aja
sih si Aline? kali
ini Dido benar-benar sudah gak sabar. Diliriknya Camino
yang melingkar manis di pergelangan tangannya. Sudah sejam lebih ia
menunggu. Gak heran kalau Dido sampai buluan, jamuran, bin lumutan. Kasihan juga
si Dido. Dulu, dia menunggu berjam-jam begini menunggui Joya di salon atau di
Spa, atau ketika Keisha shopping dan memborong mode baju terbaru dari
pagi sampai sore. Dan ternyata sekarang, Dido masih harus mengalami hal yang
sama dengan Aline, tetapi tentu dengan kasus yang berbeda. Kadang, Dido
berpikir, apa asyiknya sih ngobrol dengan kakek-nenek itu? Yang tiap ngomong
musti nyiapin tenaga ekstra, karena virus ‘budeg’ sudah menasional di panti
semacam ini. Lihat saja setelah ini. Seperti biasa, Aline akan muncul tanpa
suara. Ia mengaduh kerongkongannya sakit, dan tanpa diminta, Dido tahu apa yang
harus dilakukannya. Membawa Aline ke warteg terdekat. Memesankan wedang jahe
sebanyak-banyaknya sampai tuh cewek kepedesan dan ujung-ujungnya,
besernya kumat. Aline bakal keluar masuk toilet setelah itu. Dan lagi-lagi,
Dido harus sabar menungguinya di luar. Dasar, alien aneh!
“Kenapa gak lo putusin aja si Aline itu sih, Do? Tahan
bener, lo!” berkali-kali Jay memberi saran yang sama, setiap kali Dido
mengeluhkan sikap Aline yang sering absurd.
“Makhluk alien
begitu lo pelihara!”
“Hush! Enak aja lo ngatain cewek gue!” Dido gak terima.
“Aduh, iye iye, maaf! Abis, lo sih, tahan bener! Mana dia
gak ngasih sinyal sama sekali ke lo, masa’ lo masih tetap mau nunggu sampai
ubanan gitu? Stupid banget sih lo jadi cowok”
Dido garuk-garuk kepala,
“lalu gue musti gimana?”
“Tinggalin aja si Aline! Simple kan?” saran Jay dengan
santainya.
Dido melongo. Menyerah dan
ninggalin Aline begitu saja? Oh, no! Ia bukan pecundang. Sebelum Aline
menjawab cintanya, he’ll never stop. Biar orang bilang Dido playboy, tapi
dalam kamus cintanya selama ini, Dido tak mengenal kata give up, walaupun
sebenarnya Dido tidak bisa memastikan sampai kapan dirinya cukup bertahan.
Gimana bisa tahan, kalau Aline selalu sibuk dengan schedule kunjungan
sosialnya. Besok ke panti asuhan, lusanya ke panti jompo, minggu berikutnya
ngajak makan pengamen-pengamen kecil di gang dekat pasar, malah pernah Aline
ngajak Dido ke kolong jembatan dan bagi-bagi makanan kepada anak-anak jalanan
yang lagi ngaso di situ. Nyaris tak ada waktu untuk berdua.
Pernah di malam Minggu, Dido ngajak Aline ke taman kota.
Pengennya sih, biar bisa menikmati malam panjang berdua saja di bawah lampu
taman dan berharap Aline akan menjawab cintanya. Eh, sesampainya di taman kota,
Aline malah asyik ngobrol dengan lelaki tua penjual kacang rebus di tepian
trotoar. Dido yang tetap menunggu di kursi taman, akhirnya dengan sukses
ketiduran kayak pengangguran. Ketika ia terbangun, hari sudah pagi dan Aline
sudah tak ada di tempatnya. Sebuah message terbaca di ponselnya. Dari
Aline:
Sory, Do. Gue
pulang duluan. Lo sih keasyikan tidurnya. Gue gak tega bangunin lo. Eh ya,
kacang rebusnya gue taruh di dekat lo. Ada kan? Cepet dibuat sarapan gih. Ntar
basi!
Ditekannya lagi tombol gulir
ke bawah. Ternyata pesan itu masih berlanjut.
Eh, ternyata
wajah lo lucu juga pas tidur. Culun! Kayak baby. Gitu, Dido lebih cakep! Suer deh! :-D
Dido geleng-geleng kepala.
Aline paling bisa membuatnya pagi-pagi udah nyengir. Baru disadarinya, mantel
Aline masih melekat manis di tubuhnya. Dan sebungkus kacang rebus masih utuh di
sampingnya. Dido tertawa lucu. Suer! perhatian seperti ini yang belum pernah
gue dapetin. Biasanya, malah dia yang memberikan mantelnya buat mantan-mantannya
dulu, ketika mereka jalan bareng di taman kota seperti semalam. Aline…Aline…Lo
emang benar-benar alien, who dare to be different!
YYY
Tahu, gak sih lo, saat seperti
ini adalah saat-saat yang dinantikan Dido sejak dulu. Coba lihat di seat paling
sudut resto Fizuka. Dido dan Aline sedang duduk manis berdua di sana. Dido
sudah pesan seat itu dua hari sebelumnya, lengkap dengan sevas mawar merah
segar dan dua batang lilin yang menyala terang.
“Gila lo, Do! Siang-siang begini pakai lilin segala!
Sejak kapan sinar matahari kalah sama cahaya lilin?!” itu komentar pertama
Aline, ketika tiba di tempat itu.
“Sst!” Dido meletakkan telunjuknya di bibir Aline, “ini
spesial buat lo, Lin” tatapan Dido tiba-tiba begitu lekat pada kelereng bening mata
Aline. Diam-diam, Aline menunduk, menghindari tatapan itu. Tapi, dengan sangat
berani Dido malah menggenggam jemarinya hangat, “gue butuh jawaban itu
sekarang, Lin” Entah mengapa, suara Dido mellow banget siang itu. Aline
sampai terpaku, tak mampu berucap apa-apa. Oh, Tuhan, seperti inikah rasanya
dicintai? So sweet!
Tlililit…tlililit…
Bunyi alert message
ponsel Aline memecah kesunyian. Aline merasa seperti mendapat mu’jizat. Ia
merasa diselamatkan.
Cepat ia membaca pesan
singkat di ponselnya, dan tiba-tiba memandang Dido penuh sesal, “Do?”
“What’s up, honey?”
“Gue harus pergi sekarang! Bu Naning baru saja mengabari
salah satu anak panti sedang sakit keras. Mereka butuh gue, Do!”
“Tapi, Lin!” Dido menahan tangan Aline yang mulai beranjak,
“gue belum selesai…”
“Besok aja kita lanjutin, ya! Sory!” Aline benar-benar
akan melangkah.
“Aline!!” tapi Dido mencekal tangannya lebih erat. Ia bangkit
dan menatap Aline tajam, “bisa gak, sih, sekali ini aja mereka gak ganggu
kita?” ada emosi dalam nada bicaranya.
“Apa lo bilang, Do?” kali ini Aline balas menatap tatapan
tajam Dido.
“Dengar, Lin! Gue sudah sabar menunggu. Mencoba memahami semua
tentang lo! Tapi, apa balasan lo?! Lo gak pernah menganggap gue penting! Bagi
lo, cuma panti, panti, dan panti! Anak-anak gembel yang kumuh itu, orang-orang
tua yang mau sekarat itu…”
“Cukup, Do!!!” Aline menatap nyalang mata Dido. Tak
dihiraukannya tatapan orang seresto yang mulai memperhatikan mereka. Ia mulai
terisak, “selama ini, gue kira, lo tulus ngelakuin semuanya. Gue kira lo cowok
istimewa yang gue cari! Tapi, ternyata, gue salah besar! Gue kecewa, Do!
Kecewa!!!” Tak ada lagi yang bisa mencegah Aline untuk berlari pergi dari
tempat itu. Tak dihiraukannya tatapan orang-orang seresto yang kasak-kusuk
membicarakannya. Bahkan, suara Dido memanggil namanya pun dibiarkannya terbang
bersama angin siang itu. Aline terus berlari. Dibiarkannya airmatanya luruh
bersicepat dengan langkah ‘Jepun’nya. Ia kira selama ini, Dido mulai mengerti
cinta macam apa yang ingin dikenalkannya. Cinta yang tak sesempit overviewnya.
Cinta yang berbeda, yang tidak hanya mengumbar nafsu, yang tidak hanya
menjadikan mereka asyik dengan dunianya sendiri: ngedate, ngapel,
nonton, makan bareng, shopping bareng, clubbing bareng, dan entah
acara bareng apalagi, sementara mereka tak peduli orang-orang di luar dunia
mereka yang tak pernah mengenal gemerlap dan having fun. Aline cewek
normal. Dia bukan tak mengerti bagaimana happynya mencintai dan
dicintai. Hanya saja, Aline takut, Dido tak bisa menerima pemahamannya bahwa
cinta baginya bukan hanya cinta yang dirasai berdua, tapi juga cinta yang
dibagi dengan sesama. Makanya, ia belum membalas cinta Dido sampai saat ini. Ia
perlu melakukan beberapa ‘tes uji ketahanan’ cowok itu. Tapi, nyatanya
sekarang, DIDO TIDAK LULUS TES! Dan Aline kecewa karenanya.
YYY
Seminggu tanpa Aline, Dido
merasa dunianya sepi. Ia tiba-tiba kangen menatap wajah innocentnya,
mendengar tawa renyahnya ketika bercanda dengan anak-anak gembel di belokan
gang dekat pasar, senyum ramahnya ketika menyalami nenek-nenek di panti, wajah
kocaknya ketika kepedasan menghabiskan bergelas-gelas wedang jahe, tatapan
sendunya ketika melihat pengemis dan pengamen di jalanan. Bahkan tiba-tiba,
Dido juga ingin Aline benar-benar menonjok mukanya kini.
Dan entah apa yang membawa Dido ke tempat ini. Bertemu anak-anak
gembel kumuh yang tengah asyik mengaso di gang dekat pasar, seperti biasa.
“Kak Dido?” seorang anak dekil di antara mereka ternyata
masih ingat namanya.
Ia merasa seperti Aline
sekarang. Duduk di antara anak-anak dekil bin gembel itu dengan tanpa canggung.
Bau badan mereka sekalipun tak lagi mengusik rasa mualnya. Mereka sedang asyik
merencanakan sebuah rencana. Ya, rencana untuk seorang Aline.
YYY
Baru beranjak pagi, ketika
Aline keluar rumah. Semalam Dido meminta maaf atas kejadian seminggu lalu, dan
memintanya datang ke resto Melayu, tempat dulu mereka makan siang dengan
anak-anak gang pasar itu.
“Please, datang, ya Lin! Bukan demi gue, tapi demi
anak-anak itu!” Dido merajuknya di telpon. Aline tertawa. Dalam hati ia
berujar, gue akan datang, demi kalian. Demi anak-anak itu, juga demi lo, Do!
Resto Melayu sudah tampak di seberang sana. Tampak Dido
telah menunggunya di seat dekat jendela bersama anak-anak pengamen gang
pasar. Mereka melambai ke arah Aline lewat jendela resto yang tembus pandang.
Aline tak sabar menyeberang. Kalau saja tak dilihatnya seorang nenek tua yang
juga hendak menyeberang, bisa jadi dalam hitungan detik saja ia sudah tiba di
pintu resto dengan langkah ‘Jepun’nya. Tapi, dasar Aline! Dituntunnya nenek itu
dengan langkah satu-satu untuk menyeberang. Membiarkan waktunya berjalan begitu
lambat seperti ketukan tongkat nenek tua itu di jalanan aspal. Dido hanya tersenyum
dan geleng-geleng kepala melihatnya. Aline…Aline…lo masih seperti seminggu
yang lalu!
Tapi, tiba-tiba di luar dugaan, sesuatu terjadi. Sesuatu
yang membuat senyum Dido berubah menjadi teriakan pada detik berikutnya.
“Aliiiiiien!!!”
Di luar sana… di tengah arus
lalu-lintas yang merayap pelan, sebuah truk tiba-tiba melaju cepat dari
kejauhan dan menabrak dua orang perempuan yang tengah menyeberang di jalan itu.
Dan Dido sangat amat terlambat, ketika berhambur keluar resto dengan
pengamen-pengamen kecil yang bersamanya, karena satu dari perempuan itu;
seorang cewek mungil berambut pendek dengan kaus gantung dan celana jeans
belelnya yang nyentrik telah bersimbah penuh darah dengan sebuah tongkat yang
masih tergenggam di tangannya. Satu yang masih sempat dilihat Dido setelah itu,
ia melihat sebaris senyum di bibir Aline yang pasi, ketika ia mendekap tubuh gadis
itu erat.
Aline…mungkin cinta itu memang bukan untuk gue, tapi
gue bisa merasakannya ada bersama orang-orang yang lo cintai, alienku!?
--------------
Hana Fatwa--------------
Oktober 2006
Alfin Nuha (Hana Fatwa) adalah nama pena dari Hana Al Ithriyah. Lahir di Sumenep, tepat hari Ibu, 22 Desember 1986. Aktif menulis sejak SD. Cerpen (short story prompt) pertamanya dimuat di Surabaya Post. Sempat vakum beberapa kali dan aktif lagi beberapa kali (pula :D). Paling sulit Buat tulisan bertema cinta, paling suka bikin tulisan bertema humaniora. Kumpulan cerpennya terpilih sebagai juara ketiga dalam Sayembara Penulisan Buku PuskurBuk KemendikBud Nasional pada tahun 2012. Beberapa Bukunya yang telah terbit: Kumcer Selaksa Rindu Dinda (GIP, 2004), Kumpulan cerpen (short stories) My Valentine (GIP, 2006), Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis (Muara Progressif, 2009), Kumcer Layang-Layang Kertas (Matapena, 2010), Cerita Cinta Ibunda – Kumpulan Esai Juara (Qanita_Mizan, 2011), Novel Gadis Bermata Ruby (PMU, 2014), Antologi Selamanya Santri vol. 1 dan 2 (Kun Fayakun, 2019), Antologi Catatan Harian Terakhir Jessica (Kun Fayakun, 2019), Antologi Oleh Pemenang NulisBuku Indonesiana, Tor Tor Untuk Amang (KemendikBud, 2019).
Posting Komentar untuk "Hana Fatwa: Cintaku pada Alien"