Wajah Paling Tulus adalah Pemandi Jenazah
Wajah paling tulus
adalah wajah pemandi jenazah. Begitu pula wajah yang paling disungkani adalah
wajah pemandi jenazah.
“Kamu sudah meninggal. Jangan
mempermalukan keluarga. Jangan mempermalukan aku yang telah memandikanmu!”
Perintah serius keluar dari lisan Nyai Nur karena beberapa saat setelah ia
memandikan jenazah Sastri, malam itu ada suara yang mengganggunya. Sejak perintah
itu, tidak ada lagi gangguan bergidik yang mengganggu siapapun termasuk Nyai
Nur. Hanya satu kali gangguan itu datang. Sejak saat itu hingga 25 tahun Nyai
Nur bersuka rela menjadi pemandi jenazah, tidak terganggu lagi.
Nyai Nur adalah salah seorang yang
selamat pada peristiwa Tragedi Mina. Di antara tebaran mayat, hanya ia yang
bergerak dan bernapas. Ia diberikan takdir hidup. Melihat sekitarnya ribuan
mayat bergelimpangan, ia tak tega. Ia bangun. Ia berusaha membantu mayat-mayat
perempuan dan menggendongnya ke truk. Kain ihramnya berceceran darah. Itulah
awal mula Nyai Nur berniat menjadi pemandi mayat.
Entah sudah berapa ribu jenazah yang
ia tangani dan mandikan. Sebagai pemandi jenazah ia juga yang mengurus
menyempurnakan jenazah dengan pengenaan kain kafan. Ada jenazah yang bertubuh
besar, ada yang anggota tubuhnya sulit diluruskan, ada pula yang dalam kondisi
badan yang rusak akibat kecelakaan. Ia tangani semua dengan penuh iba dan rasa
tulus. Dalam hatinya ia mengatakan ‘suatu saat aku akan seperti itu.’ Apa yang
mampu kulakukan untuk kemanusiaan ini semoga berkenan kepada Tuhan.
Menurutnya pengalaman yang paling
sulit adalah ketika ada yang meninggal malam lebaran dini hari. Ketika banyak
orang akan menyambut hari bahagia menyambut Iedul Fitri, ia harus berurusan
dengan jenazah. Syukur kalau keluarga si jenazah merupakan anggota perkumpulan
RT atau Tahlil sehingga kain kafan tersedia dengan mudah. Kalau bukan dan tidak
memiliki persediaan itu yang agak merepotkan Nyai Nur.
Mengurus jenazah itu mulai
memandikan sampai mengafani perlu kehati-hatian dan kecermatan. Tidak
sembarangan. Tidak asal selesai dan terburu-buru. Perlakuan yang tidak baik
bisa jadi berakibat tidak baik kepada jenazah di dalam kubur. Selain itu juga
bisa berbalik jadi pembalasan bagi orang yang mengurus kematian kita kelak.
Memandikan jenazah perlu ketelitian.
Air tidak terlalu dingin, juga tidak terlalu panas. Ketika menggosok badannya
juga tidak boleh terlalu kasar karena jenazah masih merasakan sakit yang luar
biasa ketika ruhnya dicabut. Menyentuh dan memegangnya juga harus lembut,
pelan, dan hati-hati sekali. Begitu pula ketika mengafani, menyimpul tali
kafan, dan sebagainya tidak terlalu longgar, tidak terlalu ketat. Sungguh
jenazah itu sampai tiba di liang lahat, ia masih merasakan sakit yang luar
biasa. Jenazah juga dalam kondisi belum sadar bahwa dirinya telah meninggal.
Ada tiga lapis kain kafan untuk
jenazah laki-laki. Setiap lapis harus menutup seluruh bagian tubuh jenazah.
Karena satu lapis kain kafan di negeri kita lebarnya sempit, maka butuh enam
lapis. Dua lapis jadi satu dengan cara dijahit dengan ukuran yang sama.
Sedangkan ukuran panjang disesuaikan dengan panjang badan jenazah ditambah dua
jengkal. Sisa kain yang ada dijadikan tali jenazah dan sarung tangan yang
dibutuhkan ketika memandikannya.
Ada lima tali pada kain kafan yang
membungkus jenazah. Satu, di kepala. Kedua, di atas sedekap. Ketiga, di
pinggang. Keempat, di lutut. Terakhir di kaki. Untuk kain kafan bagi perempuan
membutuhkan lima lapis. Ukuran tiap lapis sama dengan pada laki-laki. Perbedaan
pada peruntukan kain. Pada jenazah perempuan diperlukan kain kafan kerudung
sedangkan pada laki-laki hanya ikat kepala. Kebutuhan kain lainnya seperti baju
dan celana dalam sama.
Tidak semua orang memiliki
keberanian dan kekuatan hati untuk menyerahkan diri melayani dan mengurusi
jenazah. Seandainya dibuka lowongan pekerjaan: dicari beberapa orang sebagai
pengurus jenazah (memandikan, mengafani, dan menguburkan) dengan sukarela,
dapat dipastikan tidak ada yang melamar.
Posting Komentar untuk "Wajah Paling Tulus adalah Pemandi Jenazah"