Untuk Sang Pengagum Hujan
“Seorang
gadis 16 tahun pengagum hujan, mencintai sastra dan menyukai kesederhanaan” Itulah
profil singkat pada sebuah halaman koran digital yang memuat kekagumannya pada
hujan. Dalam salah satu rangkaian kalimatnya tentang rasa cintanya yang
sederhana ia pun menulis:
“Untuk hujan,
terimakasih telah menjadi pengiring kebahagiaan. Tanpanya, aku tak akan sekuat
ini. Dan untuk angin yang telah mengantarkan awan-awan mendung sampai ke atas
atap, terimakasih telah menciptakan kesederhanaan dalam setiap hembusanmu.”
Dalam hati
kuberucap: selamat Dik, kamu telah mencapai tingkat tertinggi tentang rasa
syukur. Kamu telah mengetahui pesona hujan. Kamu telah belajar tentang
peradaban air. Dengan demikian, tampaklah sifat-sifat keindahan ciptaan Tuhan
yang tidak lain adalah keindahanNya. Sekali lagi selamat, Dik!
Usia baru 16
tahun. Namanya Helena Annisa, si Pengagum Hujan. Memang terlalu beliau untuk
paham peradaban air. Tapi itulah karunia Tuhan, kasihnya tidak memandang usia.
Tahukah kau bahwa air adalah hamba Tuhan yang taat? Tahukah kau bahwa air juga
mempunyai peradaban? Seperti halnya peradaban manusia, air juga memiliki
peradaban. Air memiliki sifat. Dan ia sangat konsekuen dengan sifat yang
disandangnya. Ia selalu akan mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang
rendah. Ia akan membentuk dirinya sesuai dengan wadah yang menampung. Ia dapat
berubah wujud dari cair menjadi padat, dari padat menjadi cair, dari cair
menjadi gas, dan sebaliknya. Ia selalu memenuhi janjinya untuk mentaati sifat
yang Tuhan berikan padanya.
Manusia tercipta
oleh air. Dalam tubuhnya pun tersusun oleh berliter-liter air. Bahkan bumi pun
bagian terbesarnya terdiri atas air. Sungguh besar peran air bagi manusia. Air
itu menyehatkan, air juga membersihkan, air menumbuhkan, air itu menyejukkan,
air berteman dengan cahaya membentuk pelangi, air berteman dengan panas
membentuk uap air yang kemudian menjadi hujan, air berteman dengan angin
menjadi desiran ombak, air berteman dengan manusia menjadi salah satu sumber
kehidupan. Air berteman dengan tanah menjadi bahan dasar terciptanya manusia.
Air berasal dari
surga, Adikku. Ia berasal dari kesucian. Ia berasal dari sisi Tuhan yang
mahasuci. Ia diperintahkan mengalur dari dalam bumi menjadi sumur-sumur
kehidupan. Kitalah yang telah membuatnya kotor, Adikku. Air yang awalnya suci
bersih telah kita manfaatkan sehingga menjadi kotor dan berbau. Air kotor
tersebut mengalir di sepanjang parit, selokan, sungai, hingga mengantar di
lautan. Tahukah kau, Adikku, bahwa lautan itulah yang sebenarnya membersihkan
kembali air kotor tersebut sehingga dapat kita minum lagi? Lautanlah yang
membuatnya menjadi air tawar kembali. Apakah Engkau hanya tahu bahwa air laut
itu asin? Apakah Adikku hanya tahu bahwa di laut Mati airnya berasa pahit?
Pahit itu datang dari berlebihannya rasa asin Adikku. Dan tahukah, Engkau,
bahwa di dasar laut itu airnya berasa tawar. Itulah yang mengisi rongga-rongga
bumi hingga ke sumur-sumur kita diperintah oleh Tuhan untuk menghidupi kita.
Air itulah yang
membuat kita melihat cahaya dengan membanjiri biji mata kita. Air juga yang
membimbing jantung kita untuk tidak meledak tiba-tiba. Air pula yang membuat
matahari tersenyum. Dan, air itulah pula yang membangkitkan kita dari alam
kubur, Adikku. Berapa banyak pengagum air sepertimu yang telah berkarya
memanfaatkan kelebihannya. Anak-anak kecil sangat senang bermain air, bermandi
hujan. Manusia berkarya menciptakan kolam renang dan tempat rekreasi dari bahan
air. Di tempat itu ada perahu, ada peluncur, ada bola, ada ban, ada air menari,
ada segala macam yang menarik karena pesona air. Terciptalah berbagai kreasi
yang mendayagunakan air.
Sebenarnya aku
berkisah begini bukan untuk mengguruimu, Adikku. Aku hanya ingin berbagi
kepadamu tentang kekagumanku pada air. Dan hujan yang kau kagumi adalah
tariannya yang terindah. Satu hal lagi sebelum kuakhiri kisah ini, bahwa hujan
atau air itu berbicara! Simaklah!
Posting Komentar untuk "Untuk Sang Pengagum Hujan"