Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Stream of Consciousness (SOC) Putu Wijaya dalam Berkarya




Putu Wijaya kecil pernah dimarahi gurunya lantaran menulis tentang musim semi saat ditugaskan untuk mengarang di sekolah. Sang guru menganggap di Indonesia tidak ada musim semi, dan menilai Putu Wijaya terlalu jauh berkhayal. “Pada saat itu saya diam saja, saya tidak berani melawan karena dia guru,” begitu kata Putu Wijaya ketika menceritakan sepotong kisah masa kecilnya.

“Saya membaca apa saja, saya juga membaca koran nasional Star Weekly yang diberikan kakak saya, di dalamnya ada cerita pendek, cerita bersambung, cerita detektif, dan cerita silat,” begitu kata Putu Wijaya menambahkan.

Dari kegemaran membaca sejak kecil, memunculkan keinginan untuk menulis dan menghasilkan buku seperti apa yang dibacanya. Kemudian proses kreatif Putu Wijaya berkembang, sehingga dirinya ingin sekali menulis dengan caranya sendiri, yang orang lain tidak suka, menulis berdasarkan keinginannya yang paling jujur. Dari hal tersebut kemudian Putu Wijaya menuliskan sesuatu "semaunya" sendiri, sesuatu yang berdasarkan pengalamannya sendiri. Awalnya Putu Wijaya tidak mendapat dukungan, mengingat orang tua di zaman dulu tidak merasa bahwa kesenian sesuatu yang bisa memberikan janji kesejahteraan dahulu masyarakatnya masih beranggapan kesenian hanyalah sambilan.

Menulis "semaunya" merupakan pengakuan jujur kepada diri sendiri yang tidak dimiliki orang lain. Menulis semaunya tentang pengalaman pribadi yang konyol tentu menjadi sesuatu yang khas jika dibaca orang lain. Kemudian dari tahap itu, pencarian Putu Wijaya makin berkembang dan tidak lagi menuliskan hal-hal yang bersifat pribadi, tetapi menulis tentang lingkungan di sekitarnya. Kemudian lebih berjarak lagi dengan menuliskan tentang orang lain, menuliskan tentang isu-isu terhangat dari berita yang diendapkan sehingga menjadi sebuah tulisan fiksi yang bisa diterima banyak orang. Sampai pada akhirnya Putu Wijaya menemukan gaya kepenulisannya sendiri.

Putu Wijaya menilai perkembangan sastra di Indonesia saat ini sangat baik. Hanya saja kadar sastra dalam sebuah karya sastra kini malah menjadi berkurang. Menurutnya ada beberapa hal yang menyebabkan hal tersebut, yang pertama adalah makin banyaknya penerbitan. Dulu buku yang akan diterbitkan melalui seleksi ketat. Sekarang sesuatu yang diterbitkan bukan jaminan bahwa isinya bagus.

Yang kedua, Putu Wijaya juga menangkap adanya kecenderungan penulis pemula yang menulis dengan tujuan untuk menjadi kaya terdorong menulis sesuatu yang lebih pop, yang dirasa lebih book seller sehingga membuyarkan konsentrasi dan mengarahkan mereka untuk menulis yang lain.

Gejala-gejala ini menurut Putu Wijaya merupakan ekses dari pelajaran sastra yang tidak diperhatikan di sekolah, dibuang dan dianggap tidak penting. Padahal pelajaran mengarang, bahasa, dan sastra di sekolah sangat penting untuk mendidik orang agar mampu menata pikirannya, karena sastra bukan hanya perkara berkhayal, melainkan juga membuat perhitungan, membuat strategi, dan berakal.

Selain dikenal sebagai sastrawan yang mencipta banyak tulisan fiksi, baik novel maupun cerpen, Putu Wijaya juga dikenal sebagai pendiri sekaligus sutradara Teater Mandiri yang mengusung konsep “bertolak dari yang ada”. Konsep ini merupakan formula dalam berkesenian yang menuntut setiap individu untuk berpikir lebih kreatif.

Putu Wijaya juga telah melanglang buana ke Prancis (1974), Jerman (1985), Amerika, Jepang (2001) untuk mengusung misi kesenian yang ia yakini sebagai kredo. Juga pernah mengajar di Amerika Serikat dalam rentang tahun 1985-1988.

Di samping itu, Putu juga menjadi sutradara film dan sinetron serta menulis skenario sinetron. Film yang disutradarainya ialah film Cas Cis Cus, Zig Zag, dan Plong. Sinetron yang disutradarainya ialah Dukun Palsu, PAS, None, Warteg, dan Jari-Jari. Skenario yang ditulisnya ialah Perawan Desa, Kembang Kertas, serta Ramadhan dan Ramona. Ketiga skenario itu memenangkan Piala Citra.

Sejumlah karyanya, baik drama, cerpen, maupun novel, telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, antara lain bahasa Inggris, Belanda, Prancis, Jerman, Jepang, Arab, dan Thailand. Gaya Putu menulis novel tidak berbeda jauh dengan gayanya menulis drama. Seperti dalam karya dramanya, dalam novelnya pun ia cenderung mempergunakan gaya objektif dalam pusat pengisahan dan gaya stream of consciousness dalam pengungkapannya.
Putu berani mengungkapkan kenyataan hidup
.

Stream of Consciousness (SOC) dalam dunia kepenulisan adalah sebuah jenis penulisan narasi yang menggambarkan perasaan dari tokoh. Dengan kata lain SOC adalah narasi yang menyajikan isi hati atau pembicaraan si tokoh tersebut dengan dirinya sendiri. SOC bisa juga disebut Inner Monologue. Ia sengaja menggunakan gaya tersebut agar lebih dekat kepada pembaca. Setidaknya ada proses komtemplasi menanyakan kembali sisi kemanusiaan yang masih tersisa.

Seperti dalam banyak karyanya, Putu juga lebih dekat dengan lingkungan orang-orang Islam. Begitu dekatnya sehingga pada tahun 1977, Putu bersaksi sebagai seorang muslim dengan melangsungkan pernikahannya bersama Renny Djadjoesman. Dalam pernikahan kali itu, Putu memberikan mahar berupa rangkaian puisi dan surat cinta yang indah dan puitis.

“Buat saya satu sensasi indah yang mengagumkan. Waktu itulah saya mulai merasakan nikmat anugerah-Nya walau hanya dari segelas teh manis di saat buka.” Komentarnya ketika selalu ikut-ikutan berpuasa sebagai bentuk solidaritas sebelum benar-benar Muslim.

Kini, akibat kelainan pembuluh darah pada sistem saraf pusat yang dideritanya pada tahun 2012, Putu masih harus menjalani fisioterapi karena terdapat pendarahan di batang otak sehingga tangannya sulit digerakkan. Sebagai penulis, penyakit itu membuatnya menjadi samurai tanpa pedang. Ia menjadi penulis yang tak bisa menggerakkan tangan untuk menulis. Pun begitu, ia masih terus aktif berkarya dengan cara mendiktekan kalimat-kalimat kepada istri atau anaknya yang kemudian diketik oleh mereka.

Ia juga masih terus menjalankan puasa di tengah perjuangan melawan penyakit dan okupasi. Selama dua jam selama tiga hari dalam seminggu ia datang ke Siloam Hospital Karawaci untuk berlatih. Ia memindahkan tabung-tabung kecil dari lubang asal ke lubang lainnya. Terkadang, Putu juga melakukan perenggangan dengan berjalan mondar mandir. Baginya, ibadah bukan menjadi bagian terpisah, melainkan harus melekat dalam diri.

Hidup Adalah Perjalanan Panjang yang Tak Ada Titiknya
Semakin tua usia seseorang
, Putu Wijaya menyadari masih banyak yang belum dilakukannya. Bahkan dirinya menganggap pesan yang ingin disampaikan kepada orang lain melalui berbagai karya sastra yang telah diciptakannya tidak sampai dengan utuh. Selain menjadi persoalan, hal tersebut oleh Putu Wijaya juga disyukuri dan dijadikan sebagai pelecut semangat dalam diri untuk terus produktif di jalan kesenian.

Walaupun dengan segudang prestasi dan penghargaan yang diterimanya, baik penghargaan dalam dan luar negeri, bahkan gelarnya sebagai si peneror mental karena gaya menulisnya yang Stream of Consciousness (SOC), doctor honoris causa, titel insinyur yang tak pernah dipakai dalam berkesenian, dan dengan semua pengalamannya yang luar biasa, ia anggap belum utuh pesannya tersampaikan dalam karyanya. Kemungkinan saluran mampet tersebut akibat dari beberapa karyanya sangat absurd sehingga sulit dicerna oleh nalar pembaca umum. Atau bisa saja alur pikir pembacanya yang mampet.

Bagi Putu Wijaya segala kesalahan dan kegagalan yang terjadi merupakan peluang untuk melangkah lebih jauh. Karena di dalam pencarian yang tidak tuntas sesungguhnya terdapat hikmah agar manusia terus mencari. Hidup adalah pencarian yang tak pernah selesai; ketika sampai pada satu titik, manusia akan dihadapkan pada titik yang lain, begitu seterusnya hingga manusia menyadari bahwa apa yang dicari sesungguhnya tidak ada.

Pernah beberapa kali di tahun 1994 ketika Putu merampungkan Sinetron PAS dan Dukun Palsu, penulis berkorespondensi. Ada beberapa hal yang ia sampaikan antara lain: “Mengarang adalah pekerjaan, menguasai teknik adalah buah berlatih menulis terus menerus; punya perhatian itu artinya punya bakat, tapi bakat saja tidak cukup; perjuangan yang paling berat adalah diri sendiri, dan sebagainya. Selain sebagai penulis piawai, ia juga motivator yang ulung. Pesannya diterima di hati dan menjadi semangat berkarya hingga sekarang. Ia mengakhiri motivasinya dengan menyatakan “hidup adalah perjalanan panjang yang tak ada titiknya.

 

Penulis: S. Herianto

Bahan dari berbagai sumber termasuk tulisan Putu Wijaya kepada penulis.

 

 

 

 

 

 

 

Posting Komentar untuk "Stream of Consciousness (SOC) Putu Wijaya dalam Berkarya"