Surat Putu Wijaya Kepada Saya Tahun 1994
MENGARANG ADALAH PERJUANG
Terimakasih atas perhatianmu pada sinetron
PAS. Nampaknya misi di dalam cerita itu kamu tangkap dengan baik. Ini
menunjukkan pesawat penerimamu dalam keadaan yang subur. Dan sebuah pesawat
penerima yang subur, biasanya juga tidak sulit dilatih menjadi pesawat pengirim
yang baik (mengarang). Tetapi untuk itu mesti ada usaha dan latihan-latihan.
Mesti ada peluh. Karena kemauan saja tidak cukup.
Banyak orang menganggap mengarang atau menulis adalah
melamun. Melamplaskan apa Saja. Sehingga pekerjaan mengarang menjadi usaha
pelepasan unek-unek. Setiap orang, asal mau saja, pasti bisa mengarang. Tetapi,
tidak setiap orang yang mengarang kemudian menjadi pengarang. Karena pengarang adalah
sebuah pekerjaan. Tak bedanya dengan pekerjaan kejuruan/profesi lain, seperti
misalnya petani, tukang kayu dan montir. Seperti semua pekerjaan lain, untuk
jadi pengarang, memerlukan keahlian dan ketrampilan. Dan untuk menjadi
pengarang yang baik. memerlukan keistimewaan/keunikan.
Seorang pengarang, bekerja terus-menerus untuk
merakit persoalan untuk ditontonkan/dipamerkan kepada pembaca. Sebuah karangan
biasanya tardiri dari ide/gagasan, kemudian diutarakan dengan teknik
penyampaian masing-masing yang kita kenal sebagai gaya, lalu dikunci dengan
opini/pemikiran pengarang.
Untuk menyuburkan gagasan/ide, ada orang yang
melamun. Ada yang bertapa. Ada yong banyak melakukan diskusi dan tukar pikiran.
Ada yang melakukan perjalanan. Ada yang membaca. Ada juga yang melakukan
percobaan-percohaan.
Untuk mengafdolkan teknik, satu-satunya jalan
adalah berlatih terus-menerus. Mempelajari teknik-teknik penulisan, baik dari
buku tuntunan, maupun dari membaca karangan-karangan orang lain. Dengan memilih
bacaan yang baik, biasanya sudah langsung merupakan latihan penguasaan teknik.
Dan dengan membiasakan menulis menjadi pengucapan diri, teknik sedikit demi
sedikit terkuasai.
Mengenak opini, itu memang sangat pribadi.
Tetapi juga yang banyak menentukan adalah pongetahuan. Kedalaman rasa. Serta
kejernihan nurani. Dari opini pengarang kita bisa membedakan, mana pengarang
yang dangkal, mana yang berjiwa besar, mana yang tajam, mana yang tak jujur,
mana yang blak-blakan, mana yang berani, mana yang memakai jalan berkelok dan lain
sebagainya.
Seperti setiap orang yang mulai menulis, dulu
ketika saya mulai mangarang, saya juga dihantui oleh pertanyaan: apakah saya
punya bakat. Saya bingung. Untunglah waktu itu saya kebetulan membaca bimbingan
yang mengatakan, bahwa bakat itu sebenarnya perhatian. Kalau kita sudah punya
perhatian pada sesuatu itu artinya kita punya bakat. Tetapi bakat saja tidak
cukup. Bakat baru akan berkembang kalau ada latihan-latihan.
Kalau saya hitung jumlah tulisan-tulisan saya yang
ditolak/dianggap tidak layak, sampai sekarang mungkin sudah ribuan. Sampai
sekarang pun tidak semua tulisan saya sudi diterima oleh majalah,
koran/penerbit. Kadang-kadang karangan itu ditolak karena memang kurang bagus.
Kadang-kadang karena tidak cocok dengan medianya. Misalnya hanyak karangan yang
cocok untuk majalah sastra Horison, tidak akan mungkin dimuat oleh majalah
wanita seperti Femina atau majalah remaja seperti Aneka.
Tidak tidak kecil juga kemungkinan, ada
sebuah karangan yang bisa dimuat oleh mas media apa saja. Pernah membaca
dongeng-dongeng Christian Anderson? Cerita-ceritanya begitu bagus, sehingga
tidak hanya dapat menyebrangi batas usia, juga bangsa. Karya Andorson menjadi universal.
Tentu Anderson banyak belajar. Berlatih dan juga menguasai pengetahuan/bacaan,
sehingga ia berhasil membuat karya-karya yang tidak pernah usang itu.
Sebagai pekerjaan, mengarang di Indonesia
belum dapat dijadikan sebagai sandaran hidup. Karena itu hampir semua pengarang
di Indonesia yang punya pekerjaan lain. Banyak di antaranya yang menjadi
wartawan. Tetapi tidak sedikit yang jadi guru, sarjana di bidang lain, atau
karyawan dari perusahaan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan menulis.
Bahkan ada juga yang tentara. Pekerjaan itu, untuk membiayai kegiatannya
sebagai pengarang. Masih sedikit sekali pengarang-pengarang Indonesia yang
sukses di bidang keuangan, meskipun mereka sudah sukses dalam kepengarangannya.
Bahkan di antara pengarang-pengarang yang kaya itu, hampir semuanya adalah
pengarang pop (baca populer).
Saya sejak awal sudah sadar bahwa mengarang
tidak bisa dipakai sebagai sandaran hidup di Indonesia. Karena itu saya selalu
punya pekerjaan tetap sebagai wartawan/sekarang sutradara film dan sinetron.
Karena dapur saya tidak tergantung dari hasil karangan saya, saya jadi bebas
sekali di dalam mengarang. Dan kebebasan itu benar-benar sengat menguntungkan.
Kalau kamu ingin jadi pengarang, berarti kamu sudah punya bakat. Tinggal sekarang kamu akan berusaha atau tidak. Dan tidak semua usaha yang keras dapat dijamin akan memberi hasil. Karena itu salah satu aspek penting dalam perjalanan seorang pengarang adalah berjuang. Mengarang adalah berjuang. Perjuangan yang tidak pernah selesai. Di antaranya perjuangan yang paling berat adalah melawan diri sendiri (kemalasan, kamacatatan, keseganan,kejujuran dsbnya). Di samping itu, pada suatu ketika, kamu akan terpaksa memilih. Kamu akan menjadi pengarang seperti apa? Metinggo Busye, Rendra, Nh Dini, Pramudya, La Rose? Atau diri kamu sendiri, yang belum kamu ketahui siapa?
Mudah-mudahan tulisan ini dapat menolong.
Jakarta 27-9-94
Putu Wijaya
Posting Komentar untuk " Surat Putu Wijaya Kepada Saya Tahun 1994"