SIHIR PENYAIR
Banyak
kasus kematian mendadak dengan tangan korban masih memegang antologi puisi
karya Hito, berjudul Tangan Maut. Salah satu korban bernama Simo, warga Jakarta Raya. Hasil analisa dokter kepolisian korban
diduga kena serangan jantung. Kemudian berlalulah kematian Simo di Jakarta
begitu saja seolah-olah kematiannya wajar.
Beberapa
waktu kemudian, di Lampung terjadi pula kematian mendadak dengan korban Aiko yang ketika tidak
bernyawa masih memeluk buku
puisi karya Hito. Dokter kepolisian menyampaikan hasil analisanya bahwa Aiko
meninggal akibat serangan jantung tiba-tiba. Lagi-lagi kejadian tersebut
berlalu dan dianggap wajar jika jantung berhenti pemicu terjadi mati tiba-tiba.
Seorang
polisi di Jogja dan Surabaya justru mulai melirik buku puisi karya Hito. Ia
bertanya-tanya, beberapa kematian mendadak memiliki modus yang sama yakni
memegang buku puisi Hito. Mengapa buku puisi itu selalu menjadi saksi kematian
mendadak mereka? Kedua polisi tersebut beberapa waktu kemudian, tiba-tiba
meninggal mendadak dengan jantung yang ditengarai mendadak berhenti berdenyut.
Hilanglah kemudian kecurigaan terhadap buku puisi karya Hito.
Di
tempat lain, jauh dari negara Indonesia, tepatnya di daerah Finlandia, ada
seorang penulis yang menyimak berita dari Indonesia tentang kejadian kematian
mendadak yang menimpa beberapa orang dengan modus sama. Terbanglah ia ke
Indonesia dengan berbekal rasa penasaran tentang buku puisi Hito.
Buku
puisi tersebut memang karya Hito, bukan nama sebenarnya. Penyair yang
misterius. Tak satu pun yang mengetahui identitas Hito sebenarnya. Mirip kasus
Kipanjikusmin. Entah dari mana para
korban mendapatkan buku puisi itu. Setelah dilacak secara online di katalog
digital perpustakaan di seluruh Indonesia tidak ditemukan nama Hito. Kasus
kematian mendadak di beberapa kota itulah yang membuat buku puisi itu dikenal
karena bertebaran seiring berita kematian yang tiba-tiba.
Ada
yang mengira bahwa Hito adalah warga Kediri. Ada pula yang menyebut Hito
berasal dari Semarang. Beberapa pelacakan nama melalui data catatan sipil
kewargaan tidak satu pun warga negera indonesia bernama Hito walaupun nama yang
mendekati nama itu.
Penulis
asal Finlandia itu mengunjungi beberapa tempat kejadian di beberapa kota di
Indonesia. Ia berusaha keras untuk mendapatkan buku puisi itu. Ia datangi
beberapa kantor polisi daerah terjadinya kasus tersebut. Ia tak berhasil
mendapatkan buku itu. Polisi mulai ikut-ikutan mencurigai buku itu, tapi mereka
takut untuk membukanya. Mereka hanya menimang-nimang dan memandanginya tanpa
berani membukanya. Mereka hanya membaca judul buku itu dalam hati. Tak berani
melafalkannya dengan suara.
Penulis
Finlandia itu bernama Geny. Dalan waktu yang cukup lama dan perjuangan yang
berat, akhirnya ia dapat membelinya dari seorang polisi. Kemudian ia
memindainya dan dijadikannya file pdf. Setelah bersepakat dengan temannya yang
berkewarganegaraan Prancis, ia mengirimkan file tersebut secara online agar
temannya segera membaca dan mendapatkan kesimpulan yang tepat.
Beberapa
hasil simpulan teman Prancisnya, ia mendapatkan data biasa. Tidak ada yang aneh
atau berbahaya. Tapi, beberapa menit kemudian, di Prancis diberitakan seorang
penyair muda Prancis, Nickolhi, meninggal tiba-tiba saat menerjemahkan buku
puisi digital karya Hito.
Makin
tak paham Geny, tapi ia makin yakin bahwa buku puisi karya Hito merupakan sebab
utama meninggalnya para korban, termasuk Nickholi. Walaupun sedih, ia makin
semangat untuk dapat menunjukkan ke publik bahwa buku puisi itulah penyebab
kematian beberapa nyawa lenyap tiba-tiba.
Melalui
seorang guide, Geny meminta bantuan seorang paranormal asal Banyuwangi, Mbah
Suripto. Seorang sepuh yang wujudnya mirip jerangkong.
Ia ahli dalam menangkal ilmu sihir dan sebagainya.
Buku
itu kemudian diserahkan Geny kepada Mbah Suripto. Baru semalam buku itu
menginap di rumahnya, rumah gubug Mbah Suripto hangus rata dengan tanah. Ia
mengalami luka bakar, tapi nyawanya selamat. Ia dilarikan ke rumah sakit oleh
tetangganya. Geny pun kehilangan kontak.
Kamar
tempat Mbah Suripto rawat inap dijaga ketat oleh satuan khusus kepolisian,
tanpa berseragam. Karena tim khusus tersebut takut tiba-tiba Mbah Suripto
meninggal, sesekali bagian intel tersebut menanyai Mbah Suripto ketika sadar.
“Apa
yang Mbah ingat sebelum kebakaran terjadi?”
Dengan
suara seperti mengendap di dadanya, Mbah Suripto berusaha menjelaskan
sepatah-sepatah. “Ketika saya baca buku puisi itu, tiba-tiba terlihat
lidah-lidah api raksasa berwarna merah menjilati tubuh saya. Tidak hanya satu
lidah. Teman lidah-lidah api tersebut menjilati semua yang ada di rumah hingga
terbakar dengan nyala api yang besar.”
“Syukurlah
Mbah bisa menyelamatkan diri!”
“Iya,
saya sangat beruntung masih diberi nyawa!”
“Mbah
ingat ketika membaca buku puisi itu tidak ada orang lain yang tampak melempat
sesuatu?”
“Tidak
ada. Di rumah hanya saya sendirian!”
“Mbah
tidak mendengar ada suara mencurigakan sebelum terjadi kebakaran?”
“Tidak
ada. Begitu saja api raksasa itu di depan saya seperti menerkam!” Mbah Suripto masih tampak sangat
ketakutan.
“Bisakah
Mbah menceritakan ketika dari awal saat membaca buku puisi itu?”
Mbah
Suripto diam sejenak. Kemudian dengan wajah masih menyimpan rasa takut, ia
menerangkan pelan-pelan hampir berbisik. “Ketika saya baca pada puisi pertama
halaman pertama dan berikutnya, tak ada kejanggalan apa-apa. Sama seperti
kumpulan puisi biasa. Tapi, ketika sampai pada halaman 40 dan saya baca, saya
tiba-tiba sudah tidak ingat apa-apa lagi. Bangun-bangun sudah ada di kamar
ini.”
“Menurut
keilmuan Mbah, sebenarnya buku puisi itu seperti apa?”
“Ada
dendam kesumat pada buku puisi itu. Iblis sepertinya meminjam tangan, mata, dan
hati penyair untuk menghancurkan manusia. Kekuatannya tidak bisa saya tahan.
Kekuatannya dapat menghancurkan siapa pun yang membacanya. Pada halaman itu,
bukan lagi puisi biasa, tapi mantra. Mantra penghancur yang berujud maut. Maaf
itu saja ya, karena mengingatnya membuat saya seperti saja terbakar lagi!”
Pak
Letnan bukan tipe manusia yang percaya dengan hal-hal tahayul seperti yang
diceritakan Mbah Suripto. Ia yakin, karena penolakannya terhadap tahayul ia
bebas saja membaca buku puisi itu dan tak akan terjadi apa-apa padanya. Buku
puisi karya Hito dalam sitaannya sebagai barang bukti.
Di
tempat lain, di kepolisian, ia mengambil barang bukti sitaan, buku puisi karya
Hito. Ia langsung ke halaman 40 yang dicurigai Mbah Suripto sebagai kutukan
atas manusia. Ia baca keras seperti sedang menantang.
“Kama ushahidi wa
upendo wako
Kwa ibada ya ibada
Kuta mifupa yako kama
duplicate yako
Tumia maji yako
Mimi ni mfalme mwenye
nguvu
Lakini mimi si wa mtu
yeyote
Wewe ni wangu
Ukweli kutoka kwa kweli
zaidi
Hiyo ni kujitolea kweli
Hata kama unapaswa
kupoteza maisha yako
Ulipa ushahidi wa
kujitolea kwako
Anamaanisha wakati
wowote tayari
Ikiwa umekuwa tayari
kufanya kazi
Wewe ni tayari
kutumikia
Ikiwa una nia ya
kuisoma.”
Tiba-tiba
saja, telinga Letnan berdenging kencang dan terdengar letupan dari dalam lubang
telinganya disertai semburan darah. Matanya melompat keluar. Lidahnya seperti
ada yang menariknya kuat-kuat hingga lepas. Letnan tak sempat menjerit. Ia
terkapar. Tak berapa lama, tubuhnya kaku. Kemudian tubuh Letnan mengering,
menghitam, dan berbau busuk. Seketika itu hidupnya tamat dengan mencengkram
halaman 40.
Tersiarlah
kabar kematian Letnan itu hingga ke telinga Geny. Ia pun bergegas segera
terbang dengan pesawat menuju tempat kejadian perkara di Banyuwangi. Ia meminta
izin untuk menerobos garis polisi. Ia tak fokus pada tubuh yang seolah hangus.
Ia terpana pada buku puisi Hito.
Korban
berjatuhan, tapi Geny tak mampu berbuat apa-apa. Tapi, mengapa tidak berdampak
padanya padahal ia memiliki buku itu. Ia juga membaca seluruh halaman buku itu.
Korban Letnan telah menyadarkannya bahwa di dalam buku puisi itu, di halaman
40, memang berbeda dengan puisi lain. Ia memang membacanya, tapi ia tak paham
maksudnya. Ia juga tak paham mengapa puisi dalam buku itu selalu menjadi saksi
kematian atau jangan-jangan penyebab kematian.
Bertahun-tahun
ia pelajari puisi halaman 40 itu. Ia merasa bahasa puisi halaman itu mirip
bahasa Swahili. Tapi, aneh mengapa tak satu pun kata yang ia paham.
Jangan-jangan teksnya di balik. Ia pun mencoba-coba menggunakan aplikasi online
yang dapat membalik kata, reverse word
generator.
“Nah,
benar! Itu bahasa Swahili, bahasa orang-orang Afrika!”
Ia
merasa senang karena akhirnya menemukan bahasa asal puisi itu. Lebih tepatnya
ia kemudian menyebutnya mantra, bukan lagi puisi. Berikut bahasa asli Swahili
sebelum dibalik keseluruhan katanya.
“Ikiwa una nia ya
kuisoma
Wewe ni tayari
kutumikia
Ikiwa umekuwa tayari
kufanya kazi
Anamaanisha wakati
wowote tayari
Ulipa ushahidi wa
kujitolea kwako
Hata kama unapaswa
kupoteza maisha yako
Hiyo ni kujitolea kweli
Ukweli kutoka kwa kweli
zaidi
Wewe ni wangu
Lakini mimi si wa mtu
yeyote
Mimi ni mfalme mwenye
nguvu
Tumia maji yako
Kuta mifupa yako kama
duplicate yako
Kwa ibada ya ibada
Kama ushahidi wa upendo
wako.”
Karena
sudah jelas bahwa halaman 40 itu berbahasa Swahili, kemudian ia
menerjemahkannya dengan menggunakan google
translate. Inilah isi puisi itu!
“Jika kau rela
membacanya
Berarti engkau telah
rela mengabdi
Jika engkau telah rela
mengabdi
Berarti engkau kapan
saja siap
Diminta bukti
pengabdianmu
Walaupun kau harus
kehilangan nyawamu
Itulah pengabdian
sejati
Sejati dari yang paling
sejati
Kau milikku
Tapi aku bukan milik
siapapun
Aku adalah raja yang
berkuasa
Tumpahkanlah airmu
Bakarlah tulangmu
sebagai dupamu
Untuk ritual pemujaan
Sebagai bukti cintamu.”
“Pantas
saja banyak memakan korban, lha
isinya begitu!” Gumam Geny. Ia lega. Ia berhasil memecahkannya. Sebelum kembali
ke Finlandia, ia telah mengirim surat ke kantor-kantor kepolisian tempat
kejadian perkara agar membakar buku puisi karya Hito tersebut. Dalam perjalanan
menuju Finlandia, pesawat yang ia tumpangi meledak di atas daratan Rusia. Tak
ada yang tersisa kecuali buku antologi puisi ‘Tangan Maut’ karya Hito.
Posting Komentar untuk "SIHIR PENYAIR"