Mencita-citakan Kematian yang Baik: 2. Sakaratul Maut
2. Sakaratul Maut
Tidak ada yang tahu bagaimana rasa sakit ketika
sakaratul maut. Ketika napas dicabut dari raga. Beberapa riwayat dari Nabi
menyebutkan bahwa sakitnya lebih dari ketika seseorang disentak kulit sekujur
tubuhnya hidup-hidup. Ada pula yang menyebut bahwa sang Nabi telah menanggung
sebagian besar rasa sakit itu sehingga umatnya sedikit ringan sakitnya ketika
sekarat. Ringan sedikit, tetaplah simpulannya sangat sakit.
Dalam tembang Macapat Jawa, tembang pamungkas
sebelum Pucung adalah Megatruh. Megatruh dalam arti sederhana adalah berpisahnya dua badan.
Berpisahnya badan halus dengan badan kasar. Badan halus (nyawa) dilepas dari
badan kasar (tubuh). Keadaan antara terlepasnya nyawa dari badan itulah yang
kemudian disebut dengan sakaratul maut.
Ada perbincangan antara Sayidina ‘Umar ibn
Al-Khathab dengan Ka‘b. Menurutnya maut itu bagaikan sebuah pohon yang banyak
durinya dimasukkan ke dalam perut manusia. Setiap duri tersambung pada satu
urat darinya kemudian ditarik sekaligus dengan sangat kuat. Terputuslah semua
urat yang menyangkut pada duri. Tertinggallah urat-urat yang tersisa. Begitu
kira-kira sakitnya jika digambarkan.
‘Amr ibn Al-‘Ash berpendapat, “Demi Allah, dua
sisi tubuhku seakan-akan berada dalam himpitan. Napasku seakan-akan keluar dari
lubang jarum. Dan sebuah dahan berduri ditarik sekaligus dari ujung telapak
kaki hingga ujung kepalaku.”
Orang mukmin meninggal dengan keringat di
keningnya. Itu pertanda bahwa begitu hebatnya saat-saat dicabutnya nyawa.
Keringat tersebut mewakili ungkapan betapa beratnya kematian. Nabi
menggambarkan pedihnya sakaratul maut ibarat ditusuk 300 pedang bahkan menyebut
pula lebih disabet 1000 pedang daripada mengalami sakaratul maut.
Ada yang berpendapat beratnya kematian memiliki
dua keuntungan. Keuntungan pertama adalah menyempurnakan keutamaan mereka dan
mengangkat derajat mereka. Dan beratnya kematian mereka bukan berarti sebuah
kekurangan atau celaan. Sebab, manusia yang paling berat ujiannya adalah para
nabi, kemudian orang-orang sesudah mereka. Keuntungan kedua adalah memberi tahu
makhluk atau umat betapa beratnya kematian. Mereka mungkin mengira bahwa
kematian itu ringan. Namun, jika beratnya kematian disampaikan oleh para nabi,
mereka sendiri merasakannya padahal mereka adalah orang-orang mulia di sisi
Allah, barulah umat akan memahaminya. Hanya saja kematian para nabi dan umatnya
ada perbedaan. Kematian para nabi tidak terjadi sebelum diberikan tawaran atau
pilihan.
“Diriwayatkan, setan tidak menggoda anak Adam
melebihi hebatnya godaan pada saat orang akan meninggal dunia. Pada saat itu,
setan berkata kepada teman-temannya, ‘Kumpul di sini, jika kalian tidak bisa
menyesatkannya pada hari ini, kalian tidak lagi bisa menggodanya selamanya’.”[1]
(Muhammad Asyraf bin Amir Abadi, Aunul Ma’bud,
[1] Darul Kutub Al-Ilmiyyah, cetaka II,
1415 H], juz 4, halaman 287
Kitab Kematian lengkap versi digital dapat diperoleh di:
Posting Komentar untuk "Mencita-citakan Kematian yang Baik: 2. Sakaratul Maut"