Mas, Tolong Hamili Aku!
Mas, tolong hamili aku!
Namanya Angelica. Ketika pertama
kali aku bertemu dia, boleh dibilang dia masih ingusan walaupun badannya bongsor. Waktu itu umurnya masih sekitar
tujuh belas tahun. Usianya denganku terpaut sekitar sepuluh tahun. Aku bertemu
pun tidak sengaja ketika datang ke tempat kerjanya. Sebuah restoran dengan menu
hampir semuanya tidak kukenal. Untungnya di situ masih ada kopi dan kentang
yang bisa kupesan. Dan dia adalah pemilik restoran itu.
Perkenalan itu tidak seperti di
jaman dulu waktu aku masih sekolah. Sekarang berkenalan lebih praktis dan hemat
waktu. Tinggal say hello, ngobrol, dan minta nomor hp atau PIN. Bisa juga lebih
moderat dengan menanyakan alamat jejaring sosialnya di internet sehingga bisa
ngobrol-ngobrol dulu baru meminta nomor hp. Next
action, mungkin mengajaknya bertemu lanjutan. Begitu saja.
Pertemuan pertama itu membuatku
menyimpan kesan khusus tentangnya. Tapi, sejak pertemuan awal itu, aku sudah
bilang kalau aku sudah tidak lajang lagi. Aku sudah menikah dan mempunyai anak.
Nah, ini lagi bedanya dengan orang di jaman dulu. Maksudku perempuan jaman
dulu. Dulu, seorang perempuan hampir semuanya tidak mungkin mau berteman atau
berteman dekat dengan laki-laki yang sudah menikah apalagi sudah mempunyai
anak. Alasannya mereka, tidak mau mengganggu rumah tangga orang lain. Takut:
KARMA. Anehnya jaman sekarang, yang perempuannya rata-rata intelektual, justru its no problem if you and me wanna be friend.
Pertemuan pun berlanjut dari awal,
kedua, ketiga, dan entah telah berapa kali bertemu. Acaranya juga
bermacam-macam. Menonton bioskop bareng, karaokean, makan, dan sebagainya.
Akhirnya ia pun menikah dan kami tidak lagi bertemu. The End.
Tapi, alangkah terkejutnya, suatu
hari dia SMS. Mas, aku minta tolong, begitu isinya.
“Mas, aku
ingin bertemu. Kapan Mas punya waktu?”
“Maaf, ini
siapa?”
“Aku, Mas,
Angel! Mas, aku butuh ketemu Mas,
penting banget! Kapan Mas bisa?”
“Kapan saja aku bisa, tapi jangan
malam. Kalau malam aku pasti tidak bisa. Aku tidak punya alasan untuk bisa
keluar malam.”
“Kapan,
enaknya ya?”
“Terserah,
yang penting jangan malam hari. Memangnya ada apa, Cha?”
“Aku punya
dua kepentingan. Pertama, aku butuh uang. Sudah beberapa bulan ini aku tidak
dikirim suamiku. Kedua, kayaknya tidak perlu dibicarakan via sms. Aku ingin
bertemu Mas langsung.”
“Baiklah,
kalau begitu. Kapan?”
Singkat cerita, kami pun bertemu di
sebuah café. Tempat yang nyantai buat ngobrol. Aku yang menunggu seperti waktu
awal kami bertemu. Selalu dalam posisi menunggu. Dia akahirnya pun datang.
Dengan senyum yang agak masam, dia mencoba membuat suasana menjadi manis. Kulitnya
seperti bersinar ditutupi oleh gaun malam ungu dengan asesoris putih dan perak.
Jadi teringat masa-masa saat sangat menginginkannya. Tapi, jujur kedewasaannya
kini menjadikan ia tambah bersinar. Sabar, sabar, kendalikan, dia bukan
milikmu, suara hatiku mencoba menekan apapun yang muncul.
“Sudah tadi, Mas?” sapanya
menggeser tempat duduk mendekatiku. Sebelum duduk ia masih sempatkan meraih
tanganku dan meraih pipiku. Dalam hatiku, kuminta teman-teman mencarikan
beberapa ember air untuk menyiram api yang berkobar. Baru pertama ini sejak
mengenalnya, aku mendapatkan ciuman seperti itu. Mungkin itu sih biasa, tapi
bagiku itu luar biasa.
Setelah ngobrol macam-macam yang
tidak penting dan melahap beberapa makanan, aku dan dia diam. Tak ada sepatah
kata pun dalam beberapa detik. Aku memulai pembicaraan.
“Ada apa sebenarnya?”
“Aku ingin hamil dari Mas!”
Cetar. Sekaget ketika ada sambaran
petir. Tapi aku laki-laki, mencoba tetap pada posisi duduk yang benar. Mencoba
tidak membuat gerakan-gerakan yang tidak perlu. Tapi, jangan tanya hatiku
seperti apa gaungnya.
“Maksudnya apa ini?” berlagak
bodoh.
“Mas, kan tahu, sudah 3 tahun aku
tidak punya anak. Aku menginginkannya dari Mas. Dan itu sangat mendesak Mas.
Aku tidak mau kehilangan suamiku.”
“Sebentar, ini masalah serius.
Bukan masalah numpang atau bonceng kendaraan. Ini bukan masalah simpan pinjam
yang mudah urusannya!”
“Iya, Mas. Aku sangat paham. Tapi,
tolong, Mas. Aku benar-benar butuh bantuan Mas. Aku hanya inginkan itu dari
Mas, bukan orang lain.” Dia meraih tanganku seperti memohon.
Kalau masalah uang, bolehlah aku bantu.
Tapi, ini masalah harga diri, martabat, keturunan, dosa kepada sesama manusia.
“Sambar aja Bro, kesempatan Cuma datang satu kali!” Ada suara dari kobaran api
di dalam dadaku. Kuyakini itu pasti dari setan.
Mas, tolong aku! Selamatkan
pernikahanku. Hanya dengan cara itu pernikahan kami bisa diselamatkan. Aku bisa
saja mencari donor, tapi aku menginginkannya dari Mas karena aku tahu betul Mas
orang yang baik selama ini. Terutama baik sama aku. “Mas, demi Tuhan tolong aku
ya?”
“Jangan sebut nama Tuhan kalau
urusannya begini!”
“Tapi, Mas, serius tolong aku.
Selamatkan pernikahanku!”
Terus terang, aku mau. Sejak dulu
pun aku mau apalagi secantik dan secerlang dia. Coba bayangkan, apa yang bisa
dilakukan jika seandainya tiba-tiba datang seorang artis, misalnya sebut saja
Dian Satro menawarkan hal seperti itu. Siapa yang menolak? Berapa orang yang
mau? Tapi, maaf Mbak Dian, ini sekedar imaji. Jangan tersinggung. Adakah yang
mau menggantikan posisiku malam ini untuk menjawab tawaran manis ini?
Masalahnya, aku sudah beristeri dan
mempunyai beberapa orang anak. Dia juga milik orang lain. Tidak ada hak atasku
menerima tawarannya dengan alasan apapun. “Yang bener? Ini kesempatan hanya
datang seratus tahun sekali, lho! Jangan membuat keputusan yang akan membuatmu menyesal
seumur hidup.” Sahut suara kobaran api yang ada dalam dadaku.
Kutatapi dari ujung rambut hingga
ujung kakinya. Sungguh, engkau ciptaan Tuhan yang terindah. Ada bagian-bagian
tubuhnya yang mirip dengan artis. Dia memiliki mata seperti mata Aishwarya Rai.
Bibirnya, wao, Angelina Jolie banget. Dan, tubuh dan kulitnya seperti Megan
Fox. “Gebet aja Bro!” Lagi-lagi suara semangat dalam dadaku mengaung.
Imajinasi kemana-mana. Badanku
sejak tadi menghangat. Something happen
with my part of body. Jika dia meminta aku melakukan itu, srigala-srigala
di dalam tubuhku sudah siap menerkam. Mereka telah mencakar-cakar dadaku dari
bagian dalam dadaku. Mereka kelaparan. Berontak ingin segera diberi makan. Apa
yang harus kulakukan? Menolak dengan alasan hukum dan menonton pernikahannya
hancur? Sementara dia adalah salah seorang yang pernah aku sayangi? Atau
memenuhi permintaannya dengan alasan kebaikan dan meruntuhkan bangunan iman
dalam hatiku? Menolak, menerima. Menolak, menerima. Menolak, menerima.
Menerima....demi kebaikan 👍🏻👍🏻
BalasHapus