Kado Terindah Buat Patimah
Pagi-pagi
sekali anak kesayangan Badrul menangis. Seperti hari sebelumnya. Setiap pagi ia
selalu menangis.
“Sabar,
Nak. Pasti Bapak
belikan. Nunggu terkumpul dulu ya uangnya!”
“Tidak
mau, aku mau secepatnya. Sudah lima hari aku tidak beol!”
“Loh, jangan ditahan. Nanti kamu sakit,
Nak!”
Ia
memperkeras tangisnya. Badrul makin kebingungan. Bukan karena tangis anaknya,
tapi karena berpikir puterinya telah lima hari tidak Buang air besar.
“Pokoknya
besok sudah ada di kamar mandi. Kalau tidak, aku tak mau beol!”
Lima
hari yang lalu, Patimah, memulai tangisnya menginginkan toilet duduk. Bahasa
Inggrisnya, Toilet Seat. Alasan ia
mencita-citakannya karena ingin merasakan nikmatnya orang kaya. Ia terlahir
miskin. Bapaknya hanya seorang tukang sol sepatu keliling bersepeda. Dengan
memiliki toilet duduk setidaknya bapaknya juga merasakan kenikmatan orang kaya.
Meskipun hanya toilet saja.
“Keinginan
Patimah kan tidak muluk kok, Pak. Itu
demi Bapak juga!”
“Iya,
tapi itu kanmahal!”
“Patimah
tidak mau tahu. Kalau Bapak tidak mau aku sakit, besok sampai dengan jam duapuluh empat, toilet
duduk itu harus sudah bertengger di kamar mandi.”
Badrul
tak bisa bilang tidak. Jerih peluhnya tentu untuk anak semata wayangnya.
Setelah ditinggal mati Ibunya, Badrul memang berniat membahagiakannya. Menurut
pikirnya, ia tak butuh
seorang Ibu baru. Yang bisa membahagiakannya hanyalah toilet duduk seperti
orang kaya. Lebih-lebih itu hari ulang tahunnya. Yang menurutnya paling ia
impikan akan sangat pantas baginya mewujudkannya.
“Kita
mulai dulu dari toilet Pak. Siapa tahu nanti susul menyusul barang lain yang
memBuat kita benar-benar kaya!”
Patimah
masih kecil. Sudah sepatutnya Badrul membeli kebahagiaan Patimah. Ia mulai
mereka-reka dari mana mendapatkan uang untuk membeli toilet duduk.
“Ya
sudah, Bapak akan libur hari ini. Kita keliling-keliling mencari tahu di mana tempat membeli
toilet duduk kesukaanmu!”
“Hore,
begitu dong. Love you, father!”
“Hmm,
kalau sudah maunya!”
Bersepedalah
bapak dan anak berkeliling kota menemukan toko penjual toilet duduk. Tepat di
depan toko Ori, Badrul memarkir sepedanya. Patimah bergegas masuk ke dalam
toko. Ia sedang sibuk
berpikir antara memilih yang putih atau tosca.
“Sudah
ketemu, Nak?”
“Bapak
pilih mana? Putih atau tosca?”
“Kalau
putih lebih cepat kotor Nak, mending tosca saja, tapi berapa ya harganya?”
“Kita
tanya, Pak!”
Badrul
memanggil pramuniaga. Setelah mendekat, Badrul pun bertanya. “Kalau yang tosca
itu berapa?”
“Itu
bulat satu juta, Pak!”
“Tidak
bisa kurang?”
“Maaf,
Pak. Bukan pasar!”
“Iya,
saya kan cuma
tanya!”
“Silakan
lihat-lihat dulu. Kalau ada yang cocok panggil saya!”
Badrul
mendekati telinga Patimah. “Nak, harganya wow!”
“Memang
berapa, Pak?”
“Satu
juta pas katanya!”
“Pokoknya
harus beli!”
“Iya,
tenang saja, tapi kamu harus tahu. Harga toilet itu sama dengan kerja keras
bapak selama duapuluh hari!”
“Tidak
apa Bapak. Itu kan untuk kita. Bukan cuma untuk Patimah!”
“Iya,
sayang. Kita beli.”
Badrul
merasa tidak perlu melanjutkan obrolan. Patimah tidak bisa tahu dari mana uang yang ia siapkan untuk membeli
toilet itu. Cukup dirinya saja yang tahu. Cukup ia simpan sendiri pahit
getirnya untuk mendapatkan uang dua juta. Badrul menyiapkan dua juta dari hasil
pinjam sana-sini sekaligus buat ongkos pemasangan toilet. Ia juga bisa bantu
tenaga agar pengerjaannya lebih cepat. Sisa uang pinjaman itu juga bisa buat belanja untuk beberapa hari bolos kerjanya.
“Nah,
terbeli. Oya, selamat ulang tahun ya. Ini sekaligus kadonya.”
“Hore,
makasih Bapak!”
Patimah
mencium kening bapaknya.
“Sama-sama.”
Tidak
memakan waktu dua hari, toilet itu sudah bertengger anggun di kamar mandi
sederhana keluarga Badrul. Lantai kamar mandi sementara dibalur semen dulu.
Hanya temboknya yang diperbarui catnya agar tampak asri dengan warna biru
cerah. Patimah pun buang hajat untuk pertama kalinya setelah hampir satu minggu ditahan dan
disimpan dalam perutnya.
“Patimah,
belum selesai juga?”
“Belum
Pak. Sedang menikmati menjadi orang kaya!” Terdengar cekikikan Patimah dari
dalam kamar mandi.
Badrul
merasa senang dapat mengabulkan permintaan tuan puterinya.
“Bapak
harus mencobanya. Nikmat rasanya. Hati terasa damai!”
“Iya,
makanya kamu harus cepat. Sudah hampir satu jam kamu di kamar mandi. Belum
mandinya. Mau berapa lama lagi?”
“Sabar,
Pak. Ini sudah. Tinggal mandi!”
Patimah
tanpa ragu memencet tombol air toilet itu. Terdengar Bunyi byuuur. Semua buang hajatnya lenyap bersih. Berganti bening. Patimah
merasa lega. Senang. Dalam pikirnya ia merasa telah menjadi orang kaya.
Pagi
berikutnya, yang menjadi penghuni kamar mandi pertama adalah Patimah. buang hajat rutin. Setiap hari. Walaupun hari-hari
berikutnya ia tidak sedang buang hajat, ia kadang sekedar duduk di atas toilet
kecintaannya. Toilet yang berprestise dan bercita rasa orang kaya. Ia bangga
pada sang bapak walaupun hanya seorang tukang sol sepatu, tapi ia sudah
mengajaknya menjadi orang kaya. Biarlah dari toilet dulu. Suatu hari kelak ia
yakin semua barang-barang orang kaya akan betah di rumahnya.
Patimah
juga mempunyai kebiasaan baru. Ia mengerjakan tugas-tugas sekolah di kamar
mandi. Ia bawa meja kecil dari ruang tamu dan duduk di atas toilet orang
kayanya. Ia makin rajin belajar, terutama ketika mengarang cerita dan membuat puisi. Ia sangat merasa lancar. Ide-ide
beterbangan di atas kepalanya ketika ia duduk di atas toilet orang kaya itu.
Bahkan, ia memberi tulisan kecil di permukaan tempat duduk toilet itu dengan
namanya sendiri :
Patimah.
(Dalam Buku Antologi Cerita Anak: Kupu-Kupu Emas)
Posting Komentar untuk "Kado Terindah Buat Patimah"