Imajinasi Itu Menyapa Manusia di Notre Dame
|
Buku
Kumpulan Cerpen Senja
di Notre Dame Penulis:
Hana Fatwa Penerbit,
editor, dan penata letak: Guepedia Terbitan:
Juni 2021 Tebal
250 halaman ISBN 978-623-229-345-8 |
Sebuah kumpulan cerita pendek (cerpen) telah
lahir dari sisi Selatan kota Sumenep untuk Indonesia berjudul Senja di NotreDame. Ditulis oleh: Hana Fatwa (nama pena). Nama pena lain yang juga sering
digunakan adalah Alfin Nuha sedangkan nama aslinya sendiri adalah Hanna Al-Ithriyyah.
Selanjutnya dalam tulisan ini akan saya sebut Hana Fatwa dengan sebutan orang
ketiga: ia.
Ia ibarat mutiara terpendam yang tak banyak
orang awam tahu. Yang mereka tahu, ia hanya seorang pendidik di suatu lembaga
pesantren ternama bahkan konon tertua. Ia guru sekaligus dosen di Institut Ilmu
Keislaman Annuqayah (Instika) dalam prodi Ekonomi Islam. Ia juga sangat akrab
dipanggil 'Ning' sebagai seorang putri kyai. Selebihnya tentang pergerakan yang
ia lakukan, no way. Jarang banyak orang tahu.
Dalam tulisan ini akan sedikit dibagi informasi
tentang pergerakan dan perjuangannya dari sisi literasi bermutu. Yah, sedikit,
namun akurat. Ibu dari dua anak ini kelahiran 1986 dari pasangan KH. Mohammad
Waqid Khazin (alm.) dan Nyai Hj. Fathimah al-Batoul. Aktif menulis sejak sekolah
dasar. Sering menjuarai lomba menulis dalam
kategori karya fiksi. Sebagai puncak sementara, ia dinobatkan di posisi
juara ke-3 pada Sayembara Penulisan Naskah Buku Pengayaan Nasional, Pusat
Kurikulum dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tahun 2011.
Senada dengan konteks buku dalam kejuaran
tersebut, Senja di Notre Dame juga mengangkat sisi kemanusiaan yang terjadi
dalam lingkaran kehidupannya yang kemudian terkristalisasi dalam tigabelas
judul cerpen. Tentu, penceritaan dengan cara unik dengan mengambil latar yang
tak biasa. Judul buku tersebut sepertinya sengaja diambil dari salah satu
cerpen di dalamnya. Pemilihan judul yang tepat dan menarik. Imajinasinya telah
sampai di Paris untuk menggugah rasa kemanusiaan. Dari sisi judul ada dua pengertian.
Pertama, Notre Dame merujuk sebuah tempat berupa gereja katedral di Paris.
Kedua, Notre Dame merujuk pada makna Ibu Kita (Siti Maryam). Dan, kedua makna
tersebut dicakup dalam satu cerpennya sekaligus. Yang satu sebagai latar
tempat, kedua sebagai tokoh dalam cerita.
Ia menggunakan tangkap layar dalam ceritanya
berupa senja dengan awan Sirotratus, camar, matahari yang bergerak pulang,
riuhnya demontrasi, dan tepian sungai Seine. Ia bercerita tentang gadis
Indonesia bernama Neina yang memimpikan kebebasan. Kebebasan dalam kedamaian
beragama sebagai hak dasar dan kebebasan manusia berketentraman. Sang tokoh
terlibat dalam menyuarakan teriakan kemanusiaan seluruh pemeluk agama di Jalan
Ulm, Paris. "Agama adalah denyut nadi kami; Agama adalah detak jantung
kami; Sayangi warga negara; Bebaskan warga negara!"
Mengapa hingga muncul demontrasi besar seperti
itu? Tahu sendirilah bagaimana sikap sekuler Perancis terhadap agama bahkan
bermula tahun 1905 tidak satu pun agama diakui oleh negara. Pemimpin negara telah
menghilangkan kebanggaan warganya terhadap negara. Sekularistik yang gelap mata
membuat bangsanya membenci negara. Neina adalah salah satu korban yang dipaksa
melepas hijab di negeri itu. Itulah mengapa judul cerpen Senja di Notre Dame
menjadi judul buku kumpulan cerpennya. Puncak pergerakan dan perjuangan
terbesar penulis ada dalam cerita tersebut.
Pergerakan dan perjuangan lain pada cerita
lainnya adalah tentang Bulai. Seseorang yang berwujud tidak umum. Orang awam
menyebutnya albino. Ini tentang bagaimana seluk-beluk kehidupan yang diterima
seorang anak dan sekaligus siswa yang bulai. Sungguh perjuangan berat
melepaskan diri dari lingkaran bullying. Bahkan, secara detil diungkap
bagaimana seorang ayah yang menuduh isterinya selingkuh dengan bule karena menghasilkan
makhluk bulai. Sang bulai tidak diakui sebagai anak. Lebih mengerikan lagi di
Afrika, bulai dibunuh untuk sesajen kekayaan dan kemakmuran serta
diperdagangkan potongan tubuhnya.
Ada pula cerita tentang Surat dari Alien.
Penulis bercerita tentang salah satu siswa yang mengalami disleksia. Ia tak
bisa membedakan bentuk huruf yang mirip seperti b, d, dan p. C dan e, m dan n,
serta z dan s. Dengan kasus kekerasan rumah tangga yang diderita siswa,
setidaknya perjuangan guru adalah membenahi literasinya.
Ada satu, yah hanya satu, cerpen berjudul
Buklet Bunga Sepatu yang menarik dari sisi teknik penceritaan. Satu judul itu
dibuatnya seperti penggalan-penggalan cerita. Judul utamanya Buklet Bunga
Sepatu. Dari judul utama tersebut dibuat babak-babak berupa subjudul. Ada
subjudul Buklet Salwa, Buklet Salma, dan Buklet Bunga Sepatu. Membacanya
seperti sedang menikmati karya komik atau potongan film pendek. Lebih
sederhananya kita seperti sedang membaca buku harian dari dua anak kembar siam,
Salwa dan Salma dengan beragam perbedaan yang muncul menjadi konflik yang
manis. Menarik.
Cerita lainnya di antaranya berjudul Kapak
Ibrahim, Sang Janin Pengantin, Manusia Gerobak, Manusia Hobbit, Mr. Sleepy,
Manusia Kerangkeng, Di Bening Mata Nimas, dan Badai di Negeri Nuh. Seluruhnya memukau
sehingga setiap kali usai membaca satu cerita cukup dengan bergumam wow, loh,
wah, atau hmm. Dan teristimewa pada setiap akhir ceritanya selalu
ada kalimat penting seperti: naskah ini diangkat dari kisah nyata, I believe
every child is special; Terinspirasi dari kisah hidup Lupita dan Carmen Andrade,
si Kembar Siam; Dedicated to someone and children like you in my world; dan
sebagainya. Menambah pesona sebuah karya.
Ada pernak-pernik kosakata khusus yang
dibagikan selain dari bahasa asing, terutama dari bahasa daerah. Ada banyak
kata dan kosakata yang ia sisipkan dalam cerita yang disematkan pada catatan
kaki sehingga memudahkan pembaca memahami maknanya.
Dari bahasa Madura muncul kata tong-bitongan
(berhitung) settong, duwa', tello' (satu, dua, tiga) dan seterusnya. Ada
pula kata seperti kacong (sebutan untuk bocah atau anak laki-laki).
Dari bahasa Jawa ada sisipan kata pripun
(bagaimana), wis (sudah), temenan (sungguh), dan sebagainya.
Bahkan, di cerita pertamanya ia menggunakan konteks Bahasa dan budaya Betawi.
Kemunculan beragam kosakata asing dan daerah
seolah menyiratkan bahwa ia adalah seorang multilingualist selain
sebagai seorang guru, dosen, dan penulis. Keren. Setelah ditanya langsung ke
sumbernya ternyata ia memang suka mempelajari banyak bahasa secara otodidak.
Kalau ditakdirkan ke luar negeri, secara bahasa sudah teratasi, katanya.
Adapun latar tempat dan budaya yang ia layarkan
dalam bentuk teks antara lain Prancis, Korea, dan tentu Indonesia dengan
keberagaman teks dan konteksnya seperti Jawa dan Madura diramunya menjadi
suguhan menarik untuk dibaca.
Terbukti dengan salah satu cerpennya yang
berjudul Well-dying ia dapat menggambarkan kehidupan hedonistik orang
Korea yang bahkan tak ingin mengenal agama dan Tuhan. Mereka berusaha membeli
hidup berapapun harganya agar terhindar dari kematian. Ia tutup kumpulan
cerpennya dengan salah satu tokoh cerita YuJin dalam Well-Dying yang
tidak percaya bahwa kematian itu ada.
Senja di Notre Dame dibuka dengan kehidupan,
ditutup dengan kematian-yang sesungguhnya kehidupan lanjutan. Sungguh alur
keseluruhan yang tepat untuk disematkan pada cerita ngeri-ngeri sedap yang
terjadi pada kemanusiaan.
Mengenai hal teknis yang sering muncul dalam
penulisan sudah barang tentu ada dan menjadi kekurangan dari sisi cetak seperti
penulisan yang benar, tanda baca, dan sebagainya. Kekurangcantikan dari sisi layout
juga hal wajar. Namun, kekurangan tersebut telah dikompensasi secara sempurna
dengan cerita yang menarik dan bermakna.
Sungguh saya merasa terhormat, selain dikirimi
Senja di Notre Dame, buku tersebut telah dibubuhi tanda tangan indah
penulisnya. Dan sungguh sangat menggembirakan dalam prakatanya ia menyebut nama
saya dan Kata Bintang (komunitas tempat berbagi dan bermakna). Selain aktif berkarya
di Kata Bintang, ia juga mendamping kelahiran karya buku bermutu di bawah
naungan Forum Lingkar Pena (FLP) Annuqayah. Ketika kemudian ditanya tentang
girahnya di dunia menulis, ia menyatakan ingin punya andil dan berbagi ibrah
setidaknya melalui tulisan. Ia juga menyampaikan bahwa tantangan terbesarnya
adalah menghidupi waktu untuk kegiatan menulisnya. Banyak kegiatan teknis di
kampus dan kantornya yang menyita selain sebagai ibu rumah tangga, tapi
beruntung sekali lanjutnya, sang suami memberikan support luar biasa:
"Aku ingin mempunyai isteri seorang penulis." Ketika saya membaca dua
ratus lima puluh halaman karyanya, seperti menyisir satu abad perjalanan hidup
manusia. Ada perkawinan yang kuat antara fakta dan imajinasi hingga melahirkan
makna dan pemahaman tentang kehidupan. Well
done, Hana Fatwa.
(Diterbitkan oleh Jawa Pos Radar Madura)
Posting Komentar untuk "Imajinasi Itu Menyapa Manusia di Notre Dame"