Bibir Merah dari Alhambra: 7.Aku Lupa Meletakkan Akal
“Aku
hanya lupa meletakkan akal. Aku sudah
mencarinya ke mana-mana. Aku putuskan untuk tidak mencarinya lagi. Aku lebih
banyak lupa meletakkan akalku di mana daripada kamu yang punya akal tapi lupa
meletakkan budi!”
S |
eorang pria
mengorek-ngorek sampah. Ia tampak memisah-misahkan jenis sampah. Ia kumpulkan
jenis sampah plastik, kertas, daun, dan sebagainya dalam satu jenis. Seorang
pria lain bersama pacarnya sedang melewati pria yang mengorek sampah dan dengan
gagahnya tercetus: “Dasar, orang gila!”
“Hey hey, tunggu! Kamu bilang apa barusan?”
Pria dengan pacarnya kaget dan dengan lambat menjawab bahwa tidak bilang
apa-apa.
“Jawab! Tadi bilang apa pas melewatiku!”
Pria yang tangannya belepotan dengan sampah menarik tangan pria yang dengan
pacarnya, memaksa mengatakan sesuatu.
“Maaf, saya tadi bilang tidak sopan!”
“Bilang apa?” Pria yang tampak kotor itu mendekatkan telinganya ke mulut
pria yang bersama pacarnya. Kemudian pria yang tampak kotor itu berbisik.
“Aku tidak gila. Aku hanya lupa. Lupa meletakkan akalku!”
Kemudian dengan lantang ia mengulangi kalimatnya. “Aku tidak gila. Aku hanya lupa. Lupa meletakkan akalku!!!”
“Maaf!”
Kata pemuda itu.
“Kamu yang gila. Kalian yang gila. Kalian semua yang menatapku yang gila!!”
Semua terhenyak. Suara-suara tiba-tiba hening.
“Mengapa kalian menyebutku orang gila? Bukankah aku tidak pernah mengganggu
isterimu, aku tidak pernah merampas pacarmu, aku tidak pernah makan aspal dan
semen, aku tidak mengambil hakmu, aku tidak makan apa saja seperti kamu, aku
juga bukan tikus kantor, kamu yang gila! Bukan aku!!”
Masih hening. Semua mata tertuju kepada pria yang kembali menata sampahnya.
Ia tampak seperti sedang berjualan dengan tumpukan sampah yang sudah ditata
sejenis.
“Aku hanya lupa meletakkan akal. Aku
sudah mencarinya ke mana-mana. Aku putuskan untuk tidak mencarinya lagi. Aku
lebih banyak lupa meletakkan akalku di mana daripada kamu yang punya akal tapi
lupa meletakkan budi!”
Pria yang menyebutkan lupa meletakkan akal bicaranya makin masuk akal.
Mereka yang mendengarkan tiba-tiba merasa tidak punya akal. Seolah-olah akalnya
sudah lama kehilangan budi. Kehilangan fungsi terbaiknya yakni mencapai budi.
“Hey kalian, yang akalnya masih ada pada tempatnya, apakah akalmu hanya
serupa potongan daging? Apakah yang kalian sebut akal itu menentukan kualitas
manusiamu? Apakah hanya bajumu yang menentukan siapa dirimu? Jawab!”
Satu per satu orang sekitar tempat sampah itu, termasuk pemuda yang bersama pacarnya, memilih pergi meninggalkan pria dengan sampah itu.
Ada yang tersenyum sinis, ada yang menertawakan dirinya, ada juga yang kemudian
meletakkan akalnya di tempat sampah pria itu lalu pergi.
“Ternyata kalian tidak betah mendengarkan kebenaran. Kebenaran itu memang
pahit, Jenderal! Asal kau tahu!!”
Sudah sepi. Hanya tinggal pria itu dengan sampahnya. Seseorang mendekat.
Seorang ibu muda cantik. Melemparkan bangkai ayam di tempat sampah yang
ditunggui pria itu.
“Hey! Mengapa kamu buang ayam mati? Bukankah lebih enak kalau ayam itu kamu
rebus dan masak jadi opor? Toh, ayam itu tidak punya akal!”
Ibu muda itu melenggang tanpa sepatah kata. Ia takut diceramahi pria itu
tentang kebenaran. Ia buru-buru pergi begitu saja.
Posting Komentar untuk "Bibir Merah dari Alhambra: 7.Aku Lupa Meletakkan Akal"