Bibir Merah dari Alhambra: 6. Al Quran
Kita
tak mustahil mati kafir. Benar, kita memang tak mustahil bisa mati dalam
keadaan kafir. Itu artinya setelah mati pun kita masih ada urusan. Tentu
tentang apa-apa yang telah kita lakukan ketika hidup. Pikiran-pikiran inilah
yang membuat Parto berhari-hari tampak bingung.
"Kita tak mustahil
mati kafir..." begitu khatib Jumat bilang."...makanya berpeganglah
kepada al Quran. Pasti kalian selamat."
S |
ementara
itu, Parto duduk-duduk di luar mesjid ditemani rokoknya yang murahan itu.
Semestinya, sebagai laki-laki muslim wajib baginya Jumatan di mesjid, tapi ia
malah bersebul-sebul menonton dari luar pagar. Tapi dari raut mukanya, tampak
sekali ia sedang serius dan menyimak. Berbatang-batang rokoknya habis. Dia
mengotori sekitar mesjid dengan puntung. Saat orang-orang yang pergi Jumatan
pulang, Parto masih belum beranjak juga dari duduknya. Tampak ia sedang
berpikir keras. Kalau boleh disamakan kepala Parto dengan panci, maka ia adalah
panci yang sedang merebus singkong dengan sangat mendidih. Tampak serius
sekali.
Semua malaikat tahu. Sejak lahir Parto sudah Islam. Di-Islam-kan oleh
bapaknya. Dan bapaknya oleh kakeknya. Kakeknya oleh buyutnya. Begitu seterusnya
secara turun-temurun. Tapi, sejak itu pula, meskipun sudah Islam, Parto belum
pernah salat. Kalau boleh dinilai, dia nol besar tentang agamanya. Mungkin juga
minus. Yang dia tahu hanya bagaimana membuat sumur dan liang kubur karena
itulah pekerjaannya sehari-hari.
Pemah terpikir di benaknya saat menggali kuburan. Seandainya ia mati,
apakah mati begitu saja dan tidak terjadi apa-apa di dalamnya? Bagaimana dengan
kalimat khatib itu:"Kita tak mustahil mati kafir!" batin Parto
seperti sedang berzikir. Kian sering ia membatin seperti itu.
Kita tak mustahil mati kafir. Benar, kita memang tak mustahil bisa mati
dalam keadaan kafir. Itu artinya setelah mati pun kita masih ada urusan. Tentu
tentang apa-apa yang telah kita lakukan ketika hidup. Pikiran-pikiran inilah
yang membuat Parto berhari-hari tampak bingung.
Suatu malam, Parto benar-benar tak bisa tidur. Ia gelisah. Kadang ia duduk,
kadang berbaring, kadang juga mondar-mandir. Tampak sekali ia tak tenteram
dadanya. Malam itu dengan sarung diikatkan di pinggangnya, ia keluar rumah. Ia
menuju ke suatu tempat yang menurutnya menyimpan jawaban atas semua
kegelisahannya selama ini.
Di depan sebuah bangunan megah, ia mengendap-ngendap, sepertinya ia takut
keberadaannya diketahui orang. Ia merayap sampai berhasil melompati pagar. Dari
tempat lain yang remang, tampak beberapa mata mengerling seperti bintang,
menyoroti tingkah laku Parto. Tapi, Parto tetap mantap dengan apa yang ada
dalam pikirannya. Ia pun berhasil membobol pintunya. Ia masuk. Tampak ia
mencari-cari sesuatu. Dalam kegelapan itu tampak senyumnya yang termanis saat
melihat sesuatu yang dicarinya. J.a.w.a.b.a.n. Ia raih, kemudian ia bungkus
dengan sarung. Ia pun lari sekencang-kencangnya.
Beberapa mata yang sejak tadi siaga, akhirnya punya mulut dan berteriak.
"Maliiiing! Maliiing! Maliiing!" Mereka ramai-ramai mengejar
Parto. Beberapa orang memukuli tiang listrik sebagai tanda panik. Orang-orang
yang tidur terbangun dan ikut mengejar sambil terus berteriak 'maling.’
Akhirnya Parto terkepung. Ia tak bisa lari. Ia terdesak. Ia tak bisa tidak,
harus menyerah karena melawan menurutnya tidak berguna. Tapi, orang-orang itu
tak sependapat dengan sikap menyerah Parto. Bagi mereka, siapa yang terkepung
itu adalah maling dan maling harus digebukin sampai mampus. Dengan barang
bawaan seadanya seperti klewang, pedang, clurit, tombak, pentungan, tongkat
besi, linggis, mereka mengeroyok Parto. Mereka menghabisi Parto. Parto pun
mati. Beberapa linggis dan pedang sengaja tak mereka cabut dari tubuh Parto.
Bagi mereka, Parto memang pantas mendapatkan hadiah itu.
Beberapa orang di antara mereka ada yang belum puas, ada yang beranggapan pekerjaan itu belum selesai. Menurut mereka, ia harus dibakar. Beberapa yang lain penasaran dan melepas sarung yang melilit di pinggangnya. Alangkah terkejutnya mereka saat mereka tahu yang mati mengenaskan itu Parto. Dan alangkah lebih terkejutnya mereka saat mereka tahu kalau yang ada di dalam sarung Parto adalah al Quran.
Diantologikan pada buku
Antologi Cerpen Pendek: Graffiti Imaji, Yayasan Multimedia Sastra, Jakarta, 2002.
Posting Komentar untuk "Bibir Merah dari Alhambra: 6. Al Quran"