Bibir Merah dari Alhambra: 4. Tuhan, Aku Lelah
Setiap
kali berangkat ke tempat eksekusi, ia selalu meniatkan bekerja dengan menyebut
nama Tuhan. Sepulang kerja, ia juga selalu menyebut segala puji bagi Tuhan yang
telah memberinya rejeki. Ia mulai mencampurkan racun dengan madu. Ia mengaduk
kegelapan dengan cahaya. Ia tak paham benar dan salah. Ia begitu polos tentang
agama. Dianggapnya bekerja seperti itu layaknya bekerja di kantoran, mengawali
dan mengakhirinya dengan nama Tuhan. Ia tak pernah berburuk sangka kepada
Tuhan.
Tuhan, aku lelah! Keluh Satriani sehabis melayani pelanggan di atas tubuhnya. Satriani, 20 tahun, anak desa, selepas sekolah menengah atas ia memilih tinggal sendiri di kota Malang. Ia putuskan untuk mandiri. Ia tak punya keahlian apa-apa yang bisa menopang hidupnya.
Salah satu
pacarnya telah merenggut keperawanannya kemudian pergi begitu saja. Itulah yang
menguatkan keputusannya untuk menjajakan tubuhnya.
Pikirnya, pacaran itu rugi. Semua serba gratis. Sejak hari itu tubuhnya tidak
boleh gratis lagi. Ia mulai memasang tarif serius.
Awalnya ia
grogi dan sedikit takut bertemu orang baru dan saling bersentuhan. Sejalan
dengan tingginya jam terbang, ia tak lagi peduli siapa yang ada di atas
tubuhnya. Ia tak perlu tahu bahkan ia tak perlu merasakan
apa-apa. Cukup berakting seolah-olah merasakan nikmat yang luar biasa dengan
mengerang.
Beberapa
orang sengaja tidak bayar. Beberapa lagi ada yang mencuri semua barang dan uangnya.
Ia hanya berpikir, kok ada setan seperti itu. Kemudian, ia berlakukan bayar DP
sebelum eksekusi.
Keadaan
mulai berjalan lebih baik. Punci-pundi rejekinya mulai gemuk. Ia
tak lagi berpikir besok makan apa. Ia mulai berpikir besok mau beli apa lagi.
Setiap kali
berangkat ke tempat eksekusi, ia selalu meniatkan bekerja dengan menyebut nama
Tuhan. Sepulang kerja, ia juga selalu menyebut segala puji bagi Tuhan yang
telah memberinya rejeki.
Ia mulai
mencampurkan racun dengan madu. Ia mengaduk kegelapan dengan cahaya. Ia tak
paham benar dan salah. Ia begitu polos tentang agama. Dianggapnya bekerja
seperti itu layaknya bekerja di kantoran, mengawali, dan
mengakhirinya dengan nama Tuhan.
Ia tak
pernah berburuk sangka kepada Tuhan. Tapi, dalam
hati kecilnya, menjelang tidur malam, ia selalu gelisah. Ia selalu berpikir
bahwa yang dilakukannya adalah dosa. Dan, rejeki yang diperolehnya dengan cara
dosa adalah salah. Ia sadar, tapi kembali ia tak ingin berburuk sangka kepada Tuhan.
Ia tak ingin akhirnya menyalahkan Tuhan yang telah menjerembabkannya ke dalam
lumpur kehidupan. Ia memilih tidak memikirkannya dan tidur.
Langkahnya
dari hotel ke hotel, dari kasur ke kasur berikutnya, telah cukup melihat
wajah-wajah dan perangai manusia. Ada lelaki yang sudah sejahtera dan harmonis
dengan keluarganya, berwajah polos, tapi sebenarnya juga pecundang dan suka
jajan. Ada pula yang kelihatan sangar, tapi lembut saat bercinta. Ada juga
kakek-kakek yang sudah tak mampu lagi dan tak bertenaga, masih juga memaksakan
diri. Ada yang sangat loman, ada pula
yang sangat pelit. Kalau bertepatan dengan yang loman, bisa dapat bonus makan dan tips. Tapi, kalau sedang apes,
satu rupiah pun dihitung jangan sampai lebih jatuh ke tangan Satriani.
Satriani,
sejak menjajakan tubuhnya sudah berkali-kali berganti nama. Ia sengaja memilih
nama-nama yang keren dan modern. Trixy, Memey, Luna, Alexa, Vee, dan banyak
lagi. Menurutnya, nama-nama keren menambah hoki. Bertebaranlah nama-nama
tersebut di berbagai akun media sosial, bahkan untuk satu media sosial ia
berani memasang beberapa akun dan nama. Semakin banyak nama dan fotonya, makin
laris manis pikirnya.
“Apa kamu
tidak takut kena penyakit?” tanya seorang pelanggan aneh. Ia sering booking Satriani, tapi hanya sekedar
menemani tidur dan tidak melakukan apa-apa. Waktu hanya diisi
dengan minum, ngobrol, dan karaoke.
“Lebih takut
mana dengan lapar dan miskin?” Jawab Satriani singkat dengan senyumnya yang
panas.
Pelanggan
aneh itu sebenarnya Wartawan Netizen. Ia ingin mendalami kehidupan underground. Ia sudah banyak mengoleksi
foto-foto Satriani, tapi feature
tentangnya belum rampung juga. Belum jadi dimuat.
“Apakah ada costumer kamu yang pejabat?”
“Ya, pasti
la ada! Tapi, jangan ditanya siapa dan menjabat apa! Ok?”
Yang paling
mengenaskan bagi Satriani di luar kesadarannya adalah ia tak lagi merasakan
rindu dan cinta lagi. Sejak keperawanannya direnggut gratis, ia tak lagi
merasakan keduanya. Yang ada hanya pikiran bagaimana pundi-pundinya terisi
penuh. Rindu dan cinta, selain menyiksa juga merupakan kerugian besar baginya.
Rugi yang tiada tara padahal modal untuk kembali kepada Tuhan adalah rindu dan
cinta itu, ia masih menyadarinya.
Posting Komentar untuk "Bibir Merah dari Alhambra: 4. Tuhan, Aku Lelah"