Pendekat Pedang Angin Sukma (Part 2 Senyum dan Tangis)
Bagian 2 Senyum dan Tangis
Diantar
senyum termanis dan tetesan airmata Nastiti, Akasya pun melanjutkan perjalanan
tanpa menoleh. Menurutnya menoleh akan memperberat langkah juga hatinya. Kaki
dan hatinya harus bisa ringan untuk melanjutkan perjalanan penting. Selain
memenuhi wasiat kakek guru, pesan lain kakek guru adalah demi menjaga stabilitas
negara. Salah satunya adalah menjadi pewaris Pedang Angin Sukma. Dengan begitu
lebih mudah meredam gelojak negara yang terjadi saat ini.
Keadaan sudah
darurat. Negara guncang, alam berkecamuk. Negara banyak dirundung masalah. Alam
menunjukkan sikap kerasnya. Banyak bencana di berbagai wilayah. Banjir, gempa,
gunung meletus, dan laut tak lagi tenang. Seolah-olah sangat bernafsu menerkam
daratan dan penghuninya. Wabah penyakit tak henti-henti menahun. Begitu pula
dengan keadaan politik. Gonjang-ganjing fitnah tersemai merata. Media massa
memperburuk keadaan terutama media digital. Oleh karena itulah Akasya
diperintahkan turun gunung untuk melibatkan diri setidaknya menemukan pedang
angin sukma sesegera mungkin agar angin dapat dikendalikan.
Dalam perjalanan,
walaupun ketika berangkat Akasya berjanji kepada hatinya untuk tidak menoleh,
tapi wajah Nastiti ada di lapisan matanya. Senyumnya ada dalam hatinya.
Kelembutan perilakunya seperti menari-nari dalam hatinya bahkan tatapan
tajamnya memenuhi pikirannya. Sungguh, pertemuan singkat itu telah membuatnya
sedikit luka di bagian hatinya.
“Hanya ini
yang bisa Dinda berikan Kanda.” Nastiti mengenakan gelang ke lengan Akasya.
Gelang yang terbuat dari untaian manik-manik berwarna hitam. Gelang itu gelang
Nastiti. Ia lepas dan dipasangkan ke Akasya.
“Karena Kanda
tidak mengijinkan Dinda ikut, biarlah gelang ini yang menemani Kanda.
Setidaknya biar Kanda ingat bahwa di sini, Dinda menunggu Kanda!”
Peristiwa
singkat itu masih saja teringat bahkan berulang-ulang tak henti di kepala
Akasya sementara perjalanan masih sangat jauh. Dalam hatinya, ia berniat akan
memenuhi janjinya kembali ke Kroya menemui Nastiti.
Sesuai dengan
petunjuk kakek guru, Akasya tidak boleh melewati kota. Ia juga tidak boleh
mengendarai apa pun. Ia harus berjalan kaki. Sebagai bagian dari penyempurnaan
ilmu kanuragannya.
Ia juga telah
disiapkan kakek guru sebuah peta karya tangan kakek guru. Memang benar, tak
satu garis peta pun yang melewati kota. Kesemuanya melewati gunung-gunung.
“Ketika kamu berjalan
dan melewati gunung, maka gunung akan memberimu penghormatan, maka dahuluilah
menghormatinya. Ucapkan salam dan sapaan terbaik untuk mereka ketika
mendekatinya. Dan ucapkan salam pertemuan kembali ketika kamu akan
meninggalkannya.” Pesan kakek guru.
Titik awal
pemberhentiannya, di desa Jasinga. Kini ia melanjutkan perjalananannya ke arah
gunung Padang. Butuh sekitar tujuh hari berjalan kaki jika tidak ada halangan.
Kelak di gunung Padang itulah tempat perhentian kedua, tapi tentu bukan gunung pertama
yang akan dikunjungi. Entahlah mengapa kakek guru mewajibkan mengunjunginya.
Apakah ada sangkut pautnya dengan pedang emas yang kakek guru wariskan? Semua
masih tanda tanya. Mungkin dalam perjalanan akan terjawab sedikit demi sedikit.
Setiba di gunung
Padang, sesuai perintah kakek guru, Akasya mengucap salam dan menyapanya.
“Salam sejahtera gunung Padang, mohon ijin aku akan mengunjungimu. Semoga
engkau berlapang hati menerima kedatanganku.”
Akasya tiba
di lereng gunung Padang hampir malam. Ia harus beristirahat semalam. Ia
bertanya kepada salah seorang penduduk yang ditemui untuk mencari penginapan
sementara. Kembali ia bertemu dengan orang baik, namanya Ki Suraos. Ki Suraos
mengantarnya ke rumah kepada dusun.
Setelah
sejenak mengenalkan diri dan saling berkenalan, setelah bersantap malam, Akasya
dipersilakan kepala dusun dan diantar ke kamar untuk beristirahat.
Ketika tidur,
kakek guru hadir dalam mimpinya. Dalam mimpi itu kakek guru tersenyum tanpa
sepatah kata. Ia hanya menyerahkan daun kenanga kepadanya. “Bawalah ini untuk
menemanimu di jalan sekaligus sebagai petunjuk jalanmu!”
Akasya
terbangun. Ia segera bersiap melanjutkan perjalanan. Ia pamit kepada kepala
dusun juga kepada Ki Suraos. Kepala dusun mengantarnya hingga pekarangan.
Akasya tanpa menoleh kemudian melangkah pergi.
Dalam
perjalanan, Akasya diikuti oleh seekor burung besar sejak keluar dari
pekarangan rumah kepala dusun. Ia mengira mungkin hanya burung yang sedang
lewat untuk mencari makan.
Ia teringat
mimpinya, tapi ia menganggapnya mungkin sedang teringat kakek guru. Atau kakek
guru sedang merindukannya.
Setelah
melewati satu desa, ia baru sadar kalau ternyata burung itu masih di atasnya.
Burung itu seperti sedang mengikutinya bukan sedang mencari makan atau sekedar
lewat.
Akasya
berhenti sejenak di bawah pohon rindang. Ia menengadah ke langit. Dipandangnya
burung itu juga sedang berhenti melaju, ia hanya mengepakkan sayap. Akasya
merasa aneh dengan bahasa tubuh burung itu.
Setelah cukup
menatap burung itu dengan penuh tanda tanya, ia melanjutkan perjalanan. Kembali
burung itu juga kembali bergerak di atas kepala. Burung itu tinggi, tapi tepat
di arah kepala Akasya. Sesekali Akasya mendongak memandang ke arah burung di
atasnya kemudian kembali berjalan.
Ia merasa
sedang diikuti. Akasya pun berhenti. Ia penasaran dengan tingkah burung itu. Ia
mencoba berbicara dengan agak keras. “Apakah kamu mengikutiku?”
Burung itu
malah memutari tempat Akasya berdiri. “Angkatlah tangamu ke langit!” Seperti
ada bisikan kakek guru. Akasya pun mengangkat tangan kanannya. Ternyata burung
itu turun menukik dan kemudian hinggap di tangan Akasya.
Akasya pun
mencari tempat teduh di bawah pohon rindang. “Aku tidak punya makanan, tapi
mengapa kamu mengikutiku?”
Burung itu
hanya menggerak-gerakkan kepala dan kakinya di tangan Akasya. Jangan-jangan ada
hubungannya dengan mimpi semalam, pikirnya. “Bawalah ini untuk menemanimu dan
sebagai penunjuk jalan.” Tapi dalam mimpi itu daun, bukan burung!
“Baiklah,
terima kasih burung besar, kamu sudah sudi menghapiriku!” Aneh juga rasanya
memanggilnya dengan burung besar, kemudian Akasya memberinya nama Jatayu. “Kamu
kuberi nama Jatayu ya!” Kembali burung itu mengangguk dan melompat-lompat kecil
di tangan Akasya.
Jatayu
kemudia melesat tiba-tiba. Tidak berapa lama, Jatayu kembali membawakan Akasya
buah mangga masak.
“Wah, luar
biasa kamu Jatayu. Kupikir kamu pergi begitu saja. Ternyata kamu pergi dan
kembali hanya untuk mengambilkanku makanan. Sungguh luar biasa. Mari kita makan
bersama, tapi apa kamu suka dengan mangga?”
Mereka pun
memakan buah mangga itu bersama. “Ternyata kamu makan buah juga. Kupikir kamu
hanya akan makan ikan.”
Akasya
teringat sesuatu.
Waktu masih kecil, ia melihat kakek guru berbicara dengan burung. Tidak
seberapa ingat bentuk burung itu, tapi kalo warnya sama seperti Jatayu. Apakah
Jatayu utusan kakek guru? Baiklah,
terima kasih Kakek, Jatayu sudah bersamaku, batinnya.
Bagian 1 dapat dibaca di sini:
https://www.cocokpedia.net/2021/10/pendekar-pedang-angin-sukma-part-1.html
Posting Komentar untuk "Pendekat Pedang Angin Sukma (Part 2 Senyum dan Tangis)"