Rumah Tanah dari Cinta
“Aku ingin meninggal di pangkuanmu!”
Bisik Yos kepada Za ketika menggunjingkan malam kepada Tuhan.
Dua
manusia yang saling mencinta, Yos dan Za atau juga dua manusia yang saling
berseteru itu sebenarnya tidak tahu. Lebih tepatnya semua manusia tidak tahu
apapun. Yang mereka tahu, bahwa yang manusia tahu adalah pinjaman dari sang
Mahatahu. Terlebih tentang takdir atas akhir dari bab per bab cerita dari
manusia.
Ketika
menjalani pagi, Yos menjemurkan kulitnya pada hari di depan rumah sambil
melihati orang-orang lalu lalang ke jalan kematian. Sungguh mereka tidak pernah
tahu bahwa akhir dari lalu lalang mereka adalah kematian bahkan bayang-bayang
mereka yang melekat pada tanah ketika hidup pun akan lenyap. “Dan aku telah
memiliki cita-cita kematian yang syahdu, mati dalam pangkuannya!”
Iya,
benar. Itu gagasan dan itikad yang jitu. Banyak orang mencita-cita kehidupan
yang baik, tapi sangat sedikit orang yang meniatkan kematiannya dalam keadaan
baik. Kembali ke tanah juga. Manusia terlahir tidak bisa memilih dari rahim atau ibu yang mana. Manusia terlahir
begitu saja dengan terpaksa pun di tanah negara apa. Manusia tidak bisa memilih
waktu kapan ia harus terlahir. Ketika kelahirannya tidak bisa memilih, harusnya
keadaan dan waktu kematiannya bisa dipilih dengan baik.
Kita
banyak hutang kepada tanah. Dari tanah manusia makan, di tanah rumah manusia,
tanah menjadi pilihan Tuhan sebagai bahan prototype manusia, dan sebagainya.
Tanah tempat menjalani takdir kehidupan. Tanah tempat sirkulasi air. Tanah
tempat yang baik menyimpan api. Tanah tempat yang cukup seberapa pun banyak
jumlah penghuninya bahkan dari saripati tanah, kelangsungan manusia terjaga.
Kita
banyak hutang kepada tanah. Tanah banyak memberi. Tanah tempat kesabaran tak terbatas.
Ialah yang menampung semua kotoran manusia. Ia juga yang menampung seluruh
perilaku mereka, tapi Tuhan menagihnya dengan murah hanya berupa sujud.
“Aku ingin meninggal di pangkuanmu!”
Yos juga berbisik kepada tanah tempat
kembalinya yang syahdu. Ia berpikir keras sikap terbaik apa yang akan
diberikannya kepada tanah. Dalam kemesraan di pangkuan Za, Yos hanya terdiam
lama, memikirkan cinta tanah kepada mereka berdua.
“Kita
telah hampir kembali menjadi tanah, sungguh syukurku besar karena dipertemukan
denganmu!” Yos memandangi Za dengan linangan air mata.
“Iya
Mas. Tak sia-sia apa yang kita perjuangkan!” Za menebali.
Di
atas rerumputan hijau, bawah pohon beringin yang rindang, Yos menyerahkan
hidupnya di pangkuan Za. Sungguh damai tanah, pohon, dan angina yang menyertai
mereka.
“Inilah
sastra itu, Dik!”
“Iya,
Mas.”
“Mau
apalagi kita? Selain yang sudah Tuhan berikan? Aku sudah merasa cukup di sini
bersamamu karena cita-cita teragungku adalah meninggal dalam pangkuanmu!”
Za
pipinya memerah. Senyumnya menandingi pagi. Dadanya terasa cukup terisi udara.
Pemandangan Yos dan Za sekilas mirip dalam adegan film Hindustan. Romantis.
Andai ada hujan mereka pasti saling berkejaran sengaja menghunjani tubuh mereka
dengan kenikmatan air.
Yos
mengambil segenggam tanah, tanpa rumput. “Inilah kita sejak awal dan hingga
akhir!”
Za
hanya menganggukkan kepala.
“Apakah
di surga ada tanah?”
“Entahlah!”
“Jikalau
ada, apakah tanahnya sama dengan tanah kita?”
“Juga
entahlah!”
“Apakah
kelak ketika kita dibangkitkan juga seperti kecambah di tanah ini?”
“Tidak
perlu dijawab, kan?”
“Iya,
kok tahu? Mas sepertinya sedang bertanya yang tak butuh jawaban!”
“Sepertinya
kematian yang dapat membuktikannya!”
“Jangan
dulu, Mas. Surga kita masih baru mulai. Kita jalani surga dengan jenis tanah
ini bersama-sama dulu.”
“Baiklah,
aku setuju!”
“Ada
lagunya lho. Orang bilang tanah kita
tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman.” Yos pun bersenangdung
seperti sedang memanggil hujan.
Mereka
berdua menatap langit dari celah dedauna.
“Kamu
tahu apa yang akan kukatakan?” Tanya Za.
“Apa.
Katakan!”
“Langit
tak pernah meminta jasa walau telah memberi bumi hujan. Seperti itulah cintaku
padamu!” Mata Za menatap dalam-dalam Yos yang dalam pangkuannya.
“Hmm,
iya. Indah sekali kalimatmu sayang! Belajar dari aku ya?”
Mereka
pun tertawa. Yos menjawab pernyataan Za hanya dalam hati: begitu pula denganku
Za, tak ada cinta yang setulus ini selama aku hidup dengan banyak perempuan
sebelumnya.
Yozuki kah?
BalasHapuskok tau?
BalasHapus