Dosa Lebih Menarik untuk Diingat
Pagi itu suasana hari sangat cerah. Minggu yang bersinar. Waktu yang
tepat untuk nongkrong dan membincangkan sesuatu di warung kopi Mak Jum,
langganan Badrul dan para sahabatnya. Tempatnya cukup strategis di tengah kota.
Cukup menghibur mata dengan lalulalangnya para pekerja swalayan yang
cantik-cantik.
Obrolan pertama saat seruputan kopi pertama berupa pertanyaan dari
Badrul.
“Aku mau tanya padamu. Jawablah dengan jujur. Sejujur-jujurnya.”
“Mau tanya apa? Tumben seserius ini?” Bali tanya Suki. Sahabatnya yang
lain menikmati kopi dan gorengan yang masih mengepul. Ada tahu goreng, ada
pisang goreng, dan tentu tempe juga.
“Mana lebih sering kamu mengingat dosa dibanding dengan mengingat
kebaikan?” Tanya Badrul ke beberapa sahabatnya. Sahabat pertama yang ditanyai kala
itu adalah Suki. Sahabatnya yang lain serentak menoleh ke arah Badrul.
Suki menjawab: “Dosa, Drul!”
Pertanyaan yang sama kemudian ditanyakan ke sahabat kedua. Bagio.
“Dosa. Drul!” Jawab Bagio.
Pertanyaan berikutnya pula ke sahabat-sahabatnya yang lain secara
bergiliran. Mamat menjawab dosa. Padli juga dosa bahkan Mak Jum tak luput dari
pertanyaan dan menjawab dosa pula. Mereka semua menjawab Dosa.
Belum puas dengan hanya bertanya ke beberapa sahabatnya, Badrul
membuat angket. Angket tersebut ia sebar ke beberapa grup WA yang ia miliki. Ia
menggunakan google chat form. Ia
sebar juga ke beberapa grup FB dan komunitas. Jawaban dari semuanya adalah
DOSA.
Apakah ini kebetulan atau hal yang manusiawi? Tanyanya dalam hati. Begitu
pula dengan dirinya, antara dosa dan amal yang lebih melekat dan
diingat-diingatnya adalah dosa. Ia pun kemudian bertanya kepada isterinya
sebagai penentu semua pertanyaan yang sama itu. Isterinya pun menjawab: dosa.
Ia tidak bertanya ke kedua anaknya karena Badrul menganggap bahwa mereka belum
saatnya dilibatkan dengan pertanyaan aneh itu.
Sepertinya dosa lebih menarik untuk selalu diingat secara alamiah.
Sama seperti mengingat keindahan perempuan, batinnya. Mengingat seorang
perempuan cantik memicu detailnya. Begitu pula dengan dosa, mengingat satu
dosa, ibarat melihat rekaman film. Beigut tampak dan nyata bahkan rinci.
Menurutnya, ini bukan kebetulan lagi karena seratus persen mereka
menjawab: dosa. Mungkin karena itu mereka semua disebut manusia, bukan keledai.
Dosa hanya dilekatkan dengan sifat manusia sedangkan perilaku keledai sejahat
apapun tidak akan disebut dosa. Hmm.
Pikiran Badrul menjadi kompleks. Ia jadi teringat hal tentang
listrik. Yang mengeluarkan setrum hanya kabel negatif. Dosa ibarat kabel
negatif. Tanpa kabel negatif, tak akan ada listrik. Tak ada cahaya, bunyi,
gerak, magnet yang terjadi. Begitu pula dengan dosa. Sejak lahir manusia
bergantung pada kesalahan dan dosa. Karena itulah manusia menjadi lebih baik
atau menjadi iblis. Itulah yang membuat semesta bekerja. Kira-kira begitu,
simpulan Badrul sementara dalam hati.
Badrul pernah mengeluhkan tentang dosa-dosanya kepada sahabatnya.
Sang sahabat malah membuat joke dengan pertanyaan begini.
“Kamu pernah kehilangan sesuatu yang besar?” Tanya sahabatnya.
“Pernah!”
“Kehilangan apa?”
“Mobil!”
“Bukankah kamu selalu mengingatnya?”
“Iya benar!”
“Kalau kamu selalu mengingatnya itu artinya mobil itu benar-benar
hilang!”
Atmosfer sejenak terhenyak. Badrul terdiam seperti sedang mengunyah
kalimat sahabatnya di dalam mesin otaknya. Ia mencoba membuat garis penghubung
tentang kehilangan mobil dan dosa. Udara terasa berhenti. Seluruh gerak di alam
terasa beku menunggu koneksi antara kehilangan mobil dan dosa yang dikunyah
otak Badrul. Kemudian suasana pecah lagi.
“Sama dengan dosa yang selalu kamu ingat, Drul. Itu artinya Tuhan
telah memaafkanmu. Dosamu benar-benar hilang!” Lanjut sang sahabat.
“Benarkah?” Badrul sangat antusias hingga menolehkan wajahnya.
Kalimat itu seperti selintas menyejukkan hatinya.
“Tidak!”
Badrul nyaris terhibur. Mereka pun tertawa.
“Dosamu tetap dihitung walaupun sudah diampuni!”
Kembali mereka tertawa sedikit terbahak.
Beberapa saat setelah tawa mereka berhenti dan beberapa saat hening,
Sang sahabat –yang dirahasiakan namanya- tiba-tiba mengeluarkan kalimat dari mulutnya.
“Harga satu dosa lebih mahal daripada sepuluh kebaikan!”
Badrul tersentak. “Wah, keren kalimatmu! Sepertinya kamu seorang
pengepul dosa!”
Mereka tertawa lebih keras bersama. Sepertinya mereka sedang
menertawakan diri mereka masing-masing. Lebih baik menertawakan diri sendiri
daripada diam-diam hati membicarakan kejelekan orang lain, batinnya.
“Apakah dapat disimpulkan bahwa semua manusia berdosa?”
“Ya. iyalah, Drul! Tak mungkin manusia mengenal kebaikan sebelum
mengenal dosa!”
“Kalimatmu ini masuk akal, cuma kadang toksit!”
Mereka tertawa sambil keduanya menutup mulut mereka dengan satu
tangan. Mirip tertawa yang ditahan di emoticon
WA.
“Mengingat-ingat dosa berbanding lurus dengan mengingat ke-Maha-PengampunanNya!”
“Sepertinya ini benar, tapi masih bisa menyesatkan!”
Emoticon menutup mulut menahan tawa kembali muncul. Hahaha!
“Sering-sering mengingat dosa, itu tanda ada kebaikan dalam dirimu!”
“Ah, aku tak mau terjebak dengan kalimatmu lagi!”
“Loh, ini benar, Drul. Itu artinya ada potensi kebaikan dalam
dirimu!”
“Nah, kalau ada kata ‘potensi’ aku masih bisa terima!”
“Tapi, ada satu hal yang sangat penting diingat, Drul!”
“Apa itu?”
“Jangan pernah main-main dengan kata-kata!”
“……………..”
Posting Komentar untuk "Dosa Lebih Menarik untuk Diingat"