BIANG-KARA
Oleh Moh. Rasul Mauludi
Pernah terjadi ketidaknyamanan di suatu pasar kecamatan. Para
pedagang mengeluh selalu ada yang hilang di antara barang jualannya yang
ditinggalkan saat toko atau kiosnya tutup. Setiap hari ada keluhan dari satu
pedagang hingga pedagang lainnya. Akhirnya, petugas berusaha mencari penyebab
dari hilangnya barang-barang para pedagang. Kemudian, biang pencurian ditemukan
oleh petugas keamanan pasar. Ternyata si Fulan biangnya yang setiap hari dengan
gaya meminta-minta sambil membawa kaleng kecil pada setiap orang di pasar.
Setiap malam minggu selalu ramai lalu lalang anak-anak muda di
jalanan hingga pusat keramaian di kota. Kebiasaan para pemuda tersebut, mungkin
hanya jalan-jalan, berkumpul, begadang hingga larut, dan sebagainya. Di suatu tempat
keramaian, selalu terjadi kericuhan dan keributan sesama pemudanya. Usut punya
usut, ternyata biang keroknya adalah si Fulan yang biasa mabuk dan mengganggu
ketertiban yang lain.
Dalam kehidupan sosial, dipastikan selalu ada gesekan antar sesama.
Baik itu dilakukan oleh individu ataupun kelompok. Gesekan yang umum terjadi
adalah tempat-tempat keramaian. Seperti halnya pasar, terminal, stasiun, dan
lainnya yang menjadi kesempatan bagi manusia yang ingin berbuat kejahatan.
Dari persoalan yang ada dalam gesekan itu menimpa berbagai kalangan.
Mulai dari remaja bahkan kelompok tua lebih parah dari yang muda. Masalah yang
ditimbulkan, sering dilakukan oleh yang berkelompok. Kelompok tersebut
dipastikan ada komandonya yakni pimpinan kelompok. Gesekan yang terjadi bisa
berupa keonaran, keributan, kericuhan, dan sebagainya yang dilalukan bawahan
pimpinan kelompok. Pimpinan kelompok itulah biang onarnya.
Pada tatanan birokrasi, masalah korupsi menjadi persoalan klasik
yang tiada henti dan tiada menemukan penyelesaian yang menjanjikan. Karena
perbuatan korupsi, sepertinya sudah mendarah daging pada oknum-oknum dan itu
mampu turun-menurun dan dari segala bidang yang disentuh. Pertanyaannya,
siapakah biang korupsi itu!? Entahlah.
Biang-kara, penulis memaknainya sebagai biang keangkaramurkaan
manusia dalam kehidupan, siapapun manusia itu. Biang kerok, biang onar, biang
keladi, dan biang lainnya yang sandarannya bersifat tidak baik bagian dari
biang-kara kecuali biang keringat dan bianglala.
Biang yang indah hanyalah bianglala. Ia indah dengan warna-warninya
yang bisa dimaknai dengan perbedaan warna tidak menjadi persoalan. Ia memesona
dengan warna-warninya. Perbedaan menyatu dalam satu keindahan pelangi.
Namun, biang-kara harus bertolak belakang dengan bianglala. Biang-kara
selalu meresahkan, sementara bianglala selain indah dilihat, ditulispun lebih
indah dan mengasyikkan.
Posting Komentar untuk "BIANG-KARA"