Uang Butuh Kita
Seorang teman, sebut saja namanya Nelongso, datang ke
seorang teman bernama Subur. Ia bilang mau pinjam uang. Subur menjawab: ‘Maaf
ya, belum ada. Aku mau beli mobil.” Dalam hati Nelongso berbicara: ‘katanya
tidak punya uang, kok malah mau beli mobil?’ Apakah kebutuhan pinjam uangnya
sebesar harga mobil?
Kembali Nelongso mendatangi teman lain, namanya Pengu.
Pengu menjawab: aku ada, tapi buat beli kamera. Nelongso kembali mencari
teman-temannya yang ia kira bisa bantu meminjaminya uang. Nihil, tak satu pun
ada yang punya uang. Kembali dalam hatinya berbicara: ketika aku mau pinjam
uang, mereka bilang tidak punya uang. Semoga tidak benar-benar punya uang. Kasihan
kalau ditakdirkan tidak punya uang sungguhan.
Untuk membayar malunya sudah menempatkan dirinya sebagai
calon penghutang, ia kemudian mengambil langkah untuk tidak mempermalukan
dirinya lagi. Ia pun terlibat pinjaman online melalui aplikasi. Beberapa aplikasinya
memberinya pinjam tanpa merasa tidak enak. Benar, bunganya juga tinggi, tapi
setidaknya masih terhormat. Ia tak tahu apakah mampu mengembalikannya tepat
waktu, tapi setidaknya kebutuhannya terpenuhi kala itu.
Seorang teman lain yang sepertinya banyak memiliki uang
malah memberinya saran: ubah mindsetmu. Kita selalu dalam posisi butuh uang,
gimana kalau kita balik: uang butuh kamu. Uang butuh aku. Uang butuh kita. Teman
yang banyak uang itu serasa ringan memberi nasihat kepada Nelongso, tanpa
beban. Seolah-olah ia telah memberikan bantuan, tapi bagi Nelongso saat itu, ia
tidak butuh nasihat. Yang mendesak baginya adalah uang.
Uang telah menjadi kendali ekonomi masyarakat. Semua terlibat
dan terikat dengan uang. Uang dapat menaikkan dan menjatuhkan martabat
seseorang. Uang dapat mencelakai siapapun. Uang dapat menghibur dan
menyenangkan. Dengan uang dapat membeli barang apapun, benda apapun, bahkan
membeli manusia. Dengan uang jabatan, pangkat, kehormatan, kejayaan, kekuasaan,
dapat dibeli dengan mudah.
Mengapa uang tiba-tiba menjadi dewa? Mengapa seseorang
tidak bisa hidup tanpa uang? Bukankah uang hanyalah kertas dan angka digital? Mengapa
seperting itu padahal ketika kita sobek, ia tidak lagi berharga. Ketika kita
mati pun ia tak berharga.
Ada uang, Abang disayang. Tak ada uang, Abang ditendang. Begitu
celotehan seorang lonte, si pemburu uang. Uang baginya benar-benar dewa yang
menyematkan dan merawat hidupnya. Uang telah menjadi tuhan ciptaan bahkan jadi
monster mengerikan. Semakin dikejar, si uang menjauh. Tidak dikejar, ya tidak
punya uang. Hahaha.
Demikian sedikit tentang uang. Nasihat teman tentang:
uang butuh kita, memang tepat ketika kita berposisi banyak uang. Untuk situasi
mendesak, tidak seketika ada uang dengan mantra seperti itu. Bagaimana kalau
kita ubah, uang dan kita saling membutuhkan? Hahaha. Lucu.
Posting Komentar untuk "Uang Butuh Kita"