KISAH PICO DAN TINTRANA
Pico adalah seorang fotografer muda.
Traveling potretnya pertama kali yang ditugaskan kepadanya adalah suku Monte
pedalaman. Lokasi tepatnya ia baru tahu melalui google maps. Berdasarkan data
yang ditunjukkan peta, kotanya, Honu ke Monte berjarak 10000km jika ditarik
garis lurus. Ia disyaratkan tidak boleh menggunakan transportasi udara. Harus
darat. Dengan alasan, agar ada rekam jejak dari kotanya hingga ke Monte yang
bisa ditunjukkan ke direktur penerbitnya.
Dimulailah perjalanan itu sehari
setelah surat tugasnya diprintout. Tujuh
hari kemudian ia pun sampai di pintu gapura Desa Monte pedalaman dengan panduan
aparat keamanan kabupaten Kota Rimbu. Pintu gapura Monte hanya berupa tumpukan batu sebelah
setinggi orang dewasa. Batu bersusun dari batu halus, mirip batu sungai. Bukan
batu karang atau batu gunung.
Dengan langkah santai seperti
memasuki sebuah desa lain, ia langsung menuju pusat keramaian. Ia mengincar
objeknya. Seorang gadis berkulit coklat hampir telanjang hanya bagian dada dan
vitalnya yang tertutup kain kuning. Beberapa aksesoris ada di bagian kepala
seperti mahkota tapi terbuat dari akar pohon. Di telinga ada serupa anting tapi
lebih mirip taring harimau. Bagian lehernya melilit serupa kalung terbuat dari
manik-manik biru. Juga pada pergelangan tangannya tampak serupa gelang lilitan
kain berwarna merah.
Dengan lensa telanya, ia berusaha
menjaga jarak dengan objek agar dapat momen terindah. Cekrek, cekrek, cekrek! Beberapa jepretan sudah ia dapat. Tampak ia
tersenyum. Tanpa ia duga, entah dari arah mana, ada suara keras mengenai
kepalanya yang membuatnya tak sadarkan diri.
Ketika ia siuman, ia terkaget-kaget.
Ia melihat dunia sudah terbalik. Ia mengira hanya mimpi. Setelah beberapa
cambukan keras mengenai dadanya, ia baru sadar kalau dirinya dengan dicancang
dengan tubuh terbalik. Ia dihukum dengan diikat kedua kakinya ke dua tiang
batu. Ia berteriak minta tolong. Ia meraung, tapi semua orang tak mengerti apa
yang ia katakan.
“Bele hu tate nyang rang kiteka?” (apa ada yang paham yang dia katakan? Bahasa
Suku Monte, Red).
“Iko mulaye!” (saya yang mulia).
Seorang laki-laki muda datang
menghormat kepada kepala suku dan menyatakan mengerti bahasa si fotografer.
(Kisah nyata ini selanjutnya secara keseluruhan akan menggunakan bahasa
Indonesia untuk memudahkan dicerna).
“Apa yang dia katakan?” Tanya kepala
suku kepada Sube, pemuda yang paham bahasa Indonesia.
“Dia minta tolong. Minta dilepaskan.
Dia tidak merasa bersalah!”
“Pengawal, cambuk dia lima kali
dengan bertenaga!” Perintah geram kepala suku. Lima cambukan mendarat dan
membuat bekas hitam di dada Pico.
“Siapa namamu? Siapa yang mengirimmu
ke Monte? Apa tujuanmu?”
“Saya Pico. Saya hanya fotografer
majalah. Saya diperintah bos saya untuk mengambil beberapa gambar di sini.
Tolong, lepaskan saya. Ini negara hukum!”
“Kamu tahu telah melakukan salah
besar apa?”
“Saya tidak merasa bersalah! Tolong
lepaskan saya!”
“Pengawal, cambuk sepuluh kali!”
Pico mengerang tiap kali cambuk itu
mengangkat kulitnya hingga lepas.
“Ampun, tolong saya! Lepaskan saya!”
Ia mengerang. Ia seperti dikuliti dengan cambuk itu.
“Salahmu kamu tidak meminta izin
datang ke Monte. Kamu tidak menghadapku. Dan, salah besarmu, kamu telah
mengambil gambar anak kepala suku Monte, anakku!”
“Iya, saya mengaku salah tidak
meminta izin terlebih dahulu, tapi tak seharusnya saya dihukum seperti ini!”
“Kamu telah melanggar adat. Kamu
pantas dibunuh!”
“Ampun, maafkan saya!”
“Aku siapamu sehingga aku harus
memaafkanmu untuk dua kesalahan besar yang kamu lakukan?”
“Maafkan aku Tuan, ampun. Mohon
lepaskan saya!”
Dalam kode etik adat suku Monte,
baihan (orang suku luar) harus meminta izin masuk pusat suku Monte dengan
beberapa ritual tertentu. Antara lain, meninggalkan kuku jempot tangan kanan
dengan cara dicabut ikhlas. Hal itu sebagai tanda bahwa baihan telah dengan
rela hati dengan niatan tulus serta menjunjung adat suku Monte untuk menjadi
bagian keluarga suku. Kesalahan Pico yang fatal adalah ia telah mengambil gambar manusia,
memotret suku Monte. Hal itu
pantangan keras bagi suku Monte sendiri apalagi baihan. Menurut keyakinan
mereka, pengambilan gambar tersebut dapat mengurangi masa hidup manusia suku
Monte. Lebih-lebih yang diambil gambarnya adalah puteri dari kepala sukunya.
Sungguh itu pelanggaran berat yang hanya dapat ditebus dengan nyawa.
“Kamu hanya akan kami lepas dengan
satu syarat!”
“Iya saya bersedia. Apa itu?”
“Kamu harus meninggalkan jantungmu
di sini!”
“Ampun, maafkan saya! Saya tak akan
mengulanginya lagi!”
“Kau telah mengambil sebagian ruh
anakku, kesayanganku! Dengan apa kamu bisa mengembalikannya?”
“Tuan dapat menghapus foto di kamera
saya!”
“Pangawal, cambul duapuluh kali!”
Pico pingsang dicambukan ke sepuluh,
tapi duapuluh cambukan tetap dilaksanakan pengawal sesuai perintah kepala suku.
Beberapa waktu kemudian, Pico diguyur dengan air agar siuman.
“Kumpulkan jerami!” Teriak kepala
suku. Semua warga bergesa menuju penampungan jerami. Jerami itu diletakkan
mengelilingi Pico yang digantung terbali. Setelah tergelar tumpukan jerami,
kepala suku menyalakan obor. Ia kemudian mendekatkan diri ke arah Pico.
“Apa yang ingin kamu katakan untuk
terakhir kalinya?”
Pico menangis. sedunya mengguncang
tubuhnya.
“Baiklah, kalau tidak ada lagi, kamu
kubakar!”
Saat kepala suku Monte mendekatkan
api obor ke jerami, tiba-tiba Tintrana, puteri kesayangannya memasang badan. Ia
mencoba menghalangi obor menyentuh jerami.
“Tintrana, apa maksudnya ini?”
Kepala suku kaget bukan main.
“Aku tidak mau dia mati!”
“Dia telah melanggar adat. Dia orang
luar yang merusak hukum kita. Dia mencemarkan suku kita. Mencoreng wajah
ayahmu!”
“Iya, benar. Dia memang salah, tapi
hati Tintrana mengatakan ia manusia baik, tak pantas menerima hukuman ini!”
“O, begitu. Jadi kamu juga mau
mempermalukan ayahmu?”
“Bukan begitu Ayah. Saya hanya
kasihan.”
“Pengawal, cambuk dia limapuluh
kali!”
Suasana malam itu menjadi senyap.
Sang pengawal juga senyap tanpa suara dan gerakan.
“Pengawaaaal!”
Sang pengawal ambruk lututnya
menyentuh tanah. Cambuknya lebih dulu mencium tanah. Ia siap menerima hukuman
kepala suku. Kepala suku tambah geram. Ia menghunuskan sebilah pedang, siap
ditebaskan. Lagi-lagi Tintrana mengarahkan lehernya ke mata pedang ayahnya.
Leher Tintrana menahan tebasan pedang itu.
Sang ayah bersimpuh malu. Ia meminta
pengawal melepaskan Pico dan mengusir puterinya sekaligus malam itu. “Sejak
malam ini, kau bukan lagi anakku! Pergilah sesukamu. Kamu tak ada lagi hubungan
dengan keluarga ini!”
Tintrana menangis mencoba memeluk
ayahnya. Ia berusaha memohon ampunannya. Keputusan telah dibuat. Ludah sudah
terlanjur menyentuh tanah. Warga menyeret Tintrana keluar gapura suku Monte
dengan tangisan. Sementara Pico diseret dan dilempat keluar gapura.
“Jika setapak saja kamu masuk ke
garis ini, aku tak segan-segan membunuhmu!” Sang ayah membuat garis lurus dan
tegas di garis gapura. Suku Monte pun kembali ke rumah masing-masing dan
mematikan obor seluruhnya sebagai tanda duka yang dalam.
Tintrana mencoba membopong Pico.
Membantunya berjalan hingga jalan besar sejauh 10km jalan kaki. Sepanjang
banyak yang membantu mereka walau sekedar pengobatan ringan dan sebotol air.
Pico pun berangsur membaik.
“Nama saya Pico!”
“Saya Tintrana!”
“Maafkan saya telah membuat kamu
menderita dan kehilangan keluarga!”
“Saya yang minta maaf atas perlakuan
ayah saya dan warga suku!”
“Saya yang salah!”
“Kami juga salah!”
Tintrana mengikuti Pico hingga ke
kota Honu. Ia merawat Pico hingga benar-benar sembuh.
“Maukah kamu menjadi suamiku agar
aku bisa merawatmu dan anak-anakmu kelak?” Tanya Tintrana.
Pico terkejut. Seharusnya ia yang
lebih dulu menanyakannya. Tintrana sudah mempertaruhkan nyawa dan keluarganya
untuk Pico. Sepantasnyalah Pico menaikkan derajat Tintrana menjadi isteri.
Ternyata situasi buruk dapat
menjadikan perantara cinta keduanya. Mereka kemudian menikah. Putera pertama
mereka diberi nama yang sama dengan ayah Tintrana, Lokko. Dengan tambahan nama
Pico dan Tintrana, anak itu bernama lengkap Lokko Tintra Picana.
Posting Komentar untuk "KISAH PICO DAN TINTRANA"