Tono
Karya Rochlah
Jam menunjukkan pukul 5 pagi, lamat-lamat dari surau kecil diujung desa terdengar suara renta membaca "Yaa hayyu yaa qayyuum laa ilaaha illa anta" pertanda jama'ah subuh masih menunggu para makmumnya. Setiap pagi selalu suara itu, bahkan sebelum aku lahir, kata emmak. "Spekernyapun hampir sesepuh dia" begitu selalu gurauan bapak sebab suaranya yang sering hilang tiba-tiba.
Aku bersiap
mengemas seluruh barang yang kuperlukan, bapak mulai menghangatkan motor tuanya
dan duduk dengan sencangkir kopi berduet sebatang rokok oepet.
"Cepat-cepat Ton nanti bapakmu menunggu terlalu lama" emmak memburuku
dengan setenteng plastik berisi nasi satu bungkus dan sebotol air, bekal dalam
bis nanti. Jarak dari desaku ke terminal bus cukup jauh apalagi dengan motor
yang usianya juga setua si empunya, 45 menit tidak termasuk macet di pasar
desa-desa sebelah dan lampu merah di kota.
Hari ini aku
tampil kece dengan celana jeans merk Hassenda dan kemeja panjang merk Emba yang
kutemukan dengan hokky dipasar loak, sendal jepit swallow minyak rambut gatsby.
Siap on the way!
"Nanti di
terminal tidak usah jajan, uangnya akan bapak kasih pas ongkos bis dan kiriman
satu bulan, kalau kurang tahan-tahan sedikit" kata bapak dengan asap rokok
terahirnya.
"Nggeh
pak, nanti Tono irit-irit sampai kiriman bulan depan" kataku mantab tapi
otakku sudah mengira-ngira siapa teman yang kira-kira akan bisa dipinjami kalau
keadaan kepepet. Bulan ini aku ada rencana nonton bareng teman-teman di bioskop
liburan pondok kamis tengah bulan. "Wah bisa gagal acara!" Batinku.
Emmak
menyelipkan selembar 10ribuan "ssssshhhhh jangan bilang bapakmu"
matanya berkedip teduh. Waaah lumayan buat beli minuman manis dan rokok nanti
di bungurasih.
Dari kotaku ke
pondok kira-kira 6-8 jam. Dengan transit di bungurasih yang tak bisa ditebak
durasinya. Bapak mengantarku sampai sudah pasti dapat tempat duduk dalam bis,
memastikan anak lanang satu-satunya ini tidak mencari duduk dengan wanita
bening-bening yang mulai ramai berdatangan. Sepertinya anak kuliah.
Aku dipilihkan
kursi 2 jejer dan kosong sebelah. Bapak turun dengan tenang setelah tangannya
ku sungkem.
Kulihat
knalpot motornya sudah ngebul hampir menutupi tubuh bapak sampai separuh badan.
Orang tuaku sudah 4tahun menitipkanku di pondok selepas aku tammat SMA di desa.
Sedang melamun mengingat semua itu tiba-tiba tercium aroma yang cukup menarik
perhatian.
Seorang wanita
dengan kaos panjang warna ungu dan celana jeans biru tua, rambutnya sebahu
diikat dengan rapi sedang mencari tampat duduk dan berdiri sungkan di samping
kursiku "permisi mas, boleh saya duduk disini?" Wajahnya ragu-ragu.
"Oh
silahkan tidak apa-apa mari saya bantu tasnya sepertinya berat" kataku
sambil sedikit mensyukuri keberuntunganku hari ini. Minimal aku akan terus
mencium baunya sampai 4jam kedepan. Jika ada bonus hokky aku bisa
ngobrol-ngobrol dengannya.
"Ah
rejeki tak kemana" batinku sambih nyengir. Bukan aku yang mencari, bapak
emmakku sudah benar semua dalam ikhtiar dan do'anya.
Setelah dia
beres dan meletakkan pantatnya dengan nafas lega dia terus diam tanpa secuilpun
suara. Jam 7 bis siap berangkat, kernetnya mulai bertanya tujuan masing-masing
penumpang dan penarikan tarif angkutan.
"Kemana
dik?"
"Ploso
pak"
"Nyalin
bis di bungur dik. 3000"
"Baiklah
pak tak apa" jawabku.
"Kemana
mbak?"
"Bendo
pak, pare Kediri"
"Oh sama
mbak nyalin bis di bungarasih"
"Iya
pak" dia sambil mencari sesuatu sepertinya dompet, membuka tas ranselnya
beberapa kali. Dengan tanpa pikir panjang kusodorkan uang 3000 lagi pada si
kernet, "biar saya yang bayar mbak" pamitku padanya, dia tersenyum
malu sungkan tapi mengangguk pelan, "ah manisnya" batinku, dan
seketika lupa pesan bapak, didominasi rasa kepahlawanan sebagai laki-laki yang
entah benar atau salah sudah tidak kupikirkan.
"Terimakasih
pak, eh mas. Padahal saya ada cuma lupa taruhnya di tas sebelah mana"
katanya menunduk malu.
"Tidak
apa-apa, kalau mau diganti nanti saya juga tidak menolak, gampang saja, cukup
mbak menggantinya dengan memberi saya nama". Dia tersenyum simpul, dari
samping gigi gingsulnya sedikit mengintip, benar-benar manis, akupun hanya
berani melirik. Tahun 1981 dimana perkenalan langsung lelaki dan wanita remaja
masih menjadi hal yang cukup tabu apalagi bagiku yang seorang santri. Hanya
bermodal nekad dan sedikit ingin mencari pengalaman kuberanikan diri hari itu
menjadi super hero dengan uang 3000.
"Lisa"
katanya sambil menjulurkan tangan dan menoleh sepenuhnya padaku. Untuk
sepersekian detik jantungku berhenti,
antara menerima tangannya atau mengabaikannya.
Tergugu
kuterima juga ahirnya, menghargainya juga sebuah pelajaran, batinku.
"Toni" nama yang reflek keluar dari mulutku dan kusambut tangannya,
cukup untuk sedekar merasakan betapa halus kulit lisa. Sepanjang usiaku sampai
19tahun ini belum pernah aku merasakan debar aneh seperti ini. Bahkan dulu di
SMP dan SMA aku sempat curi-curi pacaran dengan gadis bunga desa yang
diperbutkan banyak bujang. Aku yang menang tanpa sedikitpun usaha, mungkin
karena kulitku yang paling putih dan wajahku cukup tampan kata teman-teman.
Tidak seperti
saat ini, gugup mengusai tubuhku, sempat hening sejenak.
"Mas toni
sudah berapa lama di ploso?" Suaranya ditelingaku lebih jelas dari riuhnya
jalanan dan para penumpang. Lebih indah dari suara elvi sukaesih yang di stel
pak supir dalam bis. Dan panggilan Mas cukup untuk membuatku berdesir.
"Baru 2
tahun mbak, eh gimana ya manggilnya?" Mungkin wajahku memerah karena malu.
Senyum lisa mulai melebar dan memandang lurus pada mataku "lisa saja mas
sepertinya kita sepantaran" oh indah sekali suaranya sampai-sampai aku tak
sadar sudah berapa terminal kita lewati.
Aroma
parfumnya memudar, keringat sudah membanjiri kami, pacet parah disuatu pasar
dan bis ini belum ada AC-nya, sudah bercampur aroma keringat manusia dan
kotoran ayam yang dibawa penumpang dalam sebuah karung semakin mewarnai bebauan
yang kuhirup.
Kami terus
mengobrol, tidak kuperbaiki namaku tidak pula aku banyak bertanya. Aku lebih
menikmati suara indahnya bercerita, tentang apapun yang sesekali membuatnya
tersenyum dan membuat kami tertawa bersama.
Tek tek tek
"bungur bungur bungur persiapan turun" kernet dipintu bis belakang
kencang sekali mengingatkan agar para penumpang, terutama kami yang keasikan
dapat mendengarnya baik-baik.
Kuambilkan
kedua tas lisa, satu kutenteng satunya kuserahkan, kali ini bukan ingin jadi
super hero, ingin saja kulakukan, bahkan sangat ingin. Dengan bawaanku yang
tidak ringan, tas lisa tidak kurasakan bebannya. "Makasih mas"
katanya, kuanggukkan kepala, kita menjadi seperti dua orang yang sudah sangat
dekat padahal baru beberapa jam lalu saling mengenal nama. Nasi bekal emmakpun
lupa kubuka, ah kurangajar sekali!
Bangku panjang
didepan gerobak bakso itu sasaran pandanganku, berharap tas yang kubawakan
diikuti oleh si empunya. "Wah beruntungnya kau Toni hari ini"
batinku. Lisa benar-benar mengekoriku. "Mas toni di Ploso alamatnya
dimana?" Seketika aku tersentak, apakah akan kuakui bahwa aku seorang
santri? Dengan model begini kepada seorang wanita? Ah yang benar saja!
"Aku di
Pon-Pes Al-Falah di Mojo Kediri" dan itulah yang meluncur dari mulutku.
"Ooh"
lirihnya. Hanya itu yang terdengar dari bibirnya yang mungil, dan mikik muka
yang tak bisa kuraba.
"Numpang
duduk kang, es teh ada? Dua ya kang" kataku pada pemilik gerobak bakso
dengan kaos biru polos berhias selingkar keringat dibelakang.
"Siaaap!" Sahutnya dengan penuh semangat, bapak paruh baya yang pasti
sudah jungkir balik tak hanya jatuh bangun dalam jalan hidupnya, wajahnya
berseri dengan senyum khas manusia yang pada dasarnya.
"Ada
piring kang? Atau mangkokpun tidak apa"
"Oh ada
Le ada" mangkok cap ayam jago kuterima, nasi dari emmak semoga belum basi
harapku. Lisa kulirik asik melihat sekitar dengan pandangan antara aneh atau
takjub.
"Apa itu
mas? Nasi?"
"Iya,
bekal ibu yang lupa kubuka di bis karena terlalu asik meresapi aroma shampo
sunsilk dari rambut gadis di sebelahku"
"Mas bisa
saja". Pipi lisa memerah benar-benar memerah.
Dua gelas es
teh dan sebungkus nasi ibu yang selamat, sudah siap.
"Bakso
lis?"
"Ah tidak
mas terimakasih, jika boleh lisa sedikit saja ingin makan nasi itu" dia
menunjuk dengan matanya.
Tentu
sebungkus berdua akan terasa begitu mesra, bahkan kalau mungkin saja kusuapi.
"Hhhh kenapa dia membuatku merasa beguti nyaman dan mengenalnya sudah
lama" batinku.
"Tentu boleh,
nasi emmak adalah nasi terenak sepanjang aku hidup", kataku berseloroh
bangga. Tawanya pecah, "ibu akan selalu menjadi yang terbaik mas"
Seluruh
giginya terlihat, dan keindahan yang benar-benar nyata terpampang didepan
mataku, dudukku sudah berbelok penuh kearahnya.
"Ibu
jarang memberiku ijin untuk keluyuran sendiri mas, tapi kita dipertemukan tidak
dengan kebetulan tentunya, mana ada kebetulan semacam ini" tatapannya
lurus padaku, "ibu juga sangat menjaga pergaulanku, maklum mas aku anak
satu-satunya yang dia punya, maaf kalau aku sedikit kaku sebab aku tidak
terbiasa duduk-duduk ditempat seperti ini, tapi aku yakin ibu akan menyukai mas
jika saja ada suatu hari mas sedang libur dan berkenan berkunjung kerumahku di
Pare" lanjutnya, terdengar sebagai sebuah harapan di hatiku dan sebuah
nilai plus bahwa lisa berhati tulus.
Kuanggukkan
kepala disertai senyum mengembang yang tak pernah kulahirkan dengan terkpaksa,
tanpa berani menjanjikan apapun padanya.
"mau
kemana kalian?" Tanya kang bakso.
"Kediri kang"
"Wah
kalian harus bergegas, bis tujuan kediri sudah siap-siap"
Kubayar dua
gelas es teh, membeli sebungkus roti dan kacang atom dari anak kecil yang
menggendong asongannya dengan keringat membanjir, kujinjing tas lisa dan dia
tetap mengikutiku tanpa berkata apapun.
Perjalanan
dimulai, waktu 3 jam benar-benar tak terasa. "Ploso persiapan, ploso ploso
persiapan" teriak kernet bis kencang sekali.
Kami sempat
tukar alamat dan kuulurkan roti dan kacang atom untuknya. Kuletakkan tas lisa
di kursiku, kuhampiri kernet bis yang berteriak disamping pintu "pak,
kursi disebelah gadis itu akan saya bayar sampai tujuan pare" kujulurkan
uang tak peduli lagi tentang nonton bioskop dengan teman-teman atau sebagainya.
Kuhampiri lagi
lisa, setetes air jatuh dari matanya, kujelaskan dia tak usah kawatir sebab
kursi sebelahnya sudah kubayar, air matanya mengalir, tak satupun kata yang
keluar dari bibir indahnya selain kalimat "terimakasih mas toni,
terimakasih sudah menjagaku sepanjang jalan"
Bis berhenti,
segera kulangkahkan kaki cepat-dan kusempatkan tersenyum kepadanya, rambutnya
dihempas angin, leher jenjangnya menegang sebab tangisnya, dan kalung salib
yang menggantung di leher indahnya sedikit terbawa gerak lisa yang mulai
sesenggukan.
Tak sempat
kulambaikan tangan, bis selalu terburu-buru bahkan kadang segera nge-gas
sebelum kedua kaki penumpangnya belum benar-benar tegak memijak.
Posting Komentar untuk "Tono"