Bahalwan dan Patma
Tiap
hari, tiap kali aku lewat di depan rumah Bahalwan, selalu kudengar
pertengkaran.
Seperti
koran saja. Ini akibatnya, kalau para pemimpim bermusuhan. Jadinya rakyat juga suka bertengkar. Tragedi di
Aceh, Jakarta, Maluku, Poso, dan Kalimantan hanyalah teladan dari fakta-fakta itu. Pemimpin
bangsa ini memang kehilangan kemaluannya {rasa malu). Itu juga yang membuat Bahalwan bertengkar dengan
isterinya.
Bahalwan
adalah
seorang warga desa yang baik. Seorang pendatang dari tanah Karimun dan berisetri di sebuah desa di pulau
garam. Keluarga tersebut dikaruniai seorang anak laki-laki baru kelas III SD. Aku tidak tahu dari mana
Bahalwan dapat rejeki untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Yang aku tahu bahwa Bahalwan
tidak mempunyai pekerjaan tetap. Terakhir kulihat dia mempunyai kegiatan saat ada Program
Pengembangan Kecamatan (PPK). Setelah itu, tidak pernah melihat lagi dia bekerja.
Isterinya
bernama
Patma. Usianya lebih muda dari Bahalwan sepuluh tahun. Patma pun tidak bekerja sedangkan pola hidup
Patma seperti orang kota. la butuh baju strit, rok span, bedak yang paling terang, ginju warna-warni,
parfum paling harum, dan sabun mandi yang seratus ribuan. Wajar kan seorang isteri
menginginkan semua itu? Toh, semua itu untuk suaminya! Belum lagi ia ingin punya tv, kulkas, kendaraan,
dipan, gelang, dan kalung. Patma memang tak bisa disalahkan sebab semua anggota keluarganya
tidak boleh mati kelaparan apalagi mati karena terlalu banyak bermimpi. Semua itu harus bisa
diperolehnya dari suaminya: Bahalwan.
Pertengkaran
itu selalu dimulai dengan bunyi barang-barang dapur yang dilempar.
"Aku harus bagaimana?" suara Bahalwan terdengar seperti sedang ditodong
pistol di kepalanya. Patma menyahutinya dengan suara tidak jelas. Lebih
mirip suara kucing sekarat atau mau kawin.
"Kamu
racun saja aku!" Tampaknya Bahalwan putus asa menghadapi
hidup yang dia jalani bersama Patma.
Keadaan
memang serba sulit. Pekerjaan pun kian langka. BBM ngotot naik. Nilai rupiah pun hancur
sampai di atas tigabelas ribu per dolar AS. Harga-harga di pasar melonjak-lonjak.
Tak bisa dijangkau. Sementara pengungsi tragedi Sampit yang berada di
Madura yang sekitar enam-dua ribuan bergantung pada bantuan. Mereka banyak
tidak kembali ke Sampit sementara perut mereka harus terus diisi.
"Bunuh
saja aku!" begitu pasrahnya Bahalwan pada Patma. Seolah-olah dengan
matinya dirinya dapat menyelesaikan masalah.
Berbeda
hari, terasa ada yang janggal saat aku lewat di depan rumah mereka. Tak
terdengar apapun. Tidak seperti biasanya. Biasanya terdengar suara isterinya yang
meraung-raung, atau bunyi barang-barang dapur yang dilempar atau suara Bahalwan yang
pasrah. Kali ini sepi. Ada apa? Apakah isterinya
sakit sehingga tak sanggup mengajak suaminya bertengkar. Apakah Bahalwan tidak di
rumah sehingga isterinya tak punya lawan tanding? Para tetangga kanan kiri pun
melongok, menyorotkan matanya ke arah rumah
Bahalwan. Wajah mereka menyiratkan ada rasa kejanggalan. Ada tanda tanya besar tergambar di wajah mereka.
"Bu
Tut, kok sepi ya?" Tanya bu Mariam yan sama-sama tetangga Bahalwan.
"Auk!"
sambil mengangkat bahu.
Saking
sibuknya mereka mengurusi rasa penasaran mereka sampai-sampai mereka lupa menyapu halaman, lupa memandikan
bayinya, lupa menyiram bibit cabe dan tomat, lupa membuatkan kopi suaminya; semua
sibuk berjingkat-jingkat mendekati rumah Bahalwan untuk mencari tahu ada apa sebenarnya.
Mengapa tidak ada pertengkaran hari ini?
Bu
Mariam dan Bu Tuti makin dekat ke jendela dan pintu rumah Bahalwan. Mereka memang mau nguping, tapi tak ada suara. Tak ada bunyi-bunyian. Seolah-olah
memang tak ada orang di dalam. Hari sudah menjelang siang. Suami-suami mereka sudah lama
berangkat kerja, tapi mereka masih asik nguping walaupun
tak terdengar apa-apa. Selain mereka ada juga Bu Maun, Bu Siti, Bu guru Mas'ud
(yang suaminya ditemukan tak berkepala saat tragedi Sampit), dan Iain-lain.
"Krompyang!!"
"Nah,
mulai lagi, kan?" bisik bu Tuti ke Bu Mariam dengan gembira.
"He-eh!"
Mereka
cekikikan yang lain pun mengangguk-anggukkan kepala, tanda mendukung.
"Meeeooong!"
"Yaaa, kucing!
Bangsat!" Mereka kecewa. Serentak mereka pun bubar. Saat itulah mereka sadar bahwa mereka
masing-masing mempunyai urusan.
Tapi
apa yang terjadi dengan Bahalwan? Setelah cari-cari
kabar, ternyata Bahalwan dan isterinya serta Arip, anaknya, pergi rekreasi ke Bali.
Wow!
Posting Komentar untuk "Bahalwan dan Patma"