Antara Iman dan Imron
Sore-sore
kami menemukan topik yang menarik tentang ayam. Betapa ayam tahu betul bahwa
hari sudah sore atau hari menjelang pagi. Sampai-sampai suatu saat kami
berkesimpulan bahwa ayamlah yang paling disiplin di dunia dibanding dengan manusia.
Tidak pernah khianat untuk tidak membangunkan manusia. Tidak pernah telat
bangun dan paling waspada dalam tidurnya daripada maling.
Sore itu, tampak
oleh kami seekor ibu mengajak anak-anaknya tidur. Sang ibu mengajari bagaimana
cara naik pohon Srikaya dan mencari tempat bertengger yang kokoh untuk dibuat
pegangan. Anak-anak itu begitu belia, tapi sudah masanya mulai diajari
bagaimana hidup. Salah satunya adalah cara mencari tempat tidur yang nyaman.
Sang ibu
begitu telatennya mengajari melompat dari ranting ke ranting srikaya diikuti oleh
anak-anaknya. Semua anaknya ada lima. Semua ikut naik. Beberapa di antara
mereka ada yang jatuh karena bulu pada sayapnya belum sempurna tumbuh. Kemudian
setelah semua pada naik, dua sayap ibu mereka membentang, mengekepi kelima anaknya dengan kehangatan. Entah bagaimana menderitanya
bila hujan turun. Tentu mereka sangat kedinginan, tapi Tuhan Maha Pemelihara
yang Maha Sempurna tak akan membiarkan ayam-ayam itu mati kedinginan, maka
diberilah pada ayam-ayam itu bulu yang lebat dan licin.
Di tempat
lain, sang bapak, si jantan, berkokok meneriakkan kejantanannya. Seolah-olah menandakan
bahwa tempatnya tak boleh ada yang berkokok selain dirinya. Kalau ada yang
berkokok seperti dia, itu berarti ada dua kepemimpinan. Tak boleh dalam satu wilayah
ada dua pemimpin, menurutnya. Bisa-bisa terjadi perang untuk menentukan siapa
yang kalah dan siapa yang menang. Harus satu pemimpin saja.
Sang bapak
itu, yang pernah memberinya ibu itu lima anak berikut segala beban hidup ditanggungnya
sendirian. Sang bapak tak pernah ambil pusing dengan dengan apa yang terjadi terhadap ibu dan
anak-anaknya Kegagahannya sebagai jantan telah memberinya banyak peluang untuk
memberi ayam-ayam perawan di wilayahnya beberapa butir telur setiap hari. Tanpa
harus merasa tak enak telah berbuat tak setia kepada isterinya. Tanpa harus
merasa terbebani dosa telah melanggar hukum manusia. Semua dia lakukan atas
dasar mau. Memang begitulah ayam. Tidak seperti manusia yang terikat dengan
berbagai aturan dan rasa etis.
Sementara di
masyarakat sedang tren yang namanya selingkuh. Kata anak-anak muda SLI
(Selingkuh Itu Indah). Fakta tersebut banyak menyerang orang-orang yang
beruang. Tapi, tidak menutup kemungkinan bagi orang-orang yang tidak berduit
untuk tidak melakukannya. Fakta itu banyak yang dilakukan dengan terang-terangan.
Artinya, baik si suami atau pun sang istri sama-sama tahu kalau di antara mereka
ada orang lain. Hal ini diperkuat oleh sinetron-sinetron Indonesia dan telenovela-telenovela
dubbing-an. Seolah-olah tontonan-tontonan
itu mengajak secara resmi untuk melakukan selingkuh secara massal. Tanpa
malu-malu. Tanpa rasa takut. Arti kasarnya, harus dicoba walapun harus ada yang
sakit.
Kalau
dinilai-nilai, tak ada bedanya dong, ayam dengan orang? Tapi kenapa sang ibu
ayam dengan perilakunya yang mirip manusia tidak disebut manusiawi? Dan kenapa
manusia tidak mau disamakan dengan ayam padahal jelas-jelas manusia menuruti
sisi jelek ayam? Ah, itulah repotnya! Memang beda manusia dengan ayam. Sesempurna-sempurna
ciptaan Allah hanya manusia, bukan ayam. Mungkin artinya, manusia dilengkapi
dengan dua perilaku. Satu, perilaku malaikat. Dan satu lagi, perilaku binatang. Tinggal dekat pada perilaku yang mana? Pada perilaku
malaikat atau binatang? Atau kedua-duanya? Ah, ngelantur!
Sebenarnya,
aku tak ingin benar-benar bicara tentang ayam. Tepatnya, aku ingin centa
tentang seorang teman. Namanya, Imron, tapi bukan karena namanya Imron lantas
aku cerita, tapi karena keluhannya kepadaku.
Memang, nama
Imron sering kali dijadikan ledekan. "Iman sin kuat, tapi Imron?"
ledekan itu untuk mengatakan bahwa nafsu sering-sering mengalahkan iman. Imron
menunjuk pada kejantanan laki-laki. Tepatnya, bukan hal ini yang ingin aku ceritakan.
Ada hubungan, tapi bukan itu. Imron ini bercerita padaku begini.
"Setiap
kali aku meniduri Romlah, aku selalu teringat Hesti. Seolah-olah aku sedang
menidurinya. Aku jadi merasa bersalah. Aku merasa kehilangan kesetiaan. Aku
merasa telah berkhianat pada isteriku!"
Aku mencoba
menenangkan kegelisahannya dengan menganggapnya bahwa hal itu wajar. Biasa dan
bisa terjadi pada siapa saja.
"Tidak
bisa begitu. Aku tetap telah berkhianat. Memang awalnya selalu dimulai dari
perselingkuhan di dalam kepala, lama-lama kan bisa ke dada!"
"Apa
kamu memang punya niat untuk berselingkuh?"
"Tidak!
Demi Allah, tidak!"
"Tapi
kenapa kamu merasa bersalah seperti itu?"
"Itulah
masalahnya. Kenapa setiap kali aku melakukannya itu dengan Romlah, justru yang
datang wajah Hesti!"
"Kan
enak, kamu tidak perlu benar-benar melakukannya dengan Hesti. Cukup dengan
Romlah, isterimu!"
"Iya,
tapi itu tetap selingkuh namanya!"
Pembicaraan
itu tidak pernah menemukan solusi. Setiap kali bertemu Imron, pasti terjadi
perdebatan itu. Tapi setelah lama tak bertemu dia lagi, aku dengar kabar bahwa Imron
meninggalkan Romlah, isterinya, dan menikahi Hesti.
"Dasar!!!"
Posting Komentar untuk "Antara Iman dan Imron"