Untukmu, Ayah
Karya Yuli Coule’
Bagaimana caranya
aku memberikan surat ini pada ayah? Atau kubiarkan saja berada dalam tasku,
tanpa memberikan padanya? Surat dengan
amplop berwarna coklat dari sekolahku, panggilan dari BK. Tau sendirilah kalau
panggilan dari BK pasti ada masalah. Aku tidak punya banyak keberanian untuk
menatap mata tajam ayah, mendegar suara ayah dengan setengah membentak. Dan aku
paling tidak siap dengan kata-kata ayah “ Ayah malu”. Apakah aku sehina itu?
Hingga membuat ayahku malu?
Ayahku adalah
seorang kepala sekolah. Ia terkenal sebagai kepala sekolah yang disiplin. Semua
sekolah yang ia bina pasti tahu dengan sepak terjangnya. Sekolahnya selalu
berprestasi, bahkan seharusnya ayahku sudah memasuki masa periodesasi, masa
kepala sekolah dijadikan sebagai guru kembali karena masa jabatannya telah
habis. Tapi tidak dengan ayahku, masa kerjanya ditambah lagi empat tahun karena
ayah tercatat sebagai salah satu kepala sekolah berprestasi.
Ayahku memang
sangat disiplin tidak hanya di sekolah tapi juga di rumah. Dia selalu
menerapkan kedisiplinan kepada kami anak-anaknya. Mulai dari pertama kali
bangun hingga memejamkan mata kembali. Aku adalah anak terakhir dari tiga
bersaudara. Semua kakak-kakaku sudah bekerja, aku masih duduk di bangu kelas 3
SMP. Mungkin diantara kedua saudaraku, aku yang paling bermasalah dan mungkin
tidak memiliki prestasi apapun. Aku berkali-kali mendapatkan perhatian khusus
dari BK, dari saking perhatiannya mereka sering sekali memanggil orang tuaku
untuk sekadar ngobrol memberikan penjelasan tentang ulahku di sekolah.
Padahal aku tidak
merasa melanggar apapun tapi ya begitulah sekali terperosok ke jalan yang salah
maka akan sulit sekali untuk mendapatkan kepercayaan. Dan itu rasanya tidak
enak sekali. Apapun yang aku jelaskan pada ayah, selalu saja mentah dan aku
selalu dijustice bersalah.
Kembali kulihat amplop berwarna
coklat ini, memang tidak di lem. Aku bisa membukanya, tapi aku tidak mau
melakukan ini. Toh jelas di depan tertulis kepada wali Murid Dhimas Afri
Wahyudi. Surat ini untuk ayahku bukan buat aku.
Aku masih ingat
wajah ayah ketika marah padaku karena aku mendapatkan hukuman dari wali kelasku
karena tidak ikut bimsus. Padahal aku benar-benar tidak sengaja terlambat.
Ketika bel masuk berbunyi, tiba-tiba aku sakit perut dan aku mampir dulu ke
kamar mandi. Entah apa yang aku makan hingga perutku benar-benar sakit dan aku
cukup lama berada di kamar kecil berukuran 1,5 x 2 m. Sesampainya di kelas
bimbingan khusus (bimsus) berlangsung 20 menit. Aku tidak diperbolehkan masuk
dan aku tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan. Sebaliknya malah bawa-bawa
nama ayahku.
“kenapa terlambat?” tegur bu Aini.
“Saya dari kamar mandi bu, karena
sakit perut.”
“Kenapa tidak ikut ayahmu saja?
Bukankah di sana boleh terlambat?” kembali Bu Aini dengan ketus berkata padaku
sembari melanjutkan pelajaran.
Telingaku langsung panas mendengar
kata-kata bu Aini. Andai bukan muridnya aku sudah membantah, dan menjelaskan
pada bu Aini. Meskipun sekolah ayahku berada di pinggiran, sekolahnya juga
disiplin. Setiap pagi ayah selalu berangkat lebih awal dariku. Karena jaraknya
lumayan jauh sekira 30 Km dari rumah. Setiap pagi di sekolah ayah rutin
dilaksanakan apel pagi. Dan prestasinya juga tidak kalah dengan sekolah
perkotaan, terlebih prestasi non akademiknya. Sayang aku sudah kelas tiga. Aku
tak ingin bermasalah dengan guru-guruku. Pagi itu aku tidak diperbolehkan
mengikuti bimsus. Sebaliknya aku mendapatkan surat untuk ayahku.
“Bagaimana kegiatan di sekolah hari
ini? Kok tidak semangat begitu?” sapa ayah ketika aku melangkah memasuki ruang
tamu.
“Ada surat untuk ayah?” balasku
sambil terus melangkah menuju kamar.
“Dhim…Sini!” Suara ayah terdengar
keras memanggilku. Seharusnya aku tidak memberikan surat itu langsung, ayah
pasti masih capek. Aku sudah menyiapkan diri dengan argumenku meski aku tahu
aku ending ceritanya.
“Yah, Dhimas tidak salah. Tadi
dhimas memang telat masuk kelas bimsus, tapi tidak Dhimas sengaja yah. Dhimas
masih ke kamar mandi, karena sakit perut.”
“Bagaimana pun kau tetap salah,
tidak mungkin surat ini sampai di tangan ayah kalau kau tidak melakukan
kesalahan!”
Aku hanya terdiam aku tidak ingin
mengatakan apapun tentang perkataan bu Aini pagi tadi tentang ayah dan
sekolahnya, ia pasti akan marah besar. Tentu ayah tidak terima jika sekolahnya
dijelek-jelekkan.
“Iya Dhimas minta maaf yah.”
“Dhim, ayah malu nak jika harus
kembali berhadapan dengan guru BK atau wali kelasmu. Ini kali keberapa? Kamu
tahu sendirikan ayah ini bagaimana? Ayah ini selalu menerapkan disiplin dimana
dan kepada siapapun. Sementara anak ayah sendiri?” Suara ayah mulai merendah
dan setengah berkaca-kaca bola matanya.
Ah… Ayah, aku ini adalah anak biasa
sama seperti anak-anak di luar sana. Anak yang mungkin masih ingin banyak
bermain, ingin mencoba. Jenuh dengan pelajaran, bosan dengan guru yang hanya
memberikan perhatian kepada anak-anak yang pandai saja. Malas dengan guru yanag
selalu mencari keslahanku dan hanya bisa menjustice
aku salah dan salah. Aku juga ingin mengatakan kepada ayah bahwa aku ingin
sekali seperti kakak Ratih dan Reno yang selau berprestasi dan bisa
membanggakan ayah. Tapi mungkin kemampuanku tidak sama dengan mereka yah. Ayah
tau tidak? Ketika ayah terlelap aku selau bangun untuk belajar, sesekali aku
sempatkan untuk menatap wajah ayah yang mulai keriput termakan usia.
Keinginanku hanya sederhana yah, hanya ingin membuat ayah tersenyum. Jika aku
tidak bisa mengukir prestasi untukmu aku hanya ingin mengukir senyum dalam
kegundahanmu.
Siang itu aku berjalan bersama
kengamangan sesekali aku menendang kerikil-kerikil untuk tumpahkan gundahku.
Antara memberikan surat ini atau tidak. Aku harus siap dengan apa yang akan
kudapatkan dari ayah. Aku bulatkan tekad untuk tetap memberikan surat ini
padanya.
“Assalamualaikum” seruku dari luar.
“Walaikum salam.” Suara ibu menjawab
salamku.
“Bu, Ayah belum datang?” tanyaku
singkat.
“Ayahmu hari ini pulang lebih awal
kesehatannya sedikit bermasalah, sepertinya drop.”
Kata-kata ibu menahan tanganku untuk
mengeluarkan surat dari BK.
“Ada apa? Sepertinya ada sesuatu
yang kau sembunyikan? Tanya ibu.
Aku hanya menggeleng dan cepat-cepat
masuk ke kamarku.
Setelah makan malam, aku mendekati
ayah.
“Ayah sakit?” tanyaku sembari
bergelayut manja di pundaknya.
“Tidak, hanya kecapean saja
sepertinya.” Ayah menjawab sambil mengusap-ngusap rambutku.
“sebentar lagi ku akan lulus, semoga
nilaimu bagus. Belajar jangan hanya bermain” Ayah kembali menasehatiku.
“Ayah, maafkan Dhimas, ini ada
titipan dari sekolah untuk ayah.” Aku setengah menunduk menyembunyikan diri
dari tatapan tajam ayah.
Ayah menghembuskan nafas panjang,
seperti melepas beban berat.
“Kamu melakukan apa lagi?”
Aku hanya menggeleng dan segera
beranjak ke kamar, aku tak ingin mendengarkan apapun dari ayah malam ini. Bukan
karena aku sudah bosan dengan nasihat
ayah, tapi lebih pada tidak tahan melihat kekecewaan ayah.
Langkahku pagi ini terasa berat
sekali, enggan sekali masuk sekolah. Membayangkan wajah guru BK, surat
pernyataan yang harus aku tanda tangani, atau hukuman-hukuman yang sudah
kuhapal.
“ Pagi ini kita berangkat bersama-sama”
ucap ayah sembari memasukkan beberapa kertas ke dalam tas kerjanya.
Aku hanya mengiyakan perkataan ayah,
aku tahu aku harus lebih awal berangkat ke sekolah. Tumben ayah tidak terlihat
marah, tidak membahas tentang surat dari BK. Apakah sudah capek dengan ulahku?
Seampainya di sekolah, aku segera
menuju kelasku, sementara ayah berada di ruang tamu. Sekolah masih terlihat sepi. Bel masuk
berbunyi setelah 20 menit berlalu. Hatiku deg-degkan, pasti sebentar lagi akan
ada panggilan untuk ku ke ruang BK.
“Dhimas” Ali ketua kelasku
memberikan selembar kertas kecil panggilan dari BK.
Setelah mendapatkan paraf guru
pengajarku, aku menuju ruang BK. Semakin mendekati ruang BK perasaanku semakin
tidak karuan, bukan karena takut kepada hukuman atau apapu yang akan diberikan
guru BK kepadaku. Tetapi aku lebih takut melihat kekecewaan di mata ayah.
Langkahku terhenti persis di depan ruang BK, yang saat itu masih tertutup.
“Ya begitulah Dhimas, anak saya”
kudengar suara ayah membalas obrolan di ruang BK.
Kubuka pintu ruang BK setelah
kuketuk beberapa kali. Aku lebih terkejut lagi ketika melihat di sana juga ada
kepala sekolah.
‘mati aku’ seruku dalam hati.
Tiba-tiba ayah berdiri dan
memelukku. Aku semakin bingung dengan tingkah ayah. Ditambah ucapan dari kepala
sekolah untukku.
“Selamat ya Dhimas” ucap kepala
sekolah sambil menepuk-nepuk pundakku.
“Duduk, duduk sini nak” ucap ayah
sambil menarikku duduk.
Aku masih berada dalam kebingungan
beribu pertanyaan bertengger di kepalaku.
“Dhimas bingung?” Tanya bu Nina guru
BK.
Aku hanya mengangguk sambil
memperhatikan ekspresi orang-orang di depanku, termasuk wajah ayah yang
terlihat sumringah.
“Begini Dhimas, Ibu mewakili sekolah
mengucapkan terima kasih padamu. Dari beberapa siswa yang berkasus, mereka
tetap kami pantau. Dan banyak sekali perubahan positif pada mereka. Setelah
kami Tanya ternyata mereka mengatakan kepada kami, bahwa mereka berubah karena
kamu. Kamu selalu memberikan nasihat dan mengarahkan mereka untuk berkegiatan
dalam hal yang positif. Kamu telah memberikan contoh yang baik kepada
temen-temanmu. Kamu layak mendapatkan ucapan terima kasih dari sekolah” Jelas
bu Nina panjang lebar.
Sekali lagi aku mendapatkan pelukan
hangat dari ayah, dan kali ini aku berhasil membuat ayah tersenyum dan bangga
kepadaku.
“Maafkan ayah” ucap ayah lirih di
telingaku.
Pagi ini memberikan aura yang
berbeda padaku, seperti melepaskan aku dari kerangkeng penjusticean. Langkahku
begitu ringan, pundakku seperti terlepas dari beban yang begitu berat. Setelah
pulang sekolah aku akan kembali bersama-sama teman-teman di kopling (Komunitas
Peduli Lingkungan) untuk kegiatan penggalangan dana untuk korban bencana.
Selain mencari donator kami juga mendapatkan uang dari bekas botol atau gelas
air mineral, dari beberapa pemulung. Dapat dua keuntungan, membantu pemulung
sekaligus kami pun mendapatkan uang dari penjualannya.
‘Ayah, maafkan aku juga. Aku bukan
tidak ingin berbagi atau menceritakan kegiatanku pada ayah. Tetapi ayah begitu
sibuk selama ini, trus aku juga selalu salah di mata ayah. Love you ayah,
akhirnya pagi ini aku bisa mengukir senyummu.’ Ucapku lirih sembari melangkah
bersama teman-teman menuju sekretariat Kopling.
Posting Komentar untuk "Untukmu, Ayah"