INI BUDI
Karya Enda Muharromah
Kau tahu ada sebuah
Desa bernama Panaongan -Kampung nelayan yang terletak di Kecamatan Pasongsongan
Kabupaten Sumenep, Madura-? Baru kau dengar ini kali kan nama Desa Panaongan?
Desa Panaongan sebagian besar masyarakatnya bekerja sebagai nelayan. Garis
pantai di sepanjang desa membuat masyarakatnya mau tidak mau menjadikan laut
sebagai tempat mereka mencari nafkah. Tetapi tak mengapa, apa salahnya menjadi
nelayan? Kau bahkan bisa memandangi langit malam bertabur bintang dengan bunyi
debur ombak dan menyaksikan matahari terbit di kaki langit tanpa satupun benda
menghalangi. Nelayan sebagai pilihan pekerjaan bukanlah sebuah soal, anak yang
lahir dari orang tua yang bekerja sebagai nelayanpun bukan sebuah soal. Jika
kau menganggap ini cerita tentang aku, kau salah kira. Ini cerita tentang murid
SD di rentang waktu 2000-2006. Sebut saja namanya Budi (aku yakin dia tidak
akan mau namanya ku sebutkan jika ia tahu aku menulis cerita tentangnya). Ia
anak nelayan. Kusebut saja dia Budi karena di tahun 2000-2006 nama itulah yang
sering muncul di buku-buku pelajaran dan tokoh Budi juga digambarkan sebagai
tokoh yang baik sama halnya dengan Edo dan Lani di buku-buku pelajaran
kekinian.
Anak laki-laki bernama Budi itu berlari kecil
menyusuri gang-gang sempit menuju sekolahnya, SDN Panaongan 1 –satu-satunya
sekolah yang paling dekat dengan rumahnya-. Tak jarang ia berpapasan dengan
teman-temannya yang berjalan santai sambil membicarakan dongeng Kiyai yang
mereka dengar saat mengaji di langgar malam tadi. Ia tetap berlari bahkan
ketika seorang perempuan tua mengingatkannya untuk lebih baik berjalan saja
agar tidak banyak keringatnya di pagi hari. Ia berlari. Ia tidak ingin ada murid
lain yang tiba di kelas mendahuluinya. Aku
murid pertama yang tiba di kelas, begitu inginnya. Sekolah sudah di depan mata,
hanya 100 meter kira-kira jaraknya. Ia bisa melihat dengan jelas nama sekolahnya
yang tertulis di bagian depan sekolah, huruf-hurufnya terbuat dari semen yang
sudah dicetak-cetak dan dicat warna biru tua. Selokan kecil di depan sekolah ia
lompati dengan semangat. Ia sudah sampai di halaman sekolah, tapi ia masih saja
berlari. Setelah melewati pot bunga besar di depan ruang guru ia berbelok ke kanan
kemudian ke kiri menuju kelas paling pojok dengan pintu berwarna biru. Kelas 1
begitu kelas itu dinamai bapak ibu guru.
Benar saja, ia menjadi murid pertama yang tiba di
kelas. Ia tidak langsung masuk. Ia berhenti di pintu kelas, mengedarkan
pandangan ke dalam kelas dengan nafasnya yang sedikit tersengal-sengal. Meja
guru, bangku-bangku dan asbak yang terbuat dari batok kelapa karyanya dan
teman-temannya (mungkin juga karya bapak ibunya atau bapak ibu teman-temannya)
yang diletakkan di atas lemari. Kemarin ia sendiri yang menawarkan pada ibu
guru untuk meletakkannya di atas lemari agar tidak rusak akibat ulah usil
teman-temannya. Ia tahu betul bagaimana kelakuan teman-temannya jika sudah asyik
bermain. Ia masuk kelas menuju bangku yang bisa di bilang berada di bagian
tengah, di situ ia duduk sembari melepas tas yg sejak tadi digendongnya. Ia
melihat sepatunya yang tidak seberapa hitam namun tidak kotor, ia cukup lihai
menghindari kotoran ayam dan genangan air di jalan saat ia berlari tadi. Namun
malang, kaos kakinya yang mulai kusam melorot. Ahh desisnya, ia menunduk
menarik kaos kakinya ke atas. Waah Budi kamu selalu menjadi yang pertama datang
setiap hari, kata Bu guru sambil tersenyum. Budi tersenyum tersipu. Bu guru
yang berasal dari Jawa, dengan logat Jawanya itu selalu membuat Budi tersenyum.
Bu Warni namanya, begitu cantik dan halus tutur katanya. Bu warni selalu
menggunakan rok di bawah lutut, sepatu fantofel berwarna hitam yang runcing
ujungnya, rambutnya yang panjang disisir ke belakang dan menggunakan jepit
rambut berbentuk pita berwarna hitam, rambutnya bergerak-gerak ke kanan dan ke
kiri setiap kali Bu Warni berjalan. Teman-temannya
mulai berdatangan, kelasnya perlahan-lahan menjadi semakin ramai. Ia
memerhatikan kelasnya yang menjadi riuh gelak tawa teman-temannya. Bahkan ia memerhatikan
seorang teman yang mengeluarkan ketapel dari dalam tasnya dan mengajak teman di
sebelahnya untuk mencari burung sepulang sekolah. Ahh bukankah pulang sekolah
masih lama, kenapa harus dibicarakan ketika bahkan kelas belum juga dimulai
batinnya.
Budi selalu semangat saat berada di dalam kelas.
Ketika ketua kelas memimpin doa bersama sebelum pelajaran di mulai, suara Budi
selalu paling nyaring. Seolah dia ingin mengatakan “aku juga membaca doa!”.
Begitu juga saat bu guru memanggil nama murid satu-persatu untuk mengetahui
kehadiran murid-muridnya. Budi akan berseru dengan nyaring, “ada!”. Jika sudah
begitu bu guru tersenyum menatap Budi dan Budi kembali tersenyum tersipu. Ahh
senyum guru yang berasal dari Jawa itu begitu meneduhkan.
Budi suka sekali menggambar. Suatu hari ketika
mendapat tugas dari bu guru untuk menggambar apapun yang ingin di gambar oleh murid,
Budi senang bukan kepalang. Bu guru memang sering kali mengajak murid
menggambar apapun yang ingin di gambar oleh muridnya. Malang, hari itu Budi
tidak membawa buku gambar berwarna hijau bergambar Micky Mouse miliknya. Dengan takut-takut ia sampaikan hal itu pada
bu guru. Bu guru tersenyum kemudian bertanya kepada murid lainnya adakah yang
mau membagi buku gambar miliknya untuk Budi?. Pakai punyaku saja, kata Ani.
Budi tersenyum senang menerima kertas gambar yang diberikan Ani untuknya.
Terimakasih Ani, kata bu guru. Budi terkejut, ia bahkan lupa tidak segera
mengatakan terimakasih kepada Ani saking senangnya. Budi mengucapkan
terimakasih pada Ani meski telah didahului oleh bu guru. Ani tersenyum
mendengar Budi mengucapkan terimakasih padanya. Tapi kamu tidak boleh pinjam
pensil warna punyaku, kata Ani. Aku punya, kata Budi. Kali ini bu guru yang
tersenyum. Budi mengeluarkan pensil warnanya . Ia berpikir gambar apa yang akan
dibuatnya, kertas gambar yang diberi Ani tidak seperti miliknya. Kertas gambar
yang di beri Ani lebih kecil dari miliknya. Seandainya aku tidak lupa
memasukkan buku gambar ke dalam tas setelah aku mendengar ibu mendongeng,
batinnya. Budi mulai menggambar dengan hati-hati. Mewarnainya dengan hati-hati.
Menulisinya dengan hati-hati. Selesai sudah Budi menggambar. Di gambarnya terdapat
tulisan INI BUDI, INI IBU BUDI, INI BAPAK BUDI. Hari itu Budi menggambar dirinya
sendiri, ibu, dan bapaknya.
Budi kini sudah kelas 4. Ia masih saja berlari untuk
menuju sekolah. Semakin banyak alasan yang membuat Budi selalu berlari menuju
sekolahnya. Ia masih tetap ingin menjadi murid pertama yang sampai di kelasnya.
Ia ingin menjadi murid pertama yang meletakkan sepatu di rak sepatu yang terbuat dari bambu yang dibuat
oleh teman-teman sekelasnya ketika kegiatan pramuka akhir bulan lalu. Ia ingin
menjadi murid yang menghapus tulisan pak guru kemarin siang saat pelajaran jam
terakhir (untuk yang satu ini Budi selalu mendapat pujian dari pak guru).
Akhir-akhir ini alasan yang membuat Budi berlari menuju sekolahnya bertambah.
Ia ingin menyapa nenek yang biasa berjemur didepan pintu rumahnya. Rumah nenek
itu tidak jauh dari sekolah, berada tepat di depan pasar yang berada di samping
kanan sekolah. Jika Budi terlambat sedikit saja, nenek itu sudah masuk ke dalam
rumahnya. Saat melewati rumah nenek itu Budi akan memperlambat langkahnya,
menyapa si nenek sambil tersenyum. Nenek membalas senyum Budi sambil berkata
lirih “baiknya anak itu, berangkat sekolah pagi-pagi dan masih menyapaku yang
sedang berjemur. Semoga dia menjadi anak yang mulia akhlaknya”. Budi tersenyum
girang, ia didoakan oleh nenek itu!. Budi kembali berlari ketika sudah berlalu
dari rumah nenek itu. Ia berlari sambil tersenyum girang. Besok aku harus
menyapanya lagi batin Budi. Bukan hanya itu, alasan lain Budi berlari ke
sekolah adalah ia juga ingin menyiram bunga mawar yang ada di depan kelasnya
yang seringkali tidak dirawat oleh temannya yang bertugas piket (untuk yang
satu ini Budi sadar betul bahwa bunga mawar yang ada di depan kelasnya juga
makhluk hidup yang perlu makan, perlu
disayangi dan perlu dirawat seperti kata Bu Warni saat Budi masih duduk
di kelas 1).
Itu adalah hal-hal yang aku ingat tentang si Budi. Jangan
kau tanya siapa aku. Kau pasti tidak menyangka siapa aku dan terheran-heran
mengapa aku bisa menceritakan tentang si Budi. Budi anak laki-laki yang selalu
berlari menuju sekolah. Budi yang selalu menarik kaos kakinya ke atas karena
melorot akibat ia berlari. Untung saja kaos kakiku tidak melorot, batinku. Ahh
anak perempuan memang selalu memperhatikan hal-hal kecil yang tidak terlalu
penting bukan? Kaos kaki yang melorot saja kuperhatikan. Kini aku tak tau
persis bagaimana kabar Budi. Aku sempat mendengar kabar bahwa ia sekarang tetap berada di Desa Panaongan menjadi nelayan
sama seperti ayahnya. ada di kota besar sibuk ini itu bersama komunitasnya.
Katanya komunitasnya bergerak di bidang literasi. Bidang yang berhubungan
dengan buku-buku, baca-membaca pikirku. Memangnya Budi suka membaca? Bukankah
dulu dia suka menggambar? Ahh mungkin dia tiba-tiba suka membaca. Pernah suatu kali
aku membaca tentang dirinya di sebuah surat kabar. Katanya pemuda yang ku sebut
Budi ini baik orangnya, peduli pada lingkungan sekitarnya dan sering pergi ke
daerah-daerah yang haus akan pengetahuan dan buku-buku. Di daerah-daerah yang
seperti itu ia akan menyampaikan gagasan-gagasannya, pengalaman-pengalamannya
dan membagikan buku-buku secara cuma-cuma. Aahh Budi, Budi. Kalau kau begitu
sukanya berbagi gagasan dan pengalaman kenapa kau tidak jadi PNS saja, jadi
guru seperti aku misalnya. Ya, aku adalah seorang guru (honorer) di sebuah
sekolah dasar negeri. Kau tahu Desa Patean? Di sana sekolahku berada. Ahh Budi,
seingatku kau cukup cerdas untuk menyelesaikan soal-soal tes CPNS. Tapi aku
cukup bangga padamu. Kau menjadi salah temanku yang berhasil menjadi orang yang
bermanfaat bagi orang lain. Kau juga berhasil menjadi orang yang berakhlak
mulia seperti doa nenek yang sering kau sapa ketika kau kelas 4 yang rumahnya
di dekat sekolah dasar dulu, mungkin juga itu doa ibu dan bapakmu Budi. Mana ku
tahu. Tapi yang aku tahu pasti Bu Warni pasti akan selalu tersenyum padamu.
Ahh aku terlalu lama mengingat kenangan tentang
Budi. Lihat kelasku jadi ramai, murid-muridku
banyak yang berlari-lari dalam kelas, sedangkan muridku lainnnya berdiri di
depan sudut baca mengambil buku, membolak-balik buku, lihat ada juga yang
rebutan buku dan lihat lagi, di pojok kelas murid perempuan menangis karena
pensilnya hilang. Baiklah, baiklah. Dengan situasi seperti ini kelasku memang
jadi ramai, tetapi bukankah ini semua merupakan bagian dari proses kreatif
anak? Jika aku adalah Bu Warni, kira-kira apa yang akan di lakukan Bu Warni
untuk menghadapi kelasku ini? Akankah Bu Warni tetap akan tersenyum di kelasku?
Atau seandainya Budi menjadi guru kira-kira apa yang akan diperbuatnya?
Budi kau jangan berburuk sangka padaku. Aku tidak
lupa untuk mengajar dan mendidik murid-muridku untuk memperhatikan akhlak
mereka seperti yang guru kita ajarkan dulu. Aku tidak lupa untuk mencontohkan
langsung kepada mereka untuk membuang sampah pada tempatnya, aku juga
mencontohkan secara langsung mengucap maaf dan terimakasih kepada murid-muridku
seperti yang dilakukan oleh guru kita dulu. Lihatlah murid-muridku yang bernama
Lani dan Edo (ku sebut saja mereka Lani dan Edo karena nama-nama inilah yang populer
di buku pelajaran kekinian untuk menggambarkan murid yang pandai dan baik).
Lani dan Edo adalah murid terbaik di kelasku. Mereka melakukan semua hal yang
aku ajarkan pada mereka. Mereka membuang sampah pada tempatnya, mereka mengucap
maaf jika salah dan mengucap terimakasih jika ada teman yang membantunya,
mereka juga suka merawat tanaman di depan kelas tanpa aku suruh. Mirip denganmu
bukan? Tapi mereka tidak suka menggambar.
Budi, lihatlah ini Lani dan Edo. Aku tidak bermaksud
mengabaikan muridku yang lainnya seperti Susi (sebut saja begitu) misalnya.
Tapi Lani dan Edo memang yang paling menonjol di kelas ini. Budi taukah kau apa
saja yang sudah kulakukan untuk membentuk karakter Lani dan Edo? Kalau suatu
hari kita bertemu akan kuceritakan padamu bagaimana aku merancang program
kelas, bagaimana aku menyisipkan nilai-nilai luhur agama dan sosial pada
Rencana Program Pembelajaran yang aku buat. Aahh kau tidak tau tentang RPP
bukan? Makanya kubilang seharusnya kau menjadi guru saja (meskipun hanya guru honorer
sepertiku). Aku merancang program pembelajaran sedemikian rupa. Sebelum
pembelajaran dimulai aku akan mengajak murid-muridku berdoa, kemudian mengajak
mereka menyanyikan lagu Indonesia Raya agar muncul rasa cinta tanah air pada
diri mereka, kemudian aku ajak mereka untuk membaca buku-buku yang disukai yang
tersedia di sudut baca kelas kami, sesekali aku tanyakan kepada mereka apa isi
buku yang mereka baca (kau tentu ingat bukan guru kita tidak mengajak kita
untuk membaca sebelum pelajaran dimulai). Tidak hanya sampai di situ Budi, aku
juga menyampaikan nilai-nilai kemanusiaan dan rasa syukur kepada Tuhan ketika
aku menyampaikan materi-materi yang berkaitan dengan nilai-nilai itu. Ketika
jam pelajaran berkahir aku juga mengajak mereka berdoa dan bersyukur atas apa
yang terjadi hari ini, dan sebagai pemanisnya aku mengajak mereka untuk
menyanyikan lagu-lagu nasional atau lagu daerah. Bagaimana menurutmu Budi? Apa
yang aku lakukan sudah cukup baik bukan? Aahh tapi jangan kau bandingkan aku
dengan guru kita dulu, guru kita dulu memang yang terbaik sepanjang masa. Budi,
lihat. Lani dan Edo begitu bersemangat bukan?.
Kuceritakan satu lagi cerita tentang mereka.
Ceritanya persis sama dengan cerita tentangmu dulu. Cerita ini juga ketika
mereka masih di kelas 1. Suatu waktu ketika itu aku mengajak murid-muridku untuk
menggambar apapun yang mereka ingin gambar. Kelasku menjadi ramai karena murid-muridku
seolah berdiskusi dengan temannya untuk menentukan apa yang ingin mereka
gambar. Edo ketika itu diam saja sambil menatap ke arahku. Aku heran dan segera
aku menuju tempat dimana ia duduk. Kau tahu Budi apa yang terjadi? Belum sampai
aku di tempat di mana Edo duduk, sudah ada Lani yang menghampiri Edo. Lani
berkata “ Edo kamu tidak membawa buku gambar? Ini pakai punyaku, aku kasih kamu
satu”. Dengan segera Edo menjawab “Terimakasih Lani. Kamu mau pinjam pensil
warna punyaku?. Aku tersenyum, percakapan mereka setelahnya tidak aku hiraukan.
Bagaimana aku tidak langsung mengingatmu Budi ketika itu?. Aku biarkan murid-muridku
menggambar sesuka hati. Selesai mereka menggambar aku kumpulkan hasil pekerjaan
mereka dan aku puji mereka sekedarnya, bahwa mereka hebat, mereka sudah
berusaha untuk menggambar. Lalu kulihat hasil pekerjaan mereka satu-persatu.
Gambar milik Edo membuat aku tersenyum (Budi sekali lagi bukan maksudku untuk
mengabaikan gambar milik murid-muridku yang lainnya). Rupanya Edo menggambar
dirinya sendiri, orang tua, dan temannya. Baiklah,seketika itu juga aku merasa
iri pada Lani. Budi, bukankah ketika itu kau seharusnya juga menggambar aku di
kertas gambarmu? Bukankah aku yang memberikan kertas gambar itu padamu?
Bu
Ani, apa kami sudah boleh istirahat? Tanya Edo padaku. Aaahhh Ani tentu saja
bukan namaku yang sebenarnya. Lagi-lagi aku menggunakan nama yang cukup populer digunakan di buku
pelajaran sekolah dasar pada tahun 2000-2006. Aku pilih nama Ani tentu saja
karena Ani adalah teman Budi, Ani juga digambarkan sebagai tokoh yang juga
pintar dan baik, bisa juga dibilang Ani adalah tokoh idolaku semasa itu. Aku
mengiyakan saja mereka untuk beristirahat di luar kelas. Budi tahukah kau apa
yang sangat kurisaukan sekarang ini sebagai seorang guru? Aku tidak khawatir
akan prestasi muridku, karena aku sudah menyusun program kelas yang menurutku
dapat meningkatkan prestasi akademik mereka, orangtua murid juga tidak kalah semangat menyuruh anak mereka
ikut les ini itu. Aku khawatir program kelas yang sudah aku susun tidak cukup
memfasilitasi mereka untuk bisa memiliki karakter dan budi pekerti yang baik.
Aku tidak cukup yakin bahwa program yang aku susun seperti menyanyikan lagu-lagu
nasional, lagu-lagu daerah ataupun mengajak mereka bersyukur setiap harinya
bisa membuat mereka memiliki budi pekerti yang baik.
Budi
andai saja kau jadi guru. Kau akan tahu persis bagaimana kerisauanku. Ahh dan
aku ingat Bu Warni, guru kita yang berasal dari Jawa itu. Akankah dulu ia juga risau bagaimana
mengajarkan akhlak dan budi pekerti pada kita? Aku yakin di balik senyumnya kala itu Bu Warni juga
risau. Seandainya Bu Warni masih hidup kira-kira apa yang akan ia katakan
padaku, apa yang akan ia katakan padamu Budi?
Posting Komentar untuk "INI BUDI"