AYAH BOLEH NIKAH LAGI, KOK
“Kalau ayah mau nikah lagi gapapa!”
“Ah, mama ngomong apa sih?”
“Serius ayah, mama ijinin kok!”
“Ah, yang bener!”
“Beneran! Asal ayah mau penuhi syaratnya, mama yang akan
melamar!”
“Hmmm!”
“Sumpah, mama ijinin!”
“Serius?”
“Lho, jangan-jangan ayah yang tidak serius! Cuma pengen buat
mama cemburuan dan sakit hati! Jangan-jangan ayah cuma mau permainkan perasaan
perempuan!”
“Lho, nggak ma. Ayah serius kok, tapi beneran mama ijinin?”
“Iya, asal ayah penuhi syaratnya!”
Sehari dua hari terlewati. Badrul masih kepikiran dengan
ijin isterinya yang membolehkannya nikah lagi. Sebenarnya dia ingin langsung
menanggapinya serius dan menindaklanjuti keinginannya, nikah dengan seseorang.
Tapi, biar tidak terkesan terlalu bersemangat ingin nikah lagi, ia pura-pura
tidak begitu minat.
“Bener, ayah gak mau nikah lagi? Kesempatannya cuma sekali
lho!”
“Mama, ngomong apa, sih. Ini masih pagi!”
“Bener, gak mau?”
Badrul tersipu-sipu. Isterinya membaca sangat jelas kemauan
Badrul dari raut mukanya walaupun Badrul berusaha keras menutupinya.
“Ayah sudah berkali-kali ketahuan selingkuh. Berkali-kali
mama mendapati foto atau sms, log call ayah, dan chating ayah! Daripada
sembunyi-sembunyi, makanya mama berniat baik ngijinin ayah nikah lagi. Ayo,
mumpung mama belum berubah pikiran.”
“Mama serius?”
“Mama kan dah bilang serius dari kemaren-kemaren!”
“Terus syaratnya apa, ma? Berat nggak?”
“Ringan kok, yah!
“Apa ya kira-kira?”
“Jangan ngira-ngira, tanya aja langsung ke mama!”
“Iya, syaratnya apa, ma?”
“Mudah kok, mama cuma minta ke ayah tiga syarat. Satu,
isteri baru ayah harus serumah dengan kita.”
“Bisa! Boleh! Terus, yang kedua?”
“Kedua, mama minta ayah buatin kita kamar dua. Yang satu
buat ayah dan mama dan satunya lagi untuk kamar ayah dan isteri baru ayah! Bisa?”
“Mudah, kok. Wah jangan-jangan yang ketiganya sulit!”
“Nggak, kok.”
“Ketiganya apa?”
“Yang ketiga, ayah harus buatin mama kamar mandi dua!
Gimana?”
“Oke, deal!”
“Bener, ayah mampu dengan tiga syarat itu?”
“Iya, ma. Mampu kok!”
“Nanti kita akan tanda tangani surat perjanjian pemanfaatan
ketiga syarat tersebut. Bersedia?”
“Iya, ma, bersedia!”
Makin semangatlah hidup Badrul dengan semua mimpi-mimpinya
hidup dengan Puteri. Serumah dengan isterinya. Tibalah saatnya Badrul menikahi
Puteri dengan acara sederhana. Dan, tibalah pula waktunya ia harus
menandatangani surat perjanjian. Sreeet, selesai. Saking senangnya Badrul tidak
membaca secara detail. Ia tidak membaca khususnya poin ketujuh dari surat
perjanjian itu.
Pada poin ketujuh perjanjian itu tertulis begini. Dalam hal
pemanfaatan dua kamar mandi dan dua kamar tidur adalah sebagai berikut.
Satu, pemanfaatan
kamar mandi harus adil. Ketika suami buang air kecil dan besar harus dibuang di
kedua kamar mandi tersebut. Artinya, dibadi secara adil. Ketika perjanjian
tersebut dilanggar, maka isteri pertama berhak menuntut ganti rugi atau
perceraian.
Dua, pemanfaatan dua
kamar tidur juga harus ditempati secara adil. Harus tepat dibagi dua baik
waktunya atau kegiatan berkumpulnya. Suami harus membagi secara adil terutama
mengenai kewajiban batin yang disalurkannya. Jika perjanjian ini dilanggar,
maka isteri pertama berhak menuntut ganti rugi atau perceraian.
Itulah awal petaka Badrul. Hari pertama, ia terpaksa harus
membagi waktu untuk berada di dua kamar tidur. Isterinya memahami ketika Badrul
tidak melakukan apa-apa di kamarnya. Ia paham Badrul kecapean. Maklum pengantin
baru. Pasti semua tenaganya sudah dihabisnya malam pertama. Jadi, ia memilih
tidur saja tak meminta apa-apa.
Yang paling merepotkan bagi Badrul sebenarnya dua kamar
mandi. Sejak hari pertama, ia sudah harus membagi air kencing dan beolnya di
kedua kamar mandi secara adil. Oh, sungguh keadaan yang tidak mengenakkan
baginya.
Belum setahun, Badrul sudah menderita sakit ginjal. Ia
terkapar di rumah sakit dtemani dua isterinya. Isteri pertamanya sangat kasihan
melihat kondisi Badrul tergeletak lemah seperti itu. Ia hanya mampu menangis
tak kuasa berkata apa-apa. Puteri memeluknya agar sedikit meringankan rasa
sedihnya.
“Apa yang kita lakukan. Mbak ke depannya?”
“Kalau ayah sembuh, maka perjanjian yang kubuat dengannya
batal, Dik! Aku menyesal telah menghukumnya seperti itu!”
“Maafkan, mama ya ayah. Mama dah mendhalimi ayah!”
“Gakpapa ma, ayah memang pantas mendapatkan sakit ini!”
Kembali isteri pertamanya menangis tersedu-sedu,
sesunggukan. Badrul meraih tangannya dan menggenggamnya dengan lembut. Tak
terduga, ternyata itu adalah genggaman tangan Badrul yang terakhir.
Posting Komentar untuk "AYAH BOLEH NIKAH LAGI, KOK"