Pesan Pemandi Jenazah
Hanya orang-orang tertentu yang mau melakukannya. Hanya sedikit orang yang bersedia. Dan, Raga Patmilah salah seorang yang dengan rela hati menjadi pemandi mayat. Entah telah berapa orang yang ia sentuh dan gosok kulitnya. Ia dengan sabar dan tatak hatinya berhadapan dengan sekantong daging yang dulu disebut sebagai manusia semasa hidupnya. Karena penasaran, mengenai seperti apa keadaan manusia setelah ditinggalkan ruhnya, aku pun menanyainya dengan semangat.
“Sudah berapa lama Ibu menjadi
pemandi mayat?”
“Entahlah, Nak. Saya tidak begitu menghitungnya. Yang jelas setelah suami saya
meninggal, saya sangat berkeinginan menjadi orang yang mengabdi kepada
masyarakat. Bermanfaat bagi banyak orang.”
“Bagaimana awalnya Ibu hingga menjadi
pemandi mayat? Apakah tidak takut atau jijik?”
“Awalnya saya tidak berpikiran akan
menjadi pemandi mayat. Awalnya saya hanya ikut ajakan seorang teman untuk
menemaninya memandikan mayat. Setelah teman itu meninggal, akhirnya saya yang
menggantikannya.”

Ia menghela nafas sebentar kemudian
melanjutkan kisahnya. “Ketika pertama kali ikut seorang teman, waktu saya di
belakangnya memperhatikan bagaimana ia memandikan mayat, saya merasa ada yang menghalangi
pandangan. Mata seperti tampak kabur, tapi saat saya pertama kali memandikan mayat
sendirian, pandangan saya tampak jernih dan terang.”
“Mengapa bisa begitu?”
“Entahlah, mungkin si mayat malu
dilihat beramai-ramai,” katanya sambil tertawa ringan.
“Bolehkah saya tahu, apa sebenarnya yang
menjadi ciri-ciri seseorang itu telah meninggal?”
“Boleh saja, Nak. Toh, itu adalah
titik akhirnya kita. Kita semua akan merasakannya tepat pada waktu yang telah
Tuhan tentukan.” Dia mengubah arah pandangnya seperti sedang melirik ke arah
langit kemudian melanjutkan. “Akhir kehidupan seorang manusia tidak ditakdirkan
sama. Berbeda antara satu dengan yang lain. Ada yang meninggal dengan wajar,
ada pula yang tidak wajar. Ada yang tersenyum, ada yang tampak sedih, dan ada
yang tampak ketakutan. Terlihat sekali dari mata dan raut mukanya. Sepertinya
itu bergantung amal perbuatannya ketika ia masih hidup.”
“Terus apa yang menjadi ciri fisik
seseorang yang telah mati, Bu?”
“Manusia yang telah mati fisiknya
berubah. Ia akan tampak sedikit memanjang tubuhnya. Kulitnya ketika disentuh
gemerisik. Dagunya terasa kasar dan pori-porinya menganga. Hidung tampak
seperti ditarik ke dahi. Matanya tenggelam. Permukaan hidungnya berkeringat
ketika baru meninggal. Daun telinganya ketarik kulit dan urat leher. Otot pada
leher kaku. Dan, maaf, buah pelirnya seperti tertelan.”
Aku mendengarkannya dengan seksama
sambil mencatatnya di alam pikir. Kemudian Raga Patmi melanjutkan. “Satu
rahasia lagi, ketika dijilat kulitnya terasa hambar. Tidak lagi asin
seperti ketika masih hidup.”
“Hmm, mengapa bisa begitu ya, Bu?”
“Entahlah, itu sepertinya pertanda
kehidupan sudah berakhir. Kehidupan fisik kita telah sirna.”
Aku jadi teringat sebuah film asing
berjudul Castaway on The Moon. Tokoh
utama yang tersesat seorang diri di sebuah pulau kecil, membuat makanan dan
menggarami makanannya dengan keringat yang mengucur dari tubuhnya. Tetesan
keringatnya diamankan dalam botol kecil. Ketika memasak diteteskanlah
keringatnya. Berarti benar, keringat memang asin. Bisa dibuat penggati garam
untuk mendapatkan cita rasa asin.
“Apa lagi ciri-ciri orang mati Bu,
selain yang Ibu sebutkan tadi? Apakah tidak ada perasaan takut atau jijik?”
rasa penasaranku tambah menggila.
“Yang saya sebutkan tadi itu sudah
ciri yang utama, yang dialami hampir semua orang. Selebihnya hanya berbeda
keadaan. Ada yang dalam keadaan sehat ketika meninggal, ada pula yang membawa
sakitnya hingga meninggal. Sebenarnya sakit atau apa pun alasannya hingga ia
meninggal hanya sebuah jalan. Sebenarnya sudah tiba waktunya harus kembali kepada
Tuhan. Malaikat maut sudah memegang catatan siapa yang harus dicabut nyawanya,
jam berapa, ketika sedang apa, dan di mananya. Sakit, kecelakaan, dan
sebagainya hanya pengalihan agar malaikat maut tidak disebut sebagai penyebab.
Lucu. Ketika Adik tanya mengapa si Fulan meninggal, maka kerabat dan
tetangganya akan bilang ‘karena sakit, karena jantung, karena kecelakaan, dan
sebagainya,’ jadi ada keadaan yang bisa disalahkan.” Raga Patmi tertawa.
Masih sambil tersenyum, Raga Patmi
meneruskan, “Karena jantung? Ya iyalah, kan jantungnya berhenti. Karena
jantungnya tidak berdetak lagi pasti mati!” tertawanya bertambah keras.
Aku yang mendengarkannya merinding.
“Kembali ke keadaan mayat, saya
bilang tadi keadaannya beda-beda. Ada yang masih mulus utuh, ada yang
digerogoti ulat. Ada yang tersenyum, ada yang menakutkan wajah dan matanya. Ada
yang telentang biasa, ada yang meringkuk, ada yang sujud, ada yang miring.
Macam-macam. Yang digerogoti ulat kebanyakan karena membawa penyakit kencing
manis basah sehingga ketika dimandikan berbau amis. Ada yang mengeluarkan
cairan tidak henti-hentinya dari kemaluannya, ada pula yang keluar kotoran dari
duburnya. Ada yang mengeluarkan bau yang sedang dari tubuhnya, ada pula yang
mengeluarkan bau darah dan bangkai. Yang paling parah ketika harus memandikan
korban kecelakaan parah atau korban ledakan petasan. Kita seperti sedang
mencuci potongan-potongan daging ayam.” Kembali Raga Patmi tertawa renyah.”
“Sejak pertama kali saya memandikan mayat,
saya tidak takut atau jijik. Sepulang dari memandikan mayat saya juga tidak
terpikirkan bagaimana wajah mayat bahkan dalam tidur pun ia tidak berani hadir.
Mungkin malu, karena sayalah yang memandikannya. Jadi untuk menampakkan dalam
mimpi saya, atau melintas dalam pikiran saya, ia enggan.”
“Ketika baru meninggal ada keadaan
mayat dengan mata terbuka dan terpejam. Kalau terbuka, kita rapatkan kelopak
matanya dengan mengusap wajahnya. Ada
yang menganga mulutnya, ada yang tertutup rapat. Untuk yang mulut
menganga, kita siasati dengan mengikatnya dengan kain melingkari wajahnya
hingga mulutnya terkatup rapat.”
“Ada yang meninggal dengan wajah
berseri-seri ada pula yang meninggal dalam keadaan sedih, bahkan ada yang
mengeluarkan air dari matanya tak henti-henti. Ada pula yang meninggal dengan
wajah seperti ketakutan bahkan lebih legam dari sewaktu ia hidup.”
Aku benar-benar takut menghadapi
mautku sendiri. Betapa malunya jika keadaan-keadaan yang tidak indah terjadi
dengan tubuhku ketika aku meninggal dan dimandikan sanak saudara dan keluarga
besarku, terutama anak-anakku.
“Hampir semua orang merasa takut
keadaan tidak baik ketika ia meninggal. Jangan takut, sekali lagi jangan takut,
Anakku. Beranilah mati! Beranilah mati, dengan catatan memperbesar kerinduan
kita akan pertemuan dengan Tuhan yang Maha Pengampun dan Maha Kasih. Semakin
besar rasa rindu itu, semakin semangat untuk hidup dan semakin berani menghadap
maut, karena kematian adalah titik awal pertemuan kita denganNya. Sepertinya
kita harus kerja sungguh-sungguh untuk mepersiapkan kematian kita.”
Aku terdiam. Kalimatnya terlalu
berat. Kusimpan dalam-dalam pesannya.
“Apakah dicabutnya kehidupan kita
itu sakit?”
“Sangat sakit, Anakku. Begitu
menurut keterangan. Makanya, saya memandikan mayat sangat hati-hati dan
bersikap lembut. Air tidak boleh terlalu panas atau terlalu dingin.
Menggosoknya ketika memandikan juga tidak boleh terlalu kasar. Karena
dicabutnya nyawa itu, sakit yang paling ringan seperti disobeknya seluruh kulit
kambing sekali hentak dalam keadaan hidup.”
Gambaran yang sangat mengerikan. Aku
tak bisa berkata-kata. Aku tambah terdiam. Aku tak bisa bertanya apa-apa lagi.
Badanku terasa lemas. Otot-ototku terasa lunglai. Bibirku pun kehilangan gerak.
Akalku mendadak buntu. Hatiku terasa sakit. Dalam hati aku bertanya, apakah aku
orang yang paling berdosa di dunia ini? Akankah dosa-dosaku yang tak terhingga
besar dan banyak ini akan Tuhan ampuni dengan kemahakasihNya? Kalau bukan Dia,
kepada siapa lagi tempat memohon ampun dan perlindungan ketika menghadapi maut?
Apakah aku termasuk orang yang Dia abaikan sehingga tak terbersit setitik pun
cahaya di hatiku untuk melulu merindukanNya? Apakah kematianku kelak memiliki
keadaan yang setidaknya wajar?
Pikiran-pikiran mengerikan
mencengkram perasaanku. Keringat dingin mengembun di dahiku. Raga Patmi
sepertinya meneruskan omongannya, tapi aku telah kehilangan fokus. Bukan tidak
lagi menarik, tapi aku mulai memikirkan keadaanku sendiri.
“Anakku,” ia menepuk pundakku.
Menarikku kembali berbincang.
“Semua orang memiliki dosanya
masing-masing. Tidak ada orang yang bersih dari dosa, kecuali yang telah
ditetapkan Tuhan. Paling tidak, pengakuan kita bahwa kita menyadari sebagai
pendosa saja telah bisa mengantarkan kita kepada pengampunanNya. Jangan
berburuk sangka kepada Tuhan. Seluas apa pun dosa kita memenuhi semesta, masih
lebih luas pengampunan dan rahmatNya. Yakinlah!”
“Tapi, ....”
“Ssst!” ia menghentikanku
melanjutkan kalimatku. “Rindukan Dia, maka Ia akan lebih rindu kepadaMu.
Melangkahlah ke arahNya, walaupun dengan merangkak. Pasti Ia akan datang
kepadaMu dalam kecepatan berlari menolongmu, mengentasmu, dan memberi petunjuk
kepada meniti jalan ke arahNya!”
“Iya, Bu, terima kasih banyak.”
Sebenarnya sejak tadi aku menyimpan
pertanyaan. Menurutku waktunya sangat tepat dan sangat relevan. Sebaiknya
kutanyakan sekarang. Siapa tahu, bisa membantuku berjaga-jaga menghadapi
keadaan tak terduga.
“Bu, bolehkah saya bertanya untuk
terakhir kalinya?”
“Silakan, Nak. Mumpung saya juga
bersemangat. Kalau ibu tidak bisa menjawab pertanyaanmu tolong jangan kecewa
hati, ya?”
“Iya, Bu, tidak apa-apa!”
“Apa yang ingin kamu tanyakan?”
“Apakah ada tanda-tanda seseorang
akan meninggal? Kalau tanda itu ada, paling tidak bisa buat saya berjaga-jaga
setiap saat.”
“Ada, Anakku. Mari sini, mendekat!”
Ia membisikkan kalimat demi kalimat
dengan sangat jelas sehingga tanpa harus mengulangnya. Aku berusaha
mengingat-ingatnya dengan baik tanpa dicatat. Satu, dua, tiga kalimat yang ia
minta aku mengingatnya sepanjang menjalani hidup. Dan di akhir bisakannya, ia
mengatakan dengan suara tidak lagi berbisik.
“Jangan pertanyakan MENGAPA? Lakukan
saja untuk berjaga-jaga. Semoga selamat!”
#cerpen #fiksi #short story
Posting Komentar untuk "Pesan Pemandi Jenazah"