KETIKA REDAKSI MENOLAK TULISANKU
Ketika redaksi media cetak seluruh Indonesia menolak
tulisan-tulisanku, biar saja. Cuek saja. Bukan berakhirnya dunia, kan? Toh, aku
tidak mempunyai tujuan finansial. Hanya ingin menulis. Apa saja. Tinggal menulis
saja di koranku sendiri, di ladangku sendiri, kubayar sendiri honorku,
baca-baca sendiri. Tertawa dan menangis sendiri. Hahaha, enak kan?
Tidak mudah lo rekdaksi ternama memuat tulisan kita.
Antre dan panjang. Sungguh, perjalanan panjang. Daripada menunggu yang tak
pasti, mending ditulis saja di mediaku, blogku sendiri. Editing sendiri, muat
sendiri. Pasti ada yang baca kok selain diri sendiri. Paling tidak apa yang
telah ditulis dengan dedikasi tersampaikan. Kalau pun tidak tersampaikan,
paling tidak telah terpenuhi hasratku, nafsuku.
Menulis memang bukan hal yang mudah meskipun banyak
terbit buku tentang menulis yang mengatakan: menulis itu mudah. Mudah saja kalau menulis di bangku-bangku
sekolah atau di tembok-tembok tetangga. Hahaha. Menulis butuh nafsu. Butuh
keliaran. Butuh ejakulasi. Butuh baterai. Juga butuh pendamping seperti kopi
dan kepulan asap rokok. Butuh onde-onde atau martabak hangat. Dengan semua
perjuangan yang sepanjang itu, redaktur membuangnya di tempat sampah di pojok
ruangannya. Sungguh sampah sekali tulisan orang-orang yang mencoba mengais
rejeki dan ketenaran.
Tapi, tak sedikit yang telah menikmati pertarungan dengan
redaktur. Melawan rasa pahit dan setengah putus asa, akhirnya menjadi langganan
redaksi. Lumayan, tiap minggu dapat transferan. Itu hanya sedikit orang lo.
Yang telah mati, lebih banyak! Yang bunuh diri, sedikit agak banyak. Untuk
alasan itulah tulisan ini. Kalau pun tulisan ini tak mampu membangkitkan yang
telah mati, atau mengurungkan niat bunuh diri seseirang, setidaknya yang masih
hidup dan berkeinginan tetap hidup bisa berkreasi di perusahaannya sendiri,
meredaksinya sendiri, memuatnya sendiri, dan memperoleh honor dari kantong
sendiri. Kemudian, menikmati hari libur nasionalnya sendiri bersama keluarganya
sendiri. Mudah, kan?
Ketika sudah memutuskan membuat perusahaan sendiri,
seperti yang dilakukan perusahaan media cetak, ya sudah kerjakan. Bebas
berkreasi, bebas menentukan tema apa saja, dan bebas beristirahat kapan pun. Tanpa
kena pajak. Kalau sudah banyak tulisannya, kemudian mau mencetaknya menjadi
sebuah buku, tinggal calling penerbit
dan daftarkan ISBN. Mau berapa eksemplar? Tinggal diduiti sendiri sesuai
kemampuan dan lebihnya belanja dapur. Bagaimana dengan pemasarannya? Buang saja
ke perpus-perpus kota, sekolah, dan pondok pesantren. Selesai sudah misi
tersampaikan.
Jangan pesimis, pasti terbaca kok. Yang penting sampulnya
bagus, kertasnya tebal atau kalau bisa kertasnya harum. Ada lo kertas dari kayu
gaharu. Per lembar dulu tiga ratus ribu. Kalau sampul dah bagus, menarik kan?
Tapi, malu donk kalau isinya nyampah! Sesuaikan dah dengan sampul yang bagus
biar ketika dibaca dapat menyihir semua orang.
Posting Komentar untuk "KETIKA REDAKSI MENOLAK TULISANKU"