Tali Pocong Perawan Selasa Kliwon
Romo membuka
matanya perlahan, namun betapa kagetnya ia menemukan dirinya berubah menjadi
seekor kucing yang di mulutnya menggigit kain putih lusuh serupa tali. Ia
mengucek-ngucek matanya, mungkin perasaannya salah. Ia juga menampar pipinya
sendiri untuk membangun kesadarannya. Ia merasa mungkin efek bangun tidur yang
membuat kesadarannya belum pulih betul. Tapi tidak, perasaannya salah, ia tetap
seekor kucing yang tiba-tiba menjelma menjadi dirinya.
“Apa yang
sebenarnya terjadi?” Ia memaksa duduk, lagi-lagi ia melihat seekor kucing
sedang duduk. Ia positif dan yakin dirinya telah menjadi seekor kucing.
“Bapak, bangun!
Sudah Siang!” Retno berusaha keras membangunkan suaminya. “Bapak, bangun!” Romo
pun terbangun lebih kaget dari sebelumnya. “Apa yang Bapak gigit itu?” Retno
bertanya. Tapi, Romo lebih serius menyisir pandangannya dari kaki, tangan,
hingga badannya. Perasaan menjadi kucing masih melekat walau sedikit
demi sedikit bergeser dari kesadarannya.
“Bapak, apa yang Bapak gigit itu?” Retno mengulang
pertanyaannya.
Romo mencoba meraih sesuatu yang disebut-sebut sebagai tali
yang digigitnya. “Entahlah, apa ini? Yang jelas Bapak tadi seperti sedang
bermimpi. Wujud Bapak telah berubah menjadi seekor kucing. “O iya, sebentar,
sepertinya dalam mimpi itu ada bisikan suara. Bapak mencoba mengingat-ingatnya
dulu!”
Secangkir kopi panas, melayang dari dapur ke kamar Romo
melalui tangan Retno. Aroma yang menebar dari seduhan kopi panas itu meruang
memenuhi kamar Romo hingga ke rongga dadanya. Aroma kopi itu mempercepat
pulihnya kesadaran Romo sehingga ia mampu mengingat semua yang terjadi dalam
mimpinya.
“Tapi, maaf Bu, Bapak belum bisa bercerita apa-apa. Bapak
merasa bermimpi aneh saja.” Romo mulai menyembunyikan sesuatu agar isterinya
tidak banyak bertanya. Tapi Retno tetap saja bertanya berulang-ulang, dari mana
suaminya dapatkan kain putih itu. Romo pun mengalihkan perhatian Retno, anggap
saja itu tali sarung guling atau apa. Dan, Retno pun mengiyakan cerita singkat
buatan suaminya.
Karena penasaran, Romo tidak masuk bekerja hari itu. Ia
mendatangi seorang kawan yang ahli dalam metafisika. Supranatural, atau
orang-orang menyebutnya orang pintar. Pucuk dicita, ulam tiba. Bertemulah Romo
dengan tujuannya yakni Kyai Mangir, di daerah Mangiran, Jawa Tengah. Kyai
Mangir ini, hanya sebutan, tidak ada hubungannya dengan Kyai Ageng Mangir, Ki
Joko Mertani, atau Prabu Brawijaya. Sama sekali tidak ada.
Setelah agak lama dan panjang lebar Romo menjelaskan
kronologis kain putih itu, Kyai Mangir pun membenarkan kisah Romo. “Ini benar
adanya. Apa pun yang dibisikkan suara itu tentang tali pocong ini, benar
adanya. Pergunakanlah baik-baik agar yang memberikannya kepadamu sama-sama
memperoleh kebaikan. Kebaikan yang kamu lakukan akan menjadi sambungan
amal bagi yang mewariskan tali pocong
itu.”
“Terima kasih, Kyai.”
Sepulang dari rumah Kyai Mangir, Romo berlagak tanpa sadar
seperti orang yang habis menonton film action di bioskop. Dadanya jadi
membusung. Lagaknya seperti pendekar. Orang-orang terasa kecil di matanya.
Badannya seperti mengeluarkan aura putih dan energi yang sangat besar.
Suatu hari, Romo ingin sekali mencoba-coba dengan tali
pocong itu. Apa benar apa yang dikatakan Kyai Mangir tentang keramat tali
pocong perawan itu? Dengan merapal niat, masuklah ia ke suatu rumah agak jauh
dari rumahnya. Rumah itu adalah rumah seorang gadis yang menjadi idola di desa
Romo. Siapa pun belum ada yang berani melamarnya. Cantik, putih, cerdas, dan
luar biasa anggunnya.
Benar ternyata, Romo memasuki rumah itu tanpa ada yang tahu.
Romo seperti aktor dalam film detektif yang memakai baju anti kelihatan buatan
CIA. Ia seperti Harry Potter dengan jubahnya. Ia dapat menyentuh apa pun dan
mampu melewati siapa pun tanpa kelihatan. Karena penasaran, Romo pun memasuki
kamar Sekar. Sekar sedang menyisir
rambutnya di depan cermin. Romo dapat mencium aroma segar yang keluar dari
badan Sekar. Kipas angin yang mengeringkan rambutnya pun serasa angin surga
bagi Romo. Sekar yang berlilitkan handuk di tubuhnya terlihat seperti bidadari
habis mandi. Berkilau seperti bintang baru terlahir dari bunda galaksi.
Romo mendekati Sekar, menatapnya dari arah cermin. Ya Tuhan,
matanya itu, seperti kerlipan bintang tanpa awan, batinnya. Lutut Romo gemetar.
Tangannya yang mencoba meraih rambutnya pun gemetar hebat. Romo menjadi-jadi
rasa penasarannya. Ia pun mencoba menyentuhkan ujung jarinya mendaratkan
pelan-pelan di kulit bahu Sekar. Mendadak Romo mendesah tertahan. Seperti
kesengat aliran listrik tapi lembut dan nikmat. Sekar tidak merasakan apa-apa,
hanya ketika disentuh jari Romo saja ia meneploknya seperti sedang mengusir
lalat atau nyamuk.
Romo terduduk di tepian Sekar yang sedang duduk mengeringkan
rambut. Romo jarang berkedip. Ia fokus menikmati keindahan ciptaan Maha Seni.
Ia menghabiskan waktunya sekedar memandangi pesona Sekar. Rambut Sekar pun
mengering. Sekar berganti baju. Sekar siap keluar kamar. Tapi, Romo, apa pun
yang dilakukan Sekar direkamnya dengan baik. Mulai dari membuka handuknya,
memasang celana dalamnya, memasang branya, baju dan celananya semua Romo rekam
dengan rekaman HD di otaknya. Juga dengan softwarenya
yang terbaik.
Tiba-tiba Romo tersentak . ia teringat pesan Kyai Mangir.
“Pergunakanlah baik-baik agar yang memberikannya kepadamu sama-sama memperoleh
kebaikan. Kebaikan yang kamu lakukan akan menjadi sambungan amal bagi yang mewariskan tali pocong itu.” Ia pun
buru-buru meninggalkan kamar Sekar dan pulang ke rumah dengan sedikit menyesal
dan penuh kegembiraan.
Di hari lain, Romo memilih lupa pesan Kyai Mangir. Ia
mencoba sesuatu yang lain. Sesuatu yang ekstrem. Kali ini, ia akan mencoba sesuatu sangat menegangkan. Tepat jam
tengah malam, Selasa Kliwon, ia jadikan tali pocong itu sebagai sumbu lampu
minyak. Sejak dinyalakan lampu itu, terdengar suara tangis dari luar rumah. Sangat
jelas. Suara tangis perempuan, nadanya sangat sedih.
Awalnya Romo tidak begitu takut. Lama-lama suara tangis itu
membuat tulangnya terasa dingin. “Romo, kembalikan tali pocong saya!” suara
dari luar rumah itu menyelinap dengan disertai suara tangis yang menggidik. “Apapun
tebusannya saya penuhi. Apapun permintaanmu akan saya lakukan asal kamu
kembalikan tali pocongku!”
Tuing, otak Romo langsung menyala. Sepertinya waktu yang
tepat untuk mewujudkan keinginannya. Walaupun coba-coba, ia ingin sekali
menjadi orang terhormat. Ia ingin sekali menjadi orang kaya di kampung itu. Terkaya,
sehingga semua orang akan hormat kepadanya.
Romo terbangun seperti orang bingung. Ia tidak paham sedang
ada di mana. Ia tidak merasa sedang di rumah. Ia tidak merasa sedang bersama keluarga
kecilnya. Ia tak lagi mendengar suara Retno. Ia tidak lagi mendengar
suara-suara tetangganya yang selalu membuat bising. “Selamat datang Romo!”
suara itu menyapanya. Ia teringat dan mengenal suara itu. Ia merasa suara itu
seperti suara tangis pemilik tali pocong itu. “Aku sedang berada di mana?”
Senyap.
Posting Komentar untuk "Tali Pocong Perawan Selasa Kliwon"