Mahasiswi Ma Chung Mewawancaraiku
Mahasiswi Ma Chung Mewawancaraiku. Dia adalah seorang
mahasiswi Ma Chung semester awal. Dilihat dari bentuk matanya,
sepertinya dia Chiness. Sebut saja namanya Meme. Bukan Meme yang lagi trend di
instagram dengan joke-jokenya yang kritis. Dengan kaca matanya, terkesan ia
memaksakan diri agar terlihat matanya agak lebar. Boleh lah.
Mengapa dia bertanya
seperti itu? Ternyata dia ingin membuat essay untuk ikut lomba penulisan essay
tingkat mahasiswa yang diadakan kampusnya. Kubilang essay itu sangat sulit. Menulis
essay butuh jam terbang lama dengan membiasakan budaya literasi yang disiplin. Artinya
butuh wawasan yang luas dan banyak tentang apapun.
Baiklah dengarkan
baik-baik dan cepat catat titik-komanya karena pembicaraan kita ini menyangkut
nasib 20 tahun ke depan anak-anak bangsa. Jadi tidak bisa membahasnya dengan
tidak serius. Dia mengangguk dan menyiapkan alat tulis, siap mencoret.

Karena kamu bertanya apa
yang terjadi dengan sistem pendidikan sekarang, maka aku akan menjawabnya
beberapa hal. Pertama, sistem pendidikan sejak dulu telah dipisahkan dari
agama. Sontak matanya tajam memandangku dengan dilanjutkan pertanyaan ‘mengapa
bisa begitu?’ 1 +1 = 2. Itu pasti dalam bilangan asli. Itu dari pelajaran
Matematika, kan? Ia pun mengangguk. Kulanjutkan, Matematika, IPA, dan
sebagainya itu adalah pelajaran agama. Tidak perlu dipisahkan dengan agama
pelajaran agama secara terpisah. Kasarnya pendidikan kita telah menganut sistem
sekuler. Sebenarnya tidak juga perlu dipisahkan antara kementerian pendidikan
dan kebudayaan dengan kementerian agama. Akibatnya kita tidak pernah menemukan
satu titik kesepakatan tentang pendidikan yang dipayungi oleh dua kementerian.
Kulihat dia tampak serius
mencatat, sambil sesekali kulirik hasilnya. Sambil sesekali kuberi tahu cara
mencatat cepat. Kedua, sistem pendidikan sekarang terindikasi dijauhkan dari
Pancasila. Pancasila yang disepakati secara nasional hanya dijadikan tambal
butuh dalam pendidikan. Tidak pernah serius menjadikannya pedoman hidup
bermasyarakat dan bernegara. Pancasila berkali-kali dikebiri di dalam
pendidikan. Pendidikan dengan merk pendidikan karakter dan sebagainya tidak
pernah mempunyai frame yang jelas tentang karakter padahal pada Pancasila
benar-benar disebutkan secara rinci dalam butir-butir Pancasila. Dulu ada mata
pelajaran bernama PMP, Pendidikan Moral Pancasila, berubah menjadi PPKN yakni
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Kemudian, menjadi PKn saja,
Pendidikan Kewarganegaraan. Pancasilanya disembelih. Hahahahah.
Kulihat dia hanya
mengernyitkan kulit dahinya. Baiklah kita lanjutkan yang ketiga. Ketiga, sistem
pendidikan kita akhir-akhirnya mencoba menjauhkan sejarah dengan pendidikan. Banyak
di antara kita tidak banyak tahu siapa itu Panglima Polim, Cut Nyak Dien, Dewi
Sartika, dan sebagainya. Yang mereka tahu adalah pahlawan-pahlawan sinetron dan
iklan di televisi. Kementerian pendidikan yang dulu aktif membuat literasi
audio visual sekarang sudah vakum. Dulu pernah ada pendidikan sejarah, ada PSPB
kepanjangan dari Pendidikan Sajarah Perjuangan Bangsa. Sekarang murni tematik,
dan hanya sedikit sekali bagian sejarah bangsa yang mendapatkan tempat di halaman-halaman
buku wajib siswa. Miris, kan? Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai
pahlawanannya. Benar atau salah?
Keempat, pendidikan sejak
dulu selalu memisahkan pengetahuan dan keterampailan dengan dunia nyata. Di kelas
hanya membelajarkan konsep tanpa diberi tahu apa manfaatnya nanti. Pendidikan yang
jauh dari kenyataan tidak banyak memberikan keahlian kepada para siswa. Siswa yang
berada di daerah pesisir harusnya diajak ke pesisir, diberi pengetahuan secara
langsung tentang jenis-jenis perahu, mata pencaharian, dan suka duka nelayan,
serta teknologi tepat guna untuk meningkatkan pengahasilan sebagai nelayan.
Dan yang kelima, lima
saja ya? Dengan lima pernyataanku ini semoga menjadikanmu lebih luas lagi
mengkajinya untuk kemajuan pendidikan nasional. Yang kelima, kurikulum kita
selalu dijadikan bahan ujicoba. Coba nanti kamu kaji perubahan kurikulum dari
tahun 1975, 1984, 1996, 2004, 2006, dan 2013. Pasti kamu akan menemukan
perbandingan-perbandingan visi misinya, tujuannya, dan kompetensi yang
diharapkan pemerintah dapat membekali para siswa. Dan perlu kamu ingat, ketika
kurikulum baru diluncurkan mengganti kurikulum sebelumnya, butuh waktu 20 tahun
untuk melihat hasilnya. Ketika dalam 5 limat sudah berganti kurikulum dua kali,
maka berapa tahun kita telah rugi. Dan korbannya adalah kita, para siswa, para
orang tua siswa, masyarakat, dan bangsa kita sendiri.
Sudah, itu saja ya. Kalau
nantinya ketika kamu browsing menemukan hal-hal lain seperti campur tangan
pihak asing mencengkram dan mendikte sistem pendidikan kita sehingga seperti
sekarang ini, itu fakta juga. Kajilah dengan bijaksana. Kalaupun ada yang
kusampaikan tidak sesuai dengan hukum dan undang-undang sistem pendidikan
nasional serta Undang-Undang Dasar 1945, kabari saya.
Sudah kuduga, kamu akan
bertanya bagaimana solusinya. Ada beberapa pemikiran. Pertama, kembali kepada
ruh Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Dasar 1945. Kedua,
kementerian pendidikan harus dipimpin oleh praktisi bukan akademisi. Ketiga,
kembali gali sistem pendidikan kita yang pahlawan kita wariskan kepada kita
seperti sistem pendidikan Taman Siswa, warisan Ki Hajar Dewantara; Belajar
Sejati, warisan Romo Mangunwijaya; dan konsep pendidikan pesantren. Tiga itu
sudah cukup, tidak perlu mengimpor konsep dan sistem pendidikan yang telah
kadaluarwa dari negara lain. Dengan konsep tiga itu tadi, bangsa kita menjadi
guru. Masyarakat asing banyak yang berguru kepada bangsa kita, sekarang
terbalik kita yang berguru kepada mereka. Sudah ya, cukup. Semoga tulisanmu
tajam analisisnya. Semoga juara. Sukses.
Posting Komentar untuk "Mahasiswi Ma Chung Mewawancaraiku"